Wednesday, November 23, 2011

HARUSNYA KITA LEBIH BAIK



Oleh: Hendrasyah Putra

Tidak mengherankan saya ketika mencoba mencari demografi Indonesia dan memfokuskan dengan tingkat keagamaan di Indonesia. Di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katholik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha (wikipedia).
Angka-angka diatas secara garis besar menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan secara tegas pula di akui dalam dasar negara kita yakni sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Saking religiusnya bangsa kita, bahkan negara kita memberikan toleransi yang tinggi kepada penduduknya berupa libur nasional dalam perayaan hari besar keagamaan.
Tentunya bukan menjadi suatu hal yang asing pula bagi kita jika Indonesia menempati lima besar negara terkorup di dunia. Rasanya kita juga sudah maklum dengan praktik korupsi, money politik dalam pemilu dan ditambah lagi munculnya mafioso di negeri yang religius ini.
Secara pribadi, menurut saya ada sebuah kejanggalan. Kejanggalan dimana tingkat relegius itu ternyata tidak berbanding terbalik dengan peringkat yang di sandang Indonesia dalam hal Korupsi. Ada apa sebenarnya dengan bangsa Indonesia yang religius ini?
Hemat saya, idealnya jika tingkat religius suatu negara itu tinggi maka berdampak pada tingkat kejahatan yang rendah. Mungkin saya terlalu naif jika hanya memberikan beban menjaga ketertiban dan kedamaian hanya pada Agama saja.
Pada titik ini, saya adalah termasuk orang yang percaya bahwa agama mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan akhlak atau moral suatu individu.
Disini saya akan mencoba memberikan pandangan dari yang saya ketahui tentang negara yang tidak begitu religius. Tentunya kita masih ingat bulan Maret 2011 mungkin bagi kita ini bulan yang biasa-biasa saja, tetapi tidak bagi Jepang. Bulan Maret 2011 menjadi sebuah malapetaka bagi Jepang.
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Budaya Jepang di Tengah Penderitaan Gempa dan Tsunami” Nana Sudiana menceritakan perilaku yang saya kira sangat luar biasa, dimana sejumlah supermarket yang masih tetap buka justru menurunkan harga bahan makanannya, Bukan menaikkan dan mengambil untung. Sejumlah mesin penyedia makanan dan minuman otomatis malah dibuka secara gratis.
Hal yang menarik lainnya adalah dalam kondisi bencana di Jepang tidak adanya pemandangan penjarahan bahan makanan oleh korban bencana di sana, baik pada toko-toko yang ada ataupun supermarket.
Disitu tergambar bahwa masyarakat Jepang bekerja sama untuk saling tolong menolong dan meringkan beban yang sama-sama menimpa mereka.
Sekedar ingin mengingatkan pembaca, seperti kita ketahui bahwa dalam berbagai bencana di sejumlah negara, penjarahan kerap terjadi. Usai gempa dahsyat di Haiti dan Cile, usai banjir besar di Inggris 2007, dan usai badai Katrina di Amerika Serikat. Di empat negara ini, seluruh warganya menjarah bahan pangan untuk bertahan hidup.
Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Tak usah jauh-jauh, tentu pembaca sekalian masih ingat “trgaedi tenggelamnya kapal di muara Jungkat” yang mengakibatkan berkurangnya pasokan BBM (bahan bakar minyak) dan tentunya kita sama-sama merasakan “gilanya” harga BBM.
Dalam sebeuah berita di surat kabar online yang berjudul “Ketangguhan Jepang Memukau Dunia” Profesor Harvard University, Joseph Nye, mengatakan, “bencana telah melahirkan Jepang sebagai bangsa soft power".
Lebih lanjut ia mengatakan “saat bencana dan tragedi kemanusiaan mengundang simpati dari dunia Jepang, citra negara yang tertimpa bencana jarang mendapat keuntungan dari bencana tersebut. Pakistan, misalnya, menerima bantuan AS dan negara lain saat dilanda banjir bandang tahun lalu. Namun, bantuan individu sangat sedikit, yang disebabkan citra negeri itu di mata dunia. China dan Haiti juga menghadapi kritik atas penanganan gempa bumi tahun 2008 dan 2009”.
Dalam kaitannya dengan maslah dana bantuan di Jepang Ia mengatakan “Menghadapi kebutuhan akan dana rekonstruksi skala besar, Jepang masih menimbang tawaran internasional. Meski dilanda tragedi dahsyat, peristiwa menyedihkan, ada fitur-fitur yang sangat menarik dari Jepang.”
Merinding rasanya membaca apa yang di ceritakan oleh Nye. Dalam keadaan sulitpun, Jepang masih memiliki harga diri dengan menimbang menerima atau tidak tawaran bantuan dana rekontruksi internasional.
Sampai pada titik ini, saya sendiri menemui sebuah tembok kejanggalan. Dimana saya menemukan data bahwa antara 64% dan 80% orang Jepang adalah atheis, agnostik, atau non-beriman (James Killian ;wikipedia).
Bagaimana mungkin sebuah negara yang sebagian besar penduduknya atheis bisa begitu kuat dan tabah dalam mengahadapi bencana yang maha dasyat. Bagaimana mungkin tolong menolong dan meringankan beban sesama yang sering di celotehkan para ahli agama di stasiun-stasiun televisi di Indonesia malah muncul di Jepang?
Ternyata pendapat saya diatas tak bisa menjawab fenomena ini. Ternyata tingkat relegiusnya suatu negara tidak menjamin terciptanya sebuah ketertiban. Dasar negara sekalipun ternyata tak begitu sakti untuk menciptakan sebuah ketertiban. Aneh rasanya nilai-nilai luhur dan semangat dalam Pancasila malah tumbuh subur di Jepang yang  atheis dan sama sekali tidak mengenal Pancasila.
Jika di Indonesia tingkat religius berbanding lurus dengan tingkat korupsi, maka di Jepang tingkat religius berbanding terbalik dengan tingkat ketertiban dan tolong menolong.
Dalam artikel yang berjudul “Budaya Jepang di Tengah Penderitaan Gempa dan Tsunami” Nana Sudiana mencoba menjawab fenoma tersebut. Menurutnya “Secara sosiologis, ini dimungkinkan terjadi akibat adaptasi nilai yang mereka buat. Bahwa masyarakat dalam jumlah yang besar harus hidup di tanah yang sangat terbatas. Mereka harus memiliki keteraturan yang sangat tinggi.”
Jika kita sedikit melihat kebelakang, rasanya Jepang memiliki kesamaan dengan Indonesia. Jepang dahulu juga mengalami perang antar klan dan stratifikasi sosial. Bukankah Indonesia juga pernah mengalami hal yang demikian? Walaupun kita ketahui bahwa Jepang tak pernah diajajah. Tetapi substansi yang saya tuju adalah moralitas Jepang yang begitu memukau.
Bagi saya Pertanyaannya adalah mengapa Jepang bisa beradaptasi dan mempertahankan nilai-nilai luhur ditengah kemerosotan relegiusnya. Bukankah agama diturunkan untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman bagi pemeluknya?
Pada titik ini, saya lebih cenderung melihat pengoperasi agama dan nilai-nilai luhur itu. Saya rasa manusialah yang bertanggung jawab atas keburukan dan kebaikan yang tercipta di muka bumi.Bukankah yang membidani dan yang melahirkan kejahatan dan kebaikan itu kita sendiri?
Indonesia yang memiliki tingkat religius yang cukup tinggi ditambah lagi dengan penguatan dalam sebuah dasar negara, bukankah ini harusnya menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan tangguh? Bukankah kita harusnya lebih baik daripada negara yang atheis? Semoga bisa memberikan pandangan berbeda. (*terbit di borneo tribune 24 Agustus 2011)

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment