Wednesday, November 23, 2011

SIAPA YANG MENGAWASI PENGAWAS (Quis Custodiet Ipsos Custodes)




Oleh Hendrasyah Putra



Chek and Balances merupakan suatu isu yang di hembuskan ketika reformasi mulai dijalankan dan suatu konsekuensi yang harus diterima dari diterapkannya asas-asas umum pemerintahan yang layak (Good Governace).
Sebenarnya lahirnya good governance ini pula merupakan dampak dari sistem pemerintahan yang pernah dicetuskan oleh seorang ahli hukum Perancis yakni Montisque dengan teorinya trias politica.
Di Indonesia sendiri sebenarnya sistem yang dicetuskan oleh Montisque ini sudah dikembangkan dengan sendirinya. Ini terbukti saat ini pembagian kewenangan yang ada sistem pemerintahan bukan menjadi tiga, tapi menjadi lima kewenangan (penta politica).
Kewenangan itu sendiri dapat kita kelompokan kedalam kewenangan Yudikatif oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, Legislatif oleh MPR yang didalamnya terdiri dari DPR dan DPD, Eksekutif oleh Presiden dan/atau pejabat tata usaha negara dan perangkat-perangkatnya,  Inspektif oleh BPK dan yang terakhir adalah Ekasaminatif oleh Komisi Yudicial (lihat Undang-Undang Dasar 1945 yang di Amandemen).
Hal-hal tersebut diatas merupakan salah satu terobosan dibidang sistem pemerintahan yang sangat baik sekali. Tetapi saat ini terobosan itu menjadikan momok bagi suatu lembaga tinggi negara yang baru, yakni Mahkamah Konstitusi.
Kenapa dalam tulisan ini saya titik beratkan pada Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarekan kondisi ketatanegaraan kita saat ini mulai kacau, dimana sudah tidak adanya keseimbangan lagi antara lembaga tinggi negara mengingat Chek And Balances telah menjadi terkecuali untuk lembaga yudikatif.
Hal ini dimulai ketika Hakim Agung mengajukan Yudicial Review terhadap undang-undang tentang Komisi Yudicial berkaitan dengan pengawasan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Kemudian pada akhirnya perjuangan para Hakim Agung itu berhasil dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menerima dan mengabulkan gugatan Hakim Agung terhadap undang-undang tersebut.
Terlepas dari pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim-hakim Konstitusi, saya pikir jelas dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menjadi sangat subjektif, mengapa demikian? Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi juga mempunyai kepentingan yang sama dengan Mahkamah Agung (para Hakim Agung dan Hakim Konstitusinya).
Nah sekarang sudah jelas, sekarang siapa yang bisa mengawasi tindak tanduk dari kedua kekuasaan kehakiman diatas. Agaknya pertanyaan ini sulit untuk dijawab tentunya. Hal ini terbukti dengan keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi yang mulai sedikit aneh seperti dengan dikabulkan permohonan Yudicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan yang baru-baru ini adalah dengan diterimanya Yudicial Review terhadap undang-undang KPK yang berdampak pada hilangnya Timtastipkor.
Walaupun Komisi Yudicial sendiri hanya bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, tetapi agaknya Kedua lembaga yudikatif diatas tidak mau sedikitpun diganggu kekuasaannya oleh suatu komisi pengawasan (lihat pasal 21 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004)
Tetapi Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipersalahkan karena mengeluarkan putusan yang menimbulkan pro dan kontra seperti ini. Saya pikir hal ini sebagai konsekuensi yuridis dari sistem negara hukum yang menganut mekanisme check and balances. ?Tidak semua keputusan politik pemerintah atau DPR selamanya benar apabila dikaji menurut UUD dan nilai-nilai HAM serta keselarasan antara kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan rasa keadilan. Kalau memang tidak benar, adalah forum yang sah dan tepat apabila Mahkamah Konstitusi membatalkannya.
Tetapi siapakah yang mengawasi kedua lembaga diatas? Secara positivis tidak ada lembaga negara ataupun komisi bentukan negara yang bisa mengawasi Kedua kekuasaan kehakiman ini. Dan hal ini berdampak pada superioritas dan subjektifitas kekuasaan ini.
Maka saya pikir perlu kita tinjau kembali tentang kewenangan dari Komisi Yudicial yang telah di Yudicial Review tersebut, walaupun hal ini menjadi sia-sia mengingat keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat Jadi tidak dimungkinkan ada upaya hukum lagi.
Bagaimana dengan Yudicial Review kembali tentang apa yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi? Hal ini pun menjadi suatu hal yang sia-sia, mengingat ketentuan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur bahwa tidak diperbolehkannya pengajuan Yudicial Review terhadap pasal yang sama (nebis in idem).
Jalan satu-satunya adalah melakukan Yudicial Review terhadap Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tetapi saya pikir hal ini juga akan menjadi suatu hal yang sia-sia karena Mahkamah Konstitusi tidak mungkin mengabulkan Yudisial Review yang akan memotong kewenangannya atau bahkan membubarkan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Mengingat chek and balances sudah menjadi pengecualian di negara ini, maka cara yang sangat efektif adalah pengawasan yang dilakukan oleh rakyat secara radikal. Kenapa cara ini, karena cara-cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak memungkinkan untuk mencampuri atau bahkan mengawasi dari tindakan kekuasaan kehakiman ini.
Memang akhir-akhir ini Mahkamah Konstitusi mempunyai suatu kebiasaan yang unik yakni mengeluarkan suatu keputusan yang kontroversial. Nampaknya untuk kedepan Mahkamah Konstitusi harus lebih berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara, karena jika kebiasaan ini (keputusan yang kontroversial) masih dilakukan, maka  jangan heran terjadi reaksi-reaksi masyarakat yang anarkis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

1 comment: