Thursday, November 24, 2011

Perintah Dari Kursi Goyang



Oleh: Hendrasyah Putra

Beberapa waktu yang lalu saya mendapati sebuah fenomena yang unik tetapi kerap kali terjadi. Fenomena itu sendiri adalah dimana ketika saya melihat seorang anak umur empat tahun melawan perintah orang tua nya. Kejadian itu sendiri terjadi dimana ketika orang  tua si anak memarahinya dan kemudian si anak balik melawan dengan mengatakan ”eh mama ni marah-marah jak”. Aksi saling jawab pun berlanjut, orang tua si anak pun berbicara dengan nada tinggi seraya mengatakan ”siape yang ngajarkan kau ni, ngelawan orang tua ngomong, comel kau ni”.
Tentunya orang tua mana yang tak jengkel jika perintahnya dilawan. Bagi saya peristiwa ini tidak aneh. Saya malah mencurigai peristiwa tersebut. Dalam hati saya mengatakan, sepertinya ada yang tidak beres dalam ke jadian tersebut. Bagaimana mungkin seorang anak umur empat tahun bias memberikan perlawanan terhadap orang tuanya? Perilaku siapa yang ditiru anak tersebut kalau bukan orang terdekat dan setiap hari dilihatnya?
Peristiwa diatas mengingatkan saya ketika melihat seorang anak yang menerima perintah untuk belajar dan pergi sholat fardhu ke mesjid. Anak itu selalu menggerutu ketika menerima perintah itu. Umumnya, orang dewasa tentunya mengerti jika perintah sholat fardhu berjamaah ke mesjid itu baik. Tetapi apa yang terjadi pada anak tersebut adalah sebaliknya, anak tersebut malah mempertanyakan perintah untuk pergi ke mesjid. Anak tersebut menanyakan mengapa harus dia yang pergi, tetapi yang memerintahkan tidak ikut serta ke mesjid?
Tentunya pertanyaan itu dengan sangat mudah untuk dibantah dan dipatahkan oleh orang tuanya. Anak tentunya tidak memiliki otoritas untuk memaksa sekalipun benar. Disisi lain orang tua terkadang gengsi, dan memberikan  ”pembenaran” atas perintahnya itu walau tidak disertai dengan tindakannya.
Saya sendiri sangat tidak setuju dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa ”anak kecil itu polos”. Bagi saya, anak kecil itu tidak polos, anak kecil juga sama halnya dengan manusia pada umumnya. Mereka juga bisa berpikir, juga bisa merasakan kesal, senang dan tentunya juga bisa bertanya-tanya dengan ketidakadilan atau ketidaknyamanan yang diterimanya.
Apakah baik perintah untuk belajar kita keluarkan ketika kita sendiri dalam keadaan duduk santai dan sambil menonton televisi? Bagaimana mungkin perintah itu dengan baik bisa diterima si anak jika kita juga tidak ikut serta menumbuhkan iklim keilmuan itu sendiri?
Saya jadi teringat ketika bertemu dosen saya pada hari sabtu yang lalu. Dosen dan juga senior saya ketika masih duduk di bangku kuliah ini memang menjadi tempat yang enak bagi saya untuk bertukar pikiran. Dalam pertemuan itu, kita saling sharing dan bercerita tentang pengalaman masing-masing.
Dalam pertemuan itu akhirnya kami bercerita tentang OSPEK tahun 2006 yang pernah diselenggarakan oleh angkatan saya. Ketika tahun 2006 kebanyakan angkatan saya yang masuk kuliah tahun 2002 sudah banyak yang menyelesaikan perkuliahannya.
Kami memang belum menerima ijazah dan menjalani proses wisuda. Karena secara kebiasaan di kampus yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk melaksanakan ospek tersebut adalah angkatan yang sudah berkuliah minimal empat tahun, maka secara otomatis penyelenggaraan ospek menjadi tanggung jawab angkatan kami.
Ketika OSPEK itu dilaksanakan, saya sendiri tidak ikut serta dalam kepanitiaan dan proses OSPEK itu sendiri. ketika OSPEK berlangsung, saya sendiri sibuk dalam penelitian indeks prestasi korupsi di Kal-Bar yang dilaksanakan oleh LPS-AIR. Tentunya hal ini bagi saya lebih menarik dan bermanfaat daripada ikut serta dalam OSPEK itu sendiri.
Ketika masih di cap sebagai junior, saya juga tidak suka di OSPEK. Saya sendiri menganut prinsip untuk meninggalkan hal-hal yang banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Prinsip ini juga yang menjadi penyebab saya tidak akan melakukan hal serupa kepada manusia lainnya (khususnya kepada junior-junior saya di kampus). Bagi saya hal ini adalah suatu bentuk pembuktian integritas dan niat akan membaikan kampus itu sendiri. Bagi saya, sangat aneh jika kita dahulu yang tidak suka dan melawan kala di OSPEK tetapi kita juga senang melakukan hal serupa pada orang lain.
Kembali kepada proses OSPEK itu sendiri, saya mendapati cerita yang “menggelikan” dan begitu unik dari sahabat saya Jamil. Ia menceritakan ketika teman-teman angkatan berteriak dan bertanya kepada seorang mahisiswi baru tentang definisi hukum.
Diluar dugaan, mahasiswi baru ini bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan baik. Menurut si mahasiswi ”hukum itu tidak dapat didefenisikan”. Seketika itu senior yang memberikan pertanyaan itu sontak terdiam. Menggelikan bagi saya, seorang senior terdiam dan tidak bisa memberikan penjelasan yang lebih baik tentang hukum kepada juniornya.
Untungnya ketika peristiwa itu terjadi Jamil langsung menghandle hal tersebut agar senior dan juga panitia tidak kehilangan mukanya. Saya begitu kenal dan akrab dengan Jamil. Tentunya seorang mahasiswi baru tersebut bukanlah lawan yang sepadan jika perdebatan atau diskusi tentang hukum itu dilakukan dengan seorang Jamil.
Saya sampai saat ini masih sering tertawa terpingkal-pingkal ketika saya dan Jamil berbicara tentang hal itu. selain lucu dan menggelikan, bagi saya peristiwa itu sendiri menggambarkan bahwa seorang senior tidak menggambarkan sikap dan perilaku yang pantas bagi seorang senior.
Bagi saya, jauh panggang dari api jika kita ingin memajukan kampus, tetapi seniornya berperilaku seperti itu. otoritas yang ada bukanlah untuk menindas dan menyakiti junior. Tentu akan lebih baik dan bermanfaat jika otoritas itu digunakan untuk membaikan kampus dengan cara memberikan bimbingan dan membantu menciptakan iklim keilmuan di kampus.
Mungkin ada baiknya kita melihat kenapa orang Jepang terkenal bertanggung jawab dan mempunyai rasa malu yang tinggi serta memiliki pengkaderan yang baik terhadap generasi mudanya. Dalam tulisan kali ini saya kembali mengutip artikel yang ditulis Sapto Nugroho yang berjudul ”Pekerjaan Adalah Istri Kedua”.
Dalam tulisannya, ia menceritakan bahwa ”dunia kerja di Jepang ada yang disebut “Senior” dan “Junior”.  Senior disebut “Senpai”, dan junior disebut “Kohai”.  Dimana-mana mungkin juga berlaku kalau junior harus menghormati senior. Akan tetapi di Jepang selain itu yang menonjol adalah bahwa Senpai punya tanggung jawab mendidik Kohai.  Di saat bawahan harus tinggal di kantor (menginap di kantor), maka atasan/senior-pun ikut bersama.  Kesalahan junior menjadi tanggung jawab senior.  Maka sering kali terjadi seorang menteri di Jepang mengundurkan diri karena ada kesalahan bawahannya atau staff-nya.  Jadi sering kita jumpai yang salah bawahan tapi yang meminta maaf di depan umum adalah atasannya.
Pada titik ini saya berfikiran bahwa wajar saja Jepang bisa begitu cepat bangkit dari keterpurukan seusai perang dunia kedua. Bagi saya cerita diatas cukup jelas untuk menjawab kenapa Jepang bisa bangkit begitu cepat dari keterpurukan.
Saya kira alasan bahwa feodalisme dan benih korupsi yang ditinggalkan Belanda hanyalah menjadi ”alasan banci” dari keburukan di Indonesia. Bagi saya, kita termasuk orang yang merugi jika kita tidak bisa belajar dari sejarah. Hemat saya, untuk membaikan Indonesia bukan hanya berhenti pada niat baik. Menjadi lebih penting adalah manifestasi dari niat baik tersebut dalam bentuk tindakan yang membaikan Indonesia.
Saya memang sering kali dikecewakan oleh perilaku orang Indonesia yang mngkritik dan mengutuk atas segala keburukan yang ada, tetapi ketika ditawarkan ”jalan pintas” untuk mencapai posisi atau kualifikasi tertentu, orang tersebut dengan senag hati melakukannya. Bukankah menjadi ironi jika suatu proses yang haram, yang tidak jujur menjadi alasan pembenar untuk membaikan negara ini?

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment