Sunday, December 4, 2011

GAYA INDONESIA


Oleh: Hendrasyah Putra

Gaya Indonesia. Terdengar bisikan “suka berperkara” secara spontan dari hati kecil ini. Apakah benar demikian gaya orang Indonesia? Mungkin terlalu ekstrem apa yang saya katakan itu, bukannya tanpa alasan, bagi saya fenomena yang sering tampil menjadi hot topik dalam pemberitaan bisa menjawab pertanyaan saya itu.
Suka berperkara, setidaknya hal ini menjadi temuan saya ketika membaca artikel yang berjudul “Kebutuhan Jasa Pengacara Meningkat di Indonesia” (www.businessnews.co.id).
Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa Peningkatan perkara korupsi di Indonesia yang dibawa ke pengadilan memberi dampak multiplier effect terhadap kebutuhan jasa pengacara. Temuan Transparency International (TI) menyebutkan IPK Indonesia menduduki posisi ke-110 dari 178 negara yang disurvei.
Ketika membaca artikel tersebut, saya agak merasa aneh ketika membaca pemberitaan yang bersisikan “Sehingga pengacara papan atas seperti OC Kaligis mengakui bahwa semakin banyak masyarakat sadar hukum, sementara negara masih belum bisa memberi rasa keadilan. “Orang datang ke sini (kantor Kaligis) hampir setiap hari, kami tidak pernah cari client. Sampai hari ini, orang masih minta terus (jasa pengacara). Pengabdian itu, kalau saya masih sanggup, saya teruskan. Saya tidak bisa menolak, walaupun staf saya juga kadang bingung dengan kesediaan saya (menerima mereka) terus menerus”.
Dalam artikel itu, saya coba untuk menggali lebih jauh mengenai kesadaran hukum masyarakat yang dimaksud itu. Memang secara teoritis kesadaran hukum itu sendiri dibagi menjadi dua. Pertama adalah kesadaran hukum postif dimana kita lebih mengenalnya dengan istilah ketaatan hukum. Kemudian yang kedua adalah kesadaran hukum negatif, dimana identik dengan  ketidaktaatan hukum yang bisa disebabkan ketidaktahuan atau seseorang tahu perbuatannya salah tapi tetap dilakukan juga.
Jika dasar pemikiran yang digunakan untuk membenarkan perilaku masyarakat yang menyelesaikan sengketa dengan jalur litigasi dengan menggunkan jasa advocat dianggap sebagai sadar hukum, maka hal ini bagi saya sudah menjadi bencana.
Mengapa saya katakan menjadi bencana, hal ini disebabkan kita sudah melupakan musyawarah mufakat. Kita seakan sudah sangat memaklumi untuk menyelesaikan sebuah pertikaian dengan jalur litigasi yang sesungguhnya bukan “gaya” dari Indonesia itu sendiri.
Dalam pengamatan saya, bangsa ini seakan sudah maklum dengan gaya-gaya litigasi, tertulis, individualistis dan egois. Karena permakluman itu, maka dari itu bangsa ini selalu diributkan dengan hal remeh-temeh yang tidak seharusnya terjadi seperti kekisruhan dalam mendapatkan BB (Blackberry) dan pembakaran loket tiket di GBK.
Kita dari dahulu juga sepertinya sudah memaklumi jika terpidana korupsi menerima hukuman yang ringan dan mendapat tempat yang mewah dan istimewa di Lapas. Jadi tak heran  jika  munculnya para  “mafioso” di Indonesia begitu subur karena selalu dimaklumi.
Melihat fenomena sosial yang muncul di Indonesia, Saya jadi teringat dengan sebuah fenomena yang diceritakan oleh Prof Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Biarkan Hukum Mengalir”. Fenomena itu sendiri adalah terjadinya kecelakaan pesawat terbang komersial di Jepang dan di Amerika.
Ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang di Amerika yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawatnya, yang terjadi kemudian adalah proses litigasi dimana pengacara si korban dan pihak asuransi berdebat tentang berapa besar ganti rugi yang bisa diterima keluarga korban atau ahli waris.
Lain lagi dengan di Jepang, Ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawatnya, yang terjadi kemudian adalah dimana pimpinan maskapai penerbangan tersebut menunduk dan meminta maaf dalam-dalam terhadap keluarga korban, kemudian pihaknya menanggung biaya penguburan dan pendidikan bagi keluarga korban. Setelah proses santunan dan penguburan selesai dilaksanakan, pimpinan maskapai penerbangan tersebut mengundurkan diri.
Fenomena yang terjadi di Amerika dan Jepang diatas memang memberikan sebuah contoh perilaku dan cara menyelesaikan sengketa dengan gaya masing-masing. Walaupun sama-sama negara maju, tetapi dalam perilaku Amerika tetaplah Amerika yang selalu tetap menekankan kebebasan dan individu. Jepang tentunya memiliki cara dan kekhasan tersendiri seperti yang tercermin dalam peristiwa diatas.
Dalam konteks kekikinian, Indonesia yang selalu mengumandangkan hukum adat, budaya dan Pancasila malah sama sekali tidak mencerminkan sebuah perilaku yang tertib dan mendamaikan dalam menghadapi masalah. Ketika jembatan di Kutai Kertanegara ambruk, fenomena baru pun muncul.
Fenomena dimana masyarakat ramai-ramai menonton ambruknya jembatan tersebut tanpa menyadari perilaku seperti itu menghambat petugas gabungan dari SAR, Kepolisian dan TNI dalam melakukan pertolongan dan evakuasi korban.
Ketika menonton berita di televisi, tudingan akan buruknya perilaku bangsa ini dari mencuri onderdil jembatan sampai dugaan terhadap perilaku anak bangsa yang menjadi mafioso dalam pembangunan Jembatan itu pun menjadi topik utama.
Tak ada permintaan maaf, tetapi yang muncul adalah argumen-argumen tentang dugaan kenapa jembatan itu ambruk. Pada titik ini, saya begitu tidak mengerti apa yang dikehendaki bangsa ini. Kita tidak seperti Amerika dalam menyelesaikan masalah dan tidak juga seperti Jepang. Kita yang dikenal sebagai orang timur ini masih tetap setia dengan saling tuding, mempersulit, bertele-tele dan kisruh dalam mengahadapi masalah. Mungkin itulah gaya kita, gaya Indonesia.

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment