Oleh: Hendrasyah Putra
Sudah dapat saya perkirakan kisruh yang akan
timbul ketika hari raya Idul adha berlangsung. Kisruh yang seakan hanya sebuah
pengulangan setiap tahunnya dari setiap pembagian daging kurban kiranya sudah
dimaklumi oleh kita semua. Hal ini kiranya menambah daftar panjang dalam
kisruh-kisruh yang terjadi seperti dalam mendapatkan BBM (bahan bakar minyak), zakat
dan sembako.
Ketika kecil, saya masih ingat betul ketika guru
SD (sekolah dasar) saya yang menceritakan bahwa Indonesia itu begitu terkenal
didunia internasional dengan perilaku ramah, tolong-menolong dan
gotong-royongnya. Kini keadaan sudah berubah. Cerita tentang perilaku ramah,
tolong menolong dan gotong royong kini telah menjadi dongeng. Kini klaim atas
hal itu semua digugat dengan perilaku
kita atas terciptanya kesemerautan dan kisruh yang timbul.
Budaya timur, begitulah kira-kira adagium yang
akan membuat orang-orang barat dahulu menjadi segan dan kagum dengan orang Indonesia.
Ketika disebut budaya timur, tentunya kata tersebut akan menimbulkan kesimpulan
tentang budaya malu, ramah, saling menghormati dan tolong-menolong.
Egois, tentunya akan sangat jauh dari bayangan
kita dalam sebuah konsep budaya timur. Dahulu saya sempat beranggapan sifat
egois dan individualistik itu hanya cerminan dari negara-negara barat yang
terkenal dengan paham liberalnya itu.
Kini anggapan saya itu telah pudar. Saya begitu
kaget ketika mendengar sebuah cerita dari dosen yang juga senior saya tentang
pengalamannya ketika kuliah di Australia. Dalam percakapannya dengan saya, ia
menceritakan bahwa di Australia itu tidaklah begitu kental dengan
individualisme.
Disana ia mendapati sebuah fenomena. Fenomena
dimana barang-barang yang masa kadaluarsanya sudah hampir habis dibagikan atau
digratiskan begitu saja oleh si pemilik tokoh. Tentunya hal ini begitu
berbanding terbalik dengan Indonesia. Saya sendiri sering kali menemukan
minuman ringan di mini market yang sudah kadaluarsa masih dipajang dalam
rak-rak penjualan.
Dalam hati, saya jadi bertanya-tanya. Sebenarnya
siapa yang lebih mengerti semangat akan budaya ketimuran itu? Dan bagaimana
dengan paham liberal yang diteriakan oleh negara-negara barat?
Dalam tanda tanya saya itu, saya kembali
dikejutkan dengan sebuah pemberitaan di media massa lokal Kal-Bar yang berjudul
“Buku Dikembalikan Setelah Dipinjam 25 Tahun”.
Dalam pemberitaan tersebut diceritakan bahwa Seorang
perempuan di Virginia (Amerika Serikat) mengembalikan buku yang sudah
dipinjamnya sejak tahun 1986 alias 25 tahun lalu. Buku itu sendiri dikembalikan selama ada program pengampunan.
Program itu membebaskan denda bagi orang-orang yang terlambat mengembalikan
buku perpustakaan. Mereka hanya diminta menyumbangkan makanan.
Hal yang menarik dalam cerita tersebut adalah Si Peminjam
buku berterima kasih dengan dibuatnya program pengampunan tersebut, karena hal tersebut
telah membuat rasa bersalah Si Peminjam buku hilang dan memiliki kesempatan
untuk menebusnya.
Saya kira perilaku untuk menebus kesalahan
sebagaimana yang digambarkan pada kisah nyata diatas tentunya patut kita acungi
jempol. Hal ini menjadi begitu menarik ketika perilaku penebusan kesalahan
tersebut terjadi di Amerika Serikat yang sebagaimana kita ketahui adalah negara
yang menganut liberalisme.
Pada tulisan saya sebelumnya, saya seringkali
membandingkan perilaku orang Indonesia dengan orang Jepang. Mungkin saya hanya
melihat dari satu sisi kesamaan tentang asia dan budaya ketimurannya saja. Pada
titik ini, ternyata hal-hal yang berbau ketimuran itu juga bisa muncul dengan
baik dinegara-negara barat.
Mungkin kini terjawab sudah mengapa budaya malu di
Indonesia ditinggalkan. Mungkin kisruh yang sering kali timbul itu dikarenkan kita
lebih suka dengan individualisme dan liberalisme. Mungkin kita lebih suka
semangat Pancasila itu tercermin di negara-negara liberal. Mungkin kita lebih
baik dalam berwacana daripada menjalankannya. Dan mungkinkah Indonesia akan
bangkit jika kita lebih senang seperti ini?
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment