Oleh: Hendrasyah Putra
Artikel ini sejatinya terinspirasi oleh sebuah status pada sebuah akun jejaring sosial milik suami sahabat saya.Walaupun sudah agak samar-samar diingatan saya, tetapi kiranya secara umum saya mencoba menyampaikan substansi dari status akun tersebut. Status akun sosial tersebut secara substansi berisikan tentang seorang fotografer yang awalnya minder dengan fotografer sahabatnya yang memiliki sebuah kamera foto dengan spesifikasi lebih baik.
Dibawah status akun sosial tersebut, saya melihat beberapa komentar teman pemilik akun sosial tersebut, yang manurut saya mereka memiliki suatu profesi yang sama. Isi komentar tersebut mengatakan “apapun kamera nya, yang terpenting Man Behind The Gun”. Menurut saya komentar yang disampaikan ini dimaksudkan untuk mengigatkan kepada pemilik akun sosial tersebut bahwa sesungguhnya “faktor manusialah yang menentukan baik buruk nya dalam penggunaan sebuah kamera foto”.
Man Behind the Gun, adagium ini sungguh mengingat kan saya pada cerita kawan sejawat saya. Iya sempat berkeluh kesah saat ketika Ia masih bekerja disebuah lembaga pembiayaan. Disitu Ia iya bercerita kelebihan dan kekurangan lembaga pembiayaan dimana Ia bekerja.
Menurutnya, kelebihan dari lembaga pembiayaan dimana ia bekerja adalah bagaimana lembaga pembiayaan tersebut memberikan fasilitas jaminan sosial yang menurutnya paling baik diantara lembaga pembiayaan lainnya. Disitu Ia juga menceritakan, dimana lembaga pembiayaan tersebut dalam pengelolaan keuangan dan administrasi sebagian besar dipermudah dengan sistem perangkat lunak.
Menurut sahabat saya ini, dengan adanya perangkat lunak tersebut berakibat pada efesiensi pekerjaan. Bayangkan saja, anda tinggal memasukan data-data yang dibutuhkan, kemudian tinggal tekan “ENTER” maka hasil perhitungan dan data-data statistik muncul secara otomatis tanpa anda perlu berhitung atau memasukan variabel-variabel tertentu kedalam sebuah rumus statistik yang rumit.
Selain masalah admnistrasi tadi, dalam pengerjaan jaminan sosial juga dipermudah dengan perangkat lunak ini. Dalam perangkat lunak ini segala sebab akibat dan apa saja yang bisa dipertanggungjawabkan berkaita jaminan sosial itu telah disediakan dalam perangkat lunak ini.
Tetapi sahabat saya ini pada akhirnya mengeluhkan dengan perangkat lunak ini. Keluhan ini timbul dikarenkan perangkat lunak tersebut tidak bisa mengakomodir keadaan tertentu dalam resiko pekerjaan yang disebabkan adanya “denda adat”.
Jika menurut logika “perangkat lunak” tersebut “denda adat” tidak dapat didefenisikan sebagai sebuah resiko pekerjaan, mengingat perangkat lunak ini dibuat untuk lembaga pembiayaan yang kelak dipergunakan oleh cabang-cabang lembag pambiayaan itu diseluruh penjuru Nusantara, maka sudah barang tentu perangkat lunak ini akan menemukan ketidak-cocokan dengan liku-liku permasalahan yang ada di seluruh Nusantara.
Untuk menanggulangi benturan antara “perangkat lunak” dan “hukum adat” tersebut Kepala Cabang tersebut mengambil kebijakan, dimana penyelasaain akibat pelanggaran “hukum adat” tersebut diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Walaupun pada akhirnya lembaga pembiayaan tersebut harus membayar “denda adat” tersebut, tetapi jalan ini lebih mendamaikan diantara kedua belah pihak yang bersengketa.
Dua cerita diatas sengaja saya ingin sampaikan kepada para pembaca. Disini saya mengingatkan kepada kita semua bahwa setiap karya cipta manusia (artifisial) adalah hanya bersifat nisbi, maka untuk itu perlu manusia yang bisa mengoperasikannya dengan “arif dan bijak”.
Saya jadi teringat dengan perkataan Sezume No Kumo, ia mengatakan “ilmu pengetahuan kadang menghambat, ketidak tahuan kadang membebaskan. Tahu kapan untuk tahu dan tahu kapan untuk tidak tahu ini sama hal nya dengan pedang yang tajam”.
Disini terbukti bahwa, kepala cabang lembaga pembiayaan tersebut secara arif dan bijak untuk mengindahkan definisi “perangkat lunak” tersebut, tetapi kepala cabang tersebut lebih memilih mengikuti kearifan dimana dia mendengar musibah yang di timpa oleh karyawan nya dan bertindak atas nama perusahaan memutuskan untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut dengan cara kekluargaan dengan mengikuti adat setempat.
Man Behind The Gun, memang salah satu penentu dalam penggunaan dari sebuah cipta karya manusia selain faktor takdir tuhan. Di sini kita melihat, bahwa kita memang harus bertindak luar biasa, dari pada harus bertindak biasa.
Mungkin saat ini di dalam diri anda timbul gejolak. Tentu anda membayangkan antra manusia dan sistem. Saya bukanlah ingin memperdebatkan hal ini. Karena menurut saya antara manusia dan sistem seperti sebuah keping mata uang.
Memang secara garis besar dalam artikel ini tergambar bahwa faktor manusia berada diatas faktor sistem. Disini saya kembali mencoba membuka ingatan pembaca tentang sebuah iklan komersial yang ber jargon “NATO” (No Action Talk Only). Bukankah dengan berbuat itu akan lebih baik dari pada berwacana.
Bukankah dengan merubah diri menjadi pribadi baik adalah lebih baik dari pada berharap orang lain berubah menjadi baik. Barang kali pembaca tak akan lupa dengan peristiwa “tenggelamnya sebuah kapal di muara jungkat”. Bukankah kita sama-sama menderita dengan kelangkaan BBM serta tingginya harga BBM. Bukankah kita juga merasakan korupsi yang terjadi sesungguhnya terlahir dari kita sendiri yang tidak mau menjadi pribadi yang baik. Bukankah kita sendiri yang “membidani” korupsi itu sendiri?
Apakah kita masih ingin mempertahankan sikap pragmatis dan berusaha membela diri dengan mengatakan “yang lain juga demikian, kenapa saya tidak?”. Bukankah Jepang telah mencontohkan bukti nyata di tahun ini dengan sikap tolong menolongnya dalam menghadapi tiga musibah yang datang. Apakah contoh ini tidak cukup membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik?
Saya tidak akan berdebat tentang kasus Prita Mulyasari, Gayus Tambunan, Nunun Nurbeiti dan Andi Nurpati. Saya juga tidak akan berdebat dengan sistem hukum, atau kurikulum pendidikan hukum di Indonesia. Jika kita masih memiliki “hati nurani”, coba kita tanyakan kepada “hati nurani” kenapa, mengapa bangsa kita seperti ini?
Bukankah kita menjadi manusia yang “takabur” jika masih menganggap cipta karya manusia menjadi penyelesai suatu masalah. Bukankah kita sadari bahwa dengan menggantungkan kepada cipta karya manusia yang penuh kekurangan itu menjadikan kita budak. Bukankah ini sama hal nya dengan mempersekutukan Tuhan?
Jika anda berkenan dengan pendapat saya ini, bukankah manusia itu sangat unik, dan menurut saya manusia itu adalah sebuah keajaiban alam yang luar bisa. Bukankah untuk menyikapi yang luar biasa tersebut kita juga harus berbuat yang luar biasa?. Mudah-mudahan artikel pendek ini bisa menjadi sebuah cerminan bagi kita bersama.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment