Monday, November 28, 2011

Butuh Pendidikan Moral



Oleh: Hendrasyah Putra

Eforia dan keributan, dua hal yang selalu berdampingan menghiasi berbagai peristiwa di negeri ini. Bangsa ini pun seakan sudah begitu maklum dengan keributan yang selalu timbul mengiringi sebuah eforia. Ketika eforia masyarakat sampai pada klimaksnya terhadap pencapaian tim sepak bola Indonesia, kisruh tentang buruknya penjualan tiket sampai dengan aksi para pembeli tiket yang paling kuatlah yang mendapatkan tiket seakan menjadi pasangan yang begitu serasi di negeri ini.
Berbicara masalah budaya antre, Saya jadi teringat ketika masih duduk dibangku SD dan SMP dimana untuk masuk keruangan kelas siswa diharuskan terlebih dahulu berbaris rapi. Guru pengajar memperhatikan dengan jeli barisan siswa yang hendak masuk keruangan. Makin rapi dan tertib barisan, maka makin cepat pula kami masuk keruangan kelas untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Jika melihat pengalaman itu, saya pikir kita semuua sudah tau tentang baiknya menjaga ketertiban dan keteraturan.
Ketika jaman orde baru, dahulu kita mengenal yang namanya penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Ketika pertama kali masuk SMP, saya masih sempat mendapatkan penataran P4. Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya apa pentingnya hal itu. Mungkin ketika pancasila yang pada saat itu menjadi asas tunggal di negeri ini, menjadi suatu keterpaksaaan untuk mengikuti penataran P4 itu.
Terlepas dari segala kontroversi tentang penerapan pancasila sebagai azas tunggal, saya pribadi mempunyai pengalaman tersendiri ketika mengikuti penataran P4 yang diwajibkan itu. Ketika mengikuti penataran itu, secara umum kami diajarkan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, tolong menolong, saling menghormati dan musyawarah mufakat.
Selain itu, kami juga diajarkan untuk membedakan mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajiban. Dahulu saya sempat berfikir, apa pentingnya hal itu. Ketika itu muncul pertanyaan dalam hati saya, kenapa kegiatan belajar mengajar tidak langsung dilaksanakan? Kenapa harus bertele-tele dan kembali diajarkan hal-hal yang dahulu pernah saya pelajari ketika SD dalam pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila)?
Kini pertanyaan saya itu sedikit demi sedikit sudah mulai terjawab dengan perilaku buruk bangsa ini. Kini begitu mengerikan. Degradasi moral, itulah kira-kira yang coba saya gambarkan dari perilaku buruk yang selalu menghiasi pemberitaan utama di televisi. Semangat akan selaras akan alam dan semangat akan kekeluargaan kini hanya menjadi pemanis dalam iklan komersial ditelevisi.
Dasar negara kita memang masih tetap Pancasila. Upacara hari-hari besarpun tetap dibacakan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan pancasila. Tapi hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan tragedi final sepak bola SEA Games 2011yang memakan korban.
Targedi itupun menimbulkan aksi saling menyalahkan yang sering kali dipertontonkan oleh bangsa ini. Penonton menyalahkan panitia yang tidak profesional dalam menyelenggarakan dan tentunya  panitia juga tak mau kalah, bagi panitia kesalahan penonton yang tidak mempunyai tiket ikut antre untuk masuk ke stadion Gelora Bung Karno sehingga menyebabkan perebutan untuk masuk kedalam stadion menjadi semeraut dan berakhir chaos.
Saya hanya bisa mengerutkan kening dan menaikan alis ketika membaca berita disalah satu media cetak onliane yang berjudul “Penjualan Bellagio Ricuh, 4 Orang Pingsan, 1 Patah Tulang” (www.kompas.com). Dalam berita tersebut, diceritakan bahwa kericuhan dalam pembeliaan alat komunikasi itu di picu oleh gelang sebagai penanda sebagai calon pembeli yang sah tidak berlaku lagi. Sehingga antrean yang telah dibuat pun berubah menjadi chaos bagaikan singa dan hyna yang berebut daging hewan buruan.
Perilaku seperti ini kiranya berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan jasa advocat di negeri ini. Dalam artikel yang berjudul “Kebutuhan Jasa Pengacara Meningkat di Indonesia” (www.businessnews.co.id) diberitakan bahwa Peningkatan perkara korupsi di Indonesia yang dibawa ke pengadilan memberi dampak multiplier effect terhadap kebutuhan jasa pengacara. Temuan Transparency International (TI) menyebutkan IPK Indonesia menduduki posisi ke-110 dari 178 negara yang disurvei. Dalam pemberitaan tersebut dikatakan pula bahwa tingginya kebutuhan akan advocat menjadi sebuah indikator tentang tingginya tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Hal seperti ini menjadi mengerikan. Menjadi mengerikan dimana apa yang dibutuhkan bangsa ini adalah advocat yang diharapkan bisa menyelesaikan perkara-perkara yang timbul. Dan menjadi sangat mengerikan dimana fenomena penggunaan jasa advocat ini dinyatakan menjadi sebuah indikator tingginya tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Bagaimana mungkin masyarakat dikatakan sadar hukum jika masyarakat sangat suka bersengketa. Bagamana mungkin kesadaran hukum meningkat jika untuk antre saja kita tidak bisa tertib. Kita seakan sudah lupa bahwa perilaku buruk dinegeri ini disebabkan karena rusaknya moral.
Entah mengapa bangsa ini menjadi tidak jelas. Kita seakan tidak mempunyai jati diri. Kita mengaku bukan komunis, bukan juga kapitalis. Tapi secara perilaku kita bukan juga pancasila. Dalam pengamatan saya, negara kapitalis atau komunis sekalipun tidak pernah kisruh ketika melakukan antre untuk hal yang remeh-temeh, kecuali dalam keadaan bencana (terkecuali dalam kasus Jepang).
Dahulu saya memang tak begitu memahami mengapa penekanan pendidikan dan pemahaman tentang moral menjadi begitu penting. Dahulu saya tidak mengerti mengapa pembukaan Undang-Undang Dasar dan Pancasila selalu dibacakan ketika Upacara berlangsung. Sampai pada akhirnya perilaku bar-bar yang seringkali tampil menjadi sebuah jawaban tentang betapa pentingnya pendidikan moral.
Kini semua itu sudah terjawab dan menjadi begitu jelas. Inilah fakta dimana kita begitu baik diatas kertas dan begitu indah dalam retorika, tetapi kita selalu buruk dalam perilaku.

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment