Oleh: Hendrasyah Putra
Anda mungkin sudah tidak asing dengan istilah shortcut. Shortcut memang sangat membantu bagi pengguna komputer. Dengan men-double klik icon shortcut yang ada pada desktop maka program atau file tujuan akan segera muncul.
Shortcut memang menjadi cara cepat untuk mencapai tujuan. Setidaknya untuk hal-hal yang baik saja. Tapi bagaimana jika shortcut ini menjadi cara untuk mencapai tujuan tanpa melihat konteks dan substansi dari tujuan yang ingin dicapai. Saya kira shortcut akan menajadi haram.
Sebelum melangkah lebih jauh lagi, memang dalam tulisan-tulisan yang saya buat menggunakan optik sosiologi. Baiklah, saya akan lanjutkan kepada point-point yang saya ingin sampaikan.
Beberapa hari yang lalu saya sempat menanyakan kepada orang-orang disekitar lingkungan tempat dimana saya bekerja “ada berapa jumlah angka sembilan dari satu sampai dengan seratus?”. Tanpa menunggu waktu lama dari semua orang yang saya berikan pertanyaan, saya menerima jawaban pada kisaran sembilan dan sepuluh.
Karena saya merasa menerima jawaban yang kurang memuaskan, maka saya mencoba memancing mereka lagi untuk menghitung angka sembilan dari satu sampai dengan seratus. Disitu saya mendapati kesalahan dalam menjawab mereka karena tidak menghitung angka sembilan dari satu sampai dengan seratus karena tidak secara tuntas. Mungkin jika anda sekalian juga ikut menghitung, anda tidak akan menjawab sembilan atau sepuluh bukan?
Shortcut, memang menjadi malapetaka jika kita tidak bisa menempatkannnya. Tentunya kita sekalian masih ingat dengan penundaan pengangkatan CPNS Kabupaten Kubu Raya. Menurut hemat saya, tentunya jika melihat lebih dalam penundaan tersebut terjadi karena adanya dugaan praktik mafioso yang menggunakan shortcut.
Sampai saat ini hasil penelitian Koentjaraningrat yang meneliti masyarakat Indonesia pada zaman kemerdekaan masih berputar-putar dikepala saya. Ia menyebutkan ciri-ciri mental manusia Indonesia pada revolusi kemerdekaan yaitu: 1. sikap tak sadar akan arti kualitas; 2. sikap untuk mencapai tujuan secepatnya tanpa banyak kerelaan untuk berusaha secara selangkah demi selangkah; 3. sikap tak bertanggung jawab; 4. apatis dan lesu.
Hasil penelitian diatas kiranya memang sudah begitu lama dan konteksnya pun berbeda, tetapi menurut saya hasil penelitian tersebut masih cukup kuat untuk menggambarkan ciri-ciri mental manusia Indonesia saat ini. Setidaknya praktik mafiso yang terjadi pada kasus diatas telah tergambar pada ciri ke dua yang disampaikan Koentjaraningrat. Sekiranya kita membiarkan proses penerimaan CPNS itu terjadi secara alamiah, dimana yang paling siap secara intelektual dan fisik lah yang lulus maka penundaan tersebut tentunya tidak akan terjadi.
Ada beberapa ahli yang mengatakan, bahwasanya kita tidak bisa menetang hukum alam. Tentu nya jika hal itu kita tentang maka akan timbul malapetaka. Saya tidak bisa membayangkan jika ribuan sperma yang menuju sel telur itu ada yang menggunkan short cut? Tak bisa dibayangkan manusia seperti apa yang terlahir.
Dikesempatan lain, saya sempat bercakap-cakap dengan pengecer bensin di daerah saya. Iya mengatakan bensin sudah naik Rp. 7.000.00, dengan alasan air sungai kapuas yang surut ini mengindikasikan bahwa pasokan BMM (Bahan Bakar Minyak) menipis. Dengan cara berfikir short cut, tentunya musim kemarau yang datang ini menjadi peluang emas untuk mendapatkan penghasilan yang besar dari penjualan bensin yang melambung tinggi tanpa melihat penderitaan yang membeli bensin.
Seandainya saja peredaran BBM itu dibiarkan berjalan secara alamiah, dalam artian sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentunya kita tidak akan mendapati apa yang dinamakan kelangkaan BBM. Disisi lain dengan cara berfikir shortcut itu sesungguhnya menimbulkan sebuah pengluaran yang cukup besar dikemudian hari.
Tentunya kita semua merasakan kenaikan harga sembako menjelang rhamadan. Rakyat berteriak mahalnya harga sembako dan dengan gagah berani mencari kambing hitam. Tentunya kambing hitam yang mudah dicari adalah pemerintah yang dikatakan tidak profesional tanpa menyadari bahwa kita juga yang turut membidani naiknya harga sembako itu.
Bangsa ini memang menggelikan, sepertinya tidak pernah belajar dari sejarah. Hampir setiap tahun mengalami masalah yang sama. Kita selalu mengeluh adanya praktik mafioso di penerimaan CPNS tapi tak berkutik dengan bukti dan legalisme hukum Indonesia. Kita selalu mengeluh dengan penimbun BBM yang menyebabkan dampak sistemik.
Jikalau kita perhatikan, Indonesia memiliki norma-norma luhur yang menurut saya sangat luar biasa sekali. Bagaimana tidak, tentu anda sekalian masih ingat dengan pancasila. Bahkan saking dahsyatnya pancasila itu, pancasila sampai dikatakan sakti.
Tapi sungguh mengerikan pemandangan yang terjadi di negeri ini. Hebatnya pancasila malah tergambar di Jepang. Kekeluargaan, gotong-royong, musyawarah-mufakat malah tercermin di Jepang. Saya kira musibah gempa bumi, tsunami dan bocornya pembakit listrik tenaga nuklir di Fukushima cukup menjadi bukti.
Bagaimana dengan negara kita? Alih-alih setiap upacara pancasila selalu dibacakan dan diucapkan bersama, tetapi short cut tetap yang utama. Bahkan yang mengerikan adalah Indonesia selalu masuk lima besar negara terkorup.
Mungkin secara extrim negara kita seperti tak punya agama. Agaknya sila ketuhanan yang maha esa tak cukup sakti untuk menjadikan manusia Indonesia beriman.
Bukannya ingin menyalahkan agama atau negara sekalipun. Sekali lagi saya tekankan, bukankah kita yang membidani lahirnya korupsi dan kemiskinan itu sendiri. Sekiranya kita bisa menmpatkan kapan kita harus menggunkan short cut itu dan kapan harus tidak menggunkannya, dan bukankah ini sama halnya dengan pedang yang tajam.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment