Oleh: Hendrasyah putra
Tentunya anda sekalian pernah mendengar atau bahkan menonton film pinokio. Film ini berkisah tentang sebuah boneka kayu yang diberi kehidupan oleh seorang peri baik hati. Tetapi ada hal yang bagi saya sangat menarik dari film ini, yaitu kutukan hidung memanjang jika si pinokio berbohong.
Andaikata kutukan itu benar-benar ada, tentunya orang akan malu berkata bohong atau berbuat curang karena ketika mereka berbohong secara otomatis hidung mereka semakin panjang. Bayangkan saja dengan kutukan ini akan sangat mempermudah bekerjanya polisi, jaksa dan hakim dalam menjaga “ketertiban dimasyarakat”. Disisi lain kutukan ini mungkin akan mengurangi jumlah orang yang berperkara tentunya hal ini berpengaruh pada berkurangnya rutinitas para lawyer/advocat.
Sangat utopis sekali rasanya ketika saya mengkhayal akan kutukan itu. Sampai-sampai seorang pemikir besar pernah mengatakan bahwa “kenyataan adalah sebuah realita yang terbalik” tetapi menurut saya apa yang diaktakan pemikir itu ada benarnya. Ya setidaknya ini menjawab kondisi Indonesia saat ini.
Ketika menonton telivisi dan membaca surat kabar, rasanya mata ini sudah jenuh melihat pemberitaan mengenai perampokan kekayaan negara ini. Kontroversipun bermunculan terhadap hukum dinegara ini.
Kasus Bank Century misalnya, hal ini tentunya bagi masyarakat kecil dan jauh dari peradaban akan sangat membingungkan mereka. Bayangkan saja para pelaku yang menuding adanya unsur merugikan keuangan negara dalam kasus ini sudah tidak diragukan lagi kredebilitasnya di bidang ilmu ekonomi dan sebaliknya pula para pihak yang dituding karena kebijakanya itu dapat merugikan keuangan negara mempunyai kredebilitas yang tak kalah mentereng pula.
Saya sempat berkhayal disela-sela menonton berita tentang kasus tersebut. Bayangkan saja jikalau tiba-tiba peri pinokio muncul dan memberikan kutukan kepada pelaku-pelaku tersebut. Bayangkan apa yang akan terjadi? Apakah salah satu pihak hidungnya akan bertambah panjang? atau malah kedua belah pihaknya atau malah akan banyak gareng-gareng yang tak terduga bermunculan menghiasi birokrasi dan penegakan hukum kita.
Bukankah ini sesungguhnya sebuah ironi dimana sebuah negara yang mempunyai dasar negara pancasila dan menempatkan sila pertama sebagai “Ketuhanan Yang Maha Esa” malah berperilaku seolah-olah bahwa tuhan itu tidak ada! Bagi saya inilah sebuah ironi dengan diciptakannya “neraka”. Bukankah ini perilaku yang lebih komunis daripada paham komunisme itu sendiri?
Malu rasanya dasar negara yang tertera dalam Undang-undang Dasar kita ini hanya menjadi sebuah prasasti saja. Jadi sesungguhnya apa yang dipahami dan dibaca seseorang warga negara Indonesia ketika membaca undang-undnag dasarnya? Atau mereka ini melakukannya hanya untuk memenuhi prosesi upacara dalam hari-hari besar yang dihargai dengan hari libur itu?
Kiranya saya setuju dengan pendapat Ronald Dworkin, “membaca konstitusi adalah melakukan “moral reading”. Rasa-rasanya melihat kelima sila yang termaktub dalam pancasila itu mencerminkan sebuah negara yang kuat dalam spiritualnya dan sangat egaliter. Tapi mengapa perilaku Imoral malah menjadi penghias lembar demi lembar kolom pemberitaan ditanah air?
Bukankah Bangsa Indonesia harusnya malu dengan Cina yang menganut paham komunis tetapi sangat tegas sekali dalam memberantas korupsi di negaranya. Bahkan Jepang dengan semangat samurai-nya mempunyai rasa malu yang tinggi, sehingga kegagalan bagi orang Jepang itu sendiri tak akan terbayar dengan darah semahal apapun, sehingga bagi mereka bunuh diri (harakiri) dengan kodachi (katana yang pendek) adalah sebuah kematian yang terhormat dan kebanggaan bagi diri dan keluarga.
Rasanya bangsa ini agak kurang percaya dengan sebuah sikap dan perilaku “jujur”. Hal ini mengingatkan saya pada seorang teman sejawat yang dalam kesehariannya bekerja sebagai “cukong kayu”. Ia bercerita kepada saya dengan logat melayu bercampur lafazd cadel/pelat thionghoa “cam mane mau jujur hen, kite jujur aparatnye kurang ajar same kite” kemudian “surat-surat dah lengkap pon masih gak ditahan, nak gile aku liatnye” selanjutnya “makenye rugi kalo kayunye sesuai dengan dokumennnye, kasi dua ratus atau tiga ratus ribu lepas beh”.
Walaupun kasus yang saya temui diatas bukanlah gambaran umum dari segala bentuk perilaku bangsa ini, tetapi setidaknya hal itu menjadi sebuah gambaran bagaiamana bangsa ini berperilaku. Tetapi mungkinkah apa yang pernah diaktakan oleh max weber itu benar yakni “perkembangan rasionalitas hukum formal merupakan perwujudan dari dan persyaratan pertumbuhan kapitalisme modern.”
Mengapa demikian? Sadarkah anda bahwa kasus-kasus yang saya ceritakan diatas sesungguhnya menceritakan sebuah ciri hukum formal yang selalu mengedepankan “hitam diatas putih” dan selalu saja memberikan ruangan yang nyaman kepada pemodal (the haves). Hukum formal hanya berbicara apa yang tertulis dibuku, apa yang telah diatur dalam pasal, apa yang telah ada dalam undang-undang dan siapa yang telah mempunyai dan diberi ijin.
Pernahkah hukum formal dengan asas “nullum delictum”- nya itu berbicara tentang sebuah rasa keadilan dimasyarakat? Pernahkah hukum formal itu membahas bagaimana cara memberikan solusi terhadap “kejadian-kejadian” yang sangat unik dimasyarakat? Apakah hanya sekedar legal formal dan sesuai prosedur itu sudah cukup? Inikah yang namanya “law enforcement” itu? Inikah kepastian hukum itu?
Tanpa disadari, kelemahan negara pada sektor ini dimanfaatkan oleh para gareng-gareng yang membawa sedikit obat pada masyarakat yang tengah terluka itu. Hasilnya kasus-kasus seperti pelemparan kepada Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Landak ketika ingin menghentikan PETI, kemudian perlawanan masyarakat kepada Polisi disalah satu daerah diketapang ketika ingin melakukan penghentian dan penagkapan kepada pelaku pembalakan liar.
Lagi-lagi masyarakat yang hanya butuh bahagia, hidup layak, bisa memberi makan keluarga dan desanya dibuatkan suatu akses jalan yang “manusiawi” menjadi korban dari pembohong yang membohongi pembohong lainnya.
Inilah titik terendah dalam berhukum dinegeri kita. jika kutukan pinokio itu ada, tentunya periaku-perilaku negatif akan sangat mudah untuk dideteksi dan dihancurkan. Tetapi apalah daya, tuhan hanya menciptakan sebuah “neraka” yang pada akhirnya itu semua hanya menjadi isapan jempol belaka bagi sebuah negara yang memiliki dasar negara PANCASILA.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment