Sunday, December 18, 2011

TIDAK CUKUP BIJAK


Oleh: Hendrasyah Putra

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berbincang-bincang dengan rekan-rekan saya yang kebetulan mengabdikan dirinya sebagai pelayan publik. Dalam kesempatan itu, saya sempat bertanya dan menceritakan kritikan saya tentang buruknya pelayanan publik di negeri ini dalam sebuah tulisan saya yang berjudul “Buku Ikhlas”. 
Dalam perbincangan itu, saya juga menceritakan secara umum kritikan saya terhadap perilaku playan publik dalam hal pungutan liar dan pamrih dalam melayani masyarakat .
Perbincanganpun kemudian berlangsung menarik, tanpa kami sadari perbincangan itu menjadi sebuah diskusi yang mengasikkan. Dalam diskusi tersbut saya mencoba mengemukakan pendapat saya seperti yang saya tuliskan dalam tulisan saya diatas. Menurut hemat saya faktor penyakit hati adalah penyebab munculnya pungutan liar  dan pamrih dalam pelayanan publik.
Disisi lain, dalam diskusi tersebut saya pun mendapatkan fenomena baru dimana munculnya biaya administrasi (versi pelayan publik) adalah disebabkan oleh karena adanya “kebijakan”.
Salah satu dari rekan saya itu ada yang menjelaskan pengertian dari kebijakan yang diketahuinya, menurutnya kebijakan itu tidak boleh menyimpang lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari aturan. Agak sedikit menggelitik hati saya ketika mendengar pernyataan ini. Walau demikian, kiranya saya sudah begitu makfum dengan pemahaman rekan-rekan saya tersebut tentang istilah kebijakan itu. Dalam hal ini, bagi saya minimnya “budaya baca” menjadi alasan pemakfuman saya itu.
Dengan maksud memberikan gambaran yang berbeda, sayapun akhirnya menjadikan ihwal ini untuk disampaikan agar “adagium kebijakan” ini tidak makin menyimpang dan makin menyesatkan dalam hal pelayanan publik.
Dalam pengetahuan saya, dalam hukum administrasi negara memang mengenal yang namanya kebijakan bebas (bahasa Perancis: freies ermessen) atau dalam keseharian kita juga mengenalnya dengan diskresi (bahasa Inggris : discretion).
Dalam kesempatan ini, saya sengaja mengutip pendapat Nana Saputra dalam buku “Hukum Administrasi Negara” karya Ridwan HR. Dalam kutipan pada buku itu, Ia mengatakan freies ermessen adalah “sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya  memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum, atau kewenangan  yang sah untuk turut campur  dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggrakan kepentingan umum”.
Dalam hukum pidana sendiri juga dikenal yang namanya diskresi. Tentunya kita sekalian masih ingat beberapa waktu yang lalau dengan kasus “Cicak Versus Buaya”. Kasus itu sendiri melibatkan pimpinan KPK Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang berakhir dengan “deponeering” .
Deponeering itu sendiri adalah hak Jaksa Agung untuk menghentikan kasus demi kepentingan umum. Sebagaimana kita ketahui, ketika munculnya kasus “Cicak Versus Buaya”, dukungan masyarakat begitu kuat terhadap dua pimpinan KPK tersebut. Maka demi kepentingan umum, akhirnya Jaksa Agung memutuskan untuk menghentikan kasus tersebut, sehingga kasus tersebut tidak di sidangkan di pengadilan.
Selain dalam contoh kasus diatas, diskresi dapat juga kita lihat pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002  tentang Kepolisian Negara republik Indonesia dalam Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Dan Ayat (2) berbunyi “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Dalam pasal itu jelas diatur tentang dikresi (kebijakan bebas) yang diperbolehkan dan batsan-batsannya. Menurut hemat saya pasal diatas mengatur diskresi tetapi dalam konteks yang “Extra ordinari situation”. Jadi tidak bisa sembarangan dan semaunya.
Dalam konteks diskresi, selalu diutamakan kepentingan umum dan etika profesi. Disini bukan hanya melibatkan peraturan saja, tetapi sudah melibatkan moralitas dari si pengambil kebijakan apakah ini bisa kita lakukan diskresi atau tidak.
Dalam pada itu, faktor manusia menjadi begitu sentral dalam hal terciptanya suatu diskresi itu. Diskresi akan menjadi abuse of power yang diakhiri dengan corrupt absolutely jika manusia nya itu tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dalam konteks pungutan liar (biaya administrasi) yang didasari atas kebijakan, secara logika dan moralitas saya kira hal itu sangat jauh panggang dari api jika kita mengatakan itu sebagai diskresi. Bagi saya, hal itu lebih tepat dikatakan sebagai abuse of power (penyalahgunaan kewenangan).
Secara pribadi saya begitu prihatin terhadap orang-orang yang tidak bisa membedakan mana kebaikan untuk kepentingan umum dan mana keburukan yang bertujuan untuk kantong pribadi dan kepentingan golongan.
Atas nama kebijakan memang akan menjadi subjektif dan debatebel jika manusia yang selalu merasa dirinya malaikat (benar) tetapi tidak pernah merasa dirinya setan (salah) meskipun ia seorang koruptor ataupun perampas hak-hak orang kecil. Jika kita masih bersikukuh dengan cara berfikir seperti ini, maka sampai kapanpun juga kita selalu diteriaki “tidak cukup bijak” oleh masyarakat.
Dalam tulisan kali ini tak ada niat saya untuk mengajari atau menunjukan diri paling tahu. Untuk itu dalam kesempatan ini saya sengaja mengutip salah satu surah  dalam Alquran, yakni surah al-Ashr yang dalam terjemahan bahasa Indonesianya berbunyi ”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Semoga memberikan pandangan yang berbeda.

4 comments:

  1. memang susah untuk tampil beda ditengah kerumunan sistem yang berbeda. dia bagaikan satu orang waras yang dipandang gila oleh 9 orang yang kurang waras. akankah ia pergi beranjak dari sana atau tetap bertahan dengan menanggung perih di semua inderanya? teruslah berbuat bro... sesungguhnya Tuhan maha tahu dan maha adil. ketika kita meminta sekuntum bunga, lalu Allah memberi sebatang tumbuhan berduri, maka janganlah langsung kecewa dan membuangnya, bersabarlah dan tetaplah rawat pokok yang berduri itu. nanti pada waktunya tiba, duri itu akan berbunga, bahkan lebih indah dari apa yang diharapkan. demikianlah hidup... keep istiqomah..

    ReplyDelete
  2. thanks bro pendapatnya... insyallah tetap istiqomah.
    oh ya, ditunggu kontent blognya bro...

    ReplyDelete
  3. tandenye dah mau kiamat, gan! Islam datang dengan asing, maka ia pun pergi dengan gelar "asing" nya itu. Well, yang penting kite tetap istiqomah utk jujur en sensitif terhadap dosa, dan menularkannya kepada keluarga kita. Yang dah nikah en punye anak, saatnya utk memulai yang baik itu. Kalau kita berbuat baik, niscaya orang-orang disekitar kita juga akan ikut baik. Selamat berjuang... :), have a nice day ^_^

    ReplyDelete
  4. yup... smoga kita termasuk orang2 yang mendapat petunjuk dari allah.swt.

    ReplyDelete