Oleh: Hendrasyah Putra
“Kekuasaan Cenderung Disalahgunakan Tetapi Kekuasaan Yang Absolut Sudah Pasti Disalahgunakan.”
Diatas adalah ungkapan yang pernah dicetuskan oleh Lord Arcon,. Apa benar?? Memang belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui penelitian dan pengalaman bertahun-tahun. Untuk sekedar ilustrasi ada baiknya kita melihat Kisah Naga Baru, kisah ini diambil dari situs wikipedia.
Alkisah pada suatu hari seorang pendekar perguruan silat yang sangat sakti dibujuk oleh murid muridnya untuk masuk kedalam sebuah gua dan mengalahkan seekor naga yang menghuni gua tersebut. Sudah ratusan pendekar yang masuk dan berusaha membunuh naga tersebut tetapi mereka tak pernah keluar dari gua dengan selamat.
Karena merasa tertantang, maka sang pendekar guru segera masuk kedalam gua dan ternyata bahwa sang naga sama sekali tidak sakti. Dengan sekali tebasan pedang saja sang naga langsung tersungkur mati. Sang pendekar segera melihat sekeliling gua, ternyata penuh dengan bongkahan emas permata yang kemilau sangat mempesona. Sang pendekar guru tergiur untuk mengambil beberapa genggam permata untuk oleh-oleh kepada murid-muridnya sekaligus sebagai bukti bahwa dia telah berhasil mengalahkan sang naga.
Namun apa yang terjadi?? Begitu meraup harta permata tersebut seketika sang pendekar guru menjelma menjadi seekor naga. Karena merasa malu maka sang pendekar guru memilih tetap tinggal di dalam gua, dan menjadi Naga Baru. Murid-murid diluar gua merasa cemas dan menyangka gurunya telah tewas diterkam sang Naga, padahal gurunya telah menjelma menjadi naga yang baru.
Dari kisah pendek diatas tentu adanya suatu hubungan yang kuat dengan teori yang dicetuskan oleh Lord Arcon. Jika kita melihat lebih dalam lagi cerita pendek tersebut walaupun hanya sebuah cerita fiktif belaka tetapi memiliki pesan-pesan tersirat.
Ada suatu fenomena nasional dan internasional yang kiranya patut dijadikan juga sebagai suatu gambaran betapa sesorang begitu ingin mempertahankan atau mendapatkan keuasaan.
Di negara tetangga kita Malaysia beberapa hari yang lalu terjadi demontrasi besar-besaran dengan mengusung isu menuntut adanya reformasi disegala bidang. Mungkin hal itu akan mengingatkan kita pada tragedi 1998 di negeri ini, kemudian ada juga keicuhan di Pakistan yang kasusnya serupa pula seperti di Malaysia.
Kasus yang terjadi di Malaysia dan di Pakistan mungkin dapat dikatakan terjadi akibat dari “Sang Pendekar tergiur dengan kemilaunya harta”. Mungkin jika ingin diungkap dalam sebuah tulisan pendek ini tak akan cukup untuk memuat penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para pendekar-pendekar itu.
Saya pikir cukuplah kita kiranya membecirakan negara orang lain, karena didalam negeri ada suatu fenomena yang menarik yakni, kericuhan pemilu di Sulawesi Tenggara, yang sangat sunter-sunternya diberitakan di media elektornik maupun media cetak yang pokok permasalahannya dipicu oleh adanya indikasi manipulasi suara. Kemudian tak kalah hebat pula adalah pemilu di Kal-Bar yang begitu banyak memuat isu sekterian dan identitas serta kecurangan-kecurangan dalam pemilu dan banyak lagi kabar berita yang simpang siur sehingga kedepannya bisa berdampak buruk bagi kondisi Kal-Bar.
Sebenarnya kenapa hal ini bisa terjadi? Tentunya hal ini adalah ulah dari pihak kepentingan yang bermain dalam perubatan kekuasaan tersebut. Jika kita tarik sebuah garis lurus, maka dapat dikatakan bahwa pihak-pihak yang terkait tersebut adalah para kandidat yang ingin memegang kekuasaan tersebut.
Hemat penulis, keicuhan-kericuhan yang timbul tersebut sesungguhnya adalah dampak dari agresi yang digunakan sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggresion). Jika kita lihat aksi polisi Malaysia dan Pakistan yang menindak para pelaku demontrasi itu pastilah sesuai dengan perintah dari si penguasa. hal serupa pula terjadi dalam pemilu di tingkat lokal, para pihak yang tidak bertanggung jawab dengan perintah dari tuannya akan melakukan berbagai upaya agar tuannya tersebut dapat memimiliki kekuasaan.
Mungkin dalam kesempatan ini penulis sedikit banyak setuju dengan pendapat psikolog Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya psikologi sosial, yang mengutip pendapat psikolog Anderson dalam penelitiannya terhadap masyarakat Jawa yakni”Orang dapat berusaha mencari kekuasaan dan mempertahankannya mati-matian, karena dianggapnya sekali kekuasaan itu sudah berpindah tangan, sulit untuk merebutnya kembali”.
Terjadinya kericuhan-kericuhan yang berbarengan dengan adanya pemilihan seorang kepala daerah ini tentunya erat kaitannya dengan akar sejarah kepemimpinan Soeharto yang telah lebih dari 30 tahun berkuasa. Akar-akar pengaruh itu tentunya gaya perpolikan masyarakat jawa dalam era terapan Soeharto berkuasa, dan tentunya ketika reformasi telah dimulai tanpa sadar para pendekar-pendekar didaerahnya masing-masing secara langsung maupun tidak langsung telah menerima dan menerapkan ajaran maha guru tersebut.
Mungkin ketika Indonesia mendapat penghargaan tentang demokrasi, sebenarnya menurut penulis itu bukan merupakan suatu penghargaan tetapi itu merupakan suatu hinaan terhadap bangsa ini terutama bagi masyarakat Indonesia yang telah ditipu mentah-mentah oleh pendekar-pendekar yang berkuasa dengan mengatasnamakan demokrasi.
Bagaimana mungkin negara yang dinilai dan diyakini oleh kalangan asing sebagai negara yang demokratis saat ini memeiliki begitu banyak rakyat miskin dan tidak berpendidikan serta berbagaimacam masalah-masalah sosial lainnya yang tak terselesaikan oleh para pendekar yang berkuasa tersebut.
Mungkin pandangan para pendekar-pendekar demokrasi ini yang mereka maksud adalah bukan pemerintahan dari rakyat (demos dan kratos) tetapi mereka berpandangan “demon” dan “crazy” jika digabungkan munculah istilah demoncrazy yang kemudian disamarkan dalam istilah demokrasi untuk menarik simpati masyarakat.
Jadi tak heran kiranya bagi penulis kenapa para pendekar demoncrazy ini ketika telah memegang suatu kekuasaan akan menghianati dari siapa sebenarnya kekuasaan itu berasal dalam negara demokrasi.
Dari pengamatan yang penulis lakukan dan dari berbagai macam sumber bacaan serta dengan mengikuti perkembangan sejarah yang dalam goresan ini, penulis menarik suatu pendapat bahwa peluang untuk melakukan suatu penyamaran dari demoncrazy ke demokrasi dalam negara seperti di Indonesia memang sangat dimungkinkan, mengingat masyarakat belum cukup cerdas dalam melihat sesuatu hal yang terkait dengan perpolitikan. Masyarakat begitu rabunnya sehingga tidak memiliki kacamata politik yang baik untuk menilai simbol-simbol yang diusung oleh para pendekar-pendekar demoncrazy tersebut.
Kenapa penulis berpendapat demikian? hal ini mengingat Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai-partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif ataupun calon yang mereka usung untuk menduduki kursi nomor satu disuatu daerah. Dalam pemilihan umum presiden dan wakil predien serta legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 dan dalam pemilu didaerah seperti saat sekarang ini.
Dengan keadaan seperti itu, para pendekar-pendekar ini pun cukup sigap untuk bergerak dengan simbol-simbol penyamaran demoncrazy berbaju demokrasi untuk mempengaruhi tingkah laku dan pikiran orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Tidak cukup dengan simbol-simbol pula, para pendekar demoncrazy ini juga menina-bobokan masyarakat dengan hal-hal yang utopis dan hedonis yang pada kenyataannya tidaklah bisa dicapai.
Hal ini pulalah kiranya yang menyebabkan mengapa negara yang begitu melimpah sumber daya alamnya tidak pernah bisa cukup untuk mensejahterkan rakyatnya. Regulasi-regulasi yang dibuatpun tidaklah pernah bisa pas dengan kondisi masyarakat.
Mungkin hal terbaik yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah dengan membangun kesadaran diri dengan bersama-sama mengawal proses pemerintahan yang ada sehingga tidak keluar dari konsep demokrasi, sehingga kekuasaan tersebut tidak disalahgunakan.
Alternatif lain yang mungkin muncul adalah bagaimana mengangkat seseorang pemimpin yang bersih dan demokratis, sehingga kelak yang dinamakan kebijakan dan peraturan perundang-undangan itu adalah sesungguhnya apa yang diinginkan oleh rakyat itu sndiri. Hemat penulis hanya dengan cara ini saja kedaiamain dan kesejahteraan sosial di Republik tercinta ini dapat tercapai.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment