Oleh: Hendrasyah Putra
Ketika kita menonton sinetron-sinetron di televisi tentunya menjadi suatu hal yang menyenangkan, dimana karya-karya seni ini menampilkan segala sesuatu yang berusaha membuat para penontonnya tertarik.
Daya tarik itu pula yang dijadikan oleh para pencipta karya seni ini untuk menarik keuntungan yang sebesar-besarnya. Sebanarnya sangat mudah untuk melihat apa yang menjadi faktor seseorang itu menjadi senang.
Mudah saja jika kita melihat dari segi faktor sosiologis, ternyata para pencipta karya seni ini (para sutradara) sangat jeli melihat faktor yang ada di negara berkembang seperti di Indonesia saat ini.
Masyarakat di Indonesia kebanyakan tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup atau dapat dikatakan kelas ekonomi menengah kebawah yang memiliki predikat mayoritas di Indonesia.
Tentunya impian menjadi seorang yang kaya raya dan memiliki segala sesuatu apa yang diinginkan merupakan suatu impian yang umum. Hal ini lah yang dicoba dimanfaatkan para seniman dengan memanfaatkan impian ini yang kelak ditampilkan menjadi suatu karya seni yang pada akhirnya dikonsumsi terutama para kaum-kaum ekonomi menengah kebawah ini.
Agaknya buaian mimpi ini nampaknya mempunyai dampak yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. tentunya hal ini pada akhirnya telah membentuk sikap dan moral bangsa ini yang sangat pragmatis.
Konsep-konsep komunal pun telah ditinggalkan sehingga tak heran eklusivisme diri menjadi suatu ciri khas bangsa Indonesia saat ini.
Pragmatisme ini tentunya merupakan suatu hal yang wajar, mengingat manusia terlahir sebagai mahluk yang tidak pernah puas dan tentunya suka akan materialisme. Tetapi ada toleransi-toleransi terhadap sikap ini, apalagi jika egoisme yang lebih cenderung dikuatkan oleh para masyarakat saat ini.
Hasilnya negara ini menjadi negara dimana masyarakatnya telah terbiasa dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Segala sesuatu pun hanya dinilai dengan uang, ilmu pengetahuan pun tidak dihargai sehingga bangsa ini begitu suram dan terbelakang.
Sifat dan sikap pragmatis ini tentunya tidak tercermin dari keadaan masyarakatnya saja, malahan sifat dan sikap pragmatisme ini telah menular kepada birokrat bangsa ini (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan.
Adalah pengalaman yang sangat menyakitkan tentunya bagi penulis sendiri, ketika pada suatu saat hal-hal seperti ini terjadi didepan mata penulis. Hal ini terjadi ketika seorang teman penulis bercerita tentang ketika ia ingin melamar suatu pekerjaan disuatu intansi vertikal pemerintah.
Dengan bersemangat sekali ia mengatakan bahwa ia bisa menembus seleksi penerimaan ini, apalagi ketika ia mengerjakan soal-soal ujian ia merasa dapat mengerjakan semua soal dengan baik.
Tetapi apa yang terjadi ketika hari pengumuman tiba, rasa kecewa menyelimuti hatinya. Apalagi ia mengetahui pula bahwa beberapa orang temannya yang lulus itu menggunakan cara yang tidak baik sehingga menyebabkan persaingan dalam perebutan lahan pekerjaan tersebut menjadi tidak adil.
Bayangkan saja suatu kursi atau lowongan pekerjaan tersebut dilelang, tentunya siapa yang berani membayar dengan harga lebih tinggi dialah di pemenang lelang tersebut.
Inilah ketika pragmatisme itu telah mengahantui hati dan pikiran seseorang. Tetapi untungnya teman penulis tersebut tidak berputus asa. Mudah-mudahan ia diberikan ketabahan dan semangat dari tuhan.
Jadi dengan realitas ini, maka jangan heran kalau di Indonesia sangat sulit untuk mencari yang namnya keadilan. Mungkin di Indonesia saat ini keadilan itu sangat jauh berbeda dengan keadilan-keadilan yang pada umunya wajar di negara lain.
Mungkin fenomena lainnya bisa dijadikan contoh adalah bencana yang menimpa ibu kota Jakarta. Sebenarnya segala bencana yang timbul itu dari hasil ulah perbuatan manusia sendiri. Disaat kapitalis ingin membangun perumahan-perumahan elit dan tempat perbelanjaan berkelas, masyarakat kecil yang tinggal ditanah milik negara digusur habis-habisan tanpa ampun. Tetapi mereka tidak menyadari hasil tindakan mereka itu. Tuhan memang maha adil, maka bencana banjirpun merundung seleuruh Jakarta dan sekitarnya.
Tentunya hal ini bukan merupakan bala bagi sebagian besar rakyat yang mendiami Jakarta dan sekitarnya, disaat bencana inilah mereka para pemulung, tukang bengkel dan tukang bersih mendapatkan keuntungan yang besar.
Kembali kepada dampak yang disebabkan pragmatisme ini adalah Keadilan. Di Indonesia keadilan doiperuntukan bagi siapa yang mempunyai modal dan kekuasaan. lihat saja buktinya, produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh legislator kebanyakan tidak memihak kepada rakayat kecil.
Produk-produk hukum ini pun cenderung menjadi milik sang pemilik modal. Tentunya untuk melindungi kepentingan si pemilik modal agar ia dapat mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari darah rakayat Indonesia.
Sikap pragmatis ini pun seakan mengalahkan segalanya, termasuk dalam hal ini ilmu pengetahuan. Tentuntunya sangat ironis dimana negara yang memiliki jumlah penduduk yang memasuki zona lima besar dunia ini sebenarnya memiliki suatu potensi yang sangat luar biasa besar dari segi sumber daya manusianya.
Tetapi karena sumber daya manusia yang potensial ini tidak bisa dihargai dan oleh bangsanya sendiri dan malahan ditendang karena para penguasa bangsa ini takut suatu saat ia akan tersaingi, sehingga kelak kekuasaannya akan menghilang.
Untuk itu mereka ini para pemimpin pecundang tersebut menendang sumber daya potensial ini. Hasilnya banyak para ahli-ahli ilmu pengetahuan di Indonesia melarikan diri keluar negeri dan mengabdi kepada bangsa lain. Mereka berpendapat, disana mereka sangat dihargai dan tentunya hasil dari penghargaan itu dapat memenuhi penghidupan mereka.
Maka dari itu suatu hal yang wajar ketika bangsa ini mengalami kemunduran peradaban dan didera berbagai musibah. Tetapi sangat disayangkan nampaknya musibah-musibah yang ditimpakan ini belum mampu menyadarkan bangsa ini dari mimpi-mimpi menjadi seorang kapitalis.
Saya pikir jika selama pikiran-pikiran tentang pragmatisme ini tidak dibuang dari seluruh bangsa ini, maka kedepannya nasib bangsa ini tidak akan berubah dan tetap menjadi seekor kucing kurap yang terseok-seok.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment