Oleh: Hendrasyah Putra
Beberapa waktu yang lalu saya mendapati
sebuah fenomena yang unik tetapi kerap kali terjadi. Fenomena itu sendiri
adalah dimana ketika saya melihat seorang anak umur empat tahun melawan
perintah orang tua nya. Kejadian itu sendiri terjadi dimana ketika orang tua si anak memarahinya dan kemudian si anak
balik melawan dengan mengatakan ”eh mama ni marah-marah jak”. Aksi saling jawab
pun berlanjut, orang tua si anak pun berbicara dengan nada tinggi seraya mengatakan
”siape yang ngajarkan kau ni, ngelawan orang tua ngomong, comel kau ni”.
Tentunya orang tua mana yang tak jengkel
jika perintahnya dilawan. Bagi saya peristiwa ini tidak aneh. Saya malah
mencurigai peristiwa tersebut. Dalam hati saya mengatakan, sepertinya ada yang
tidak beres dalam ke jadian tersebut. Bagaimana mungkin seorang anak umur empat
tahun bias memberikan perlawanan terhadap orang tuanya? Perilaku siapa yang
ditiru anak tersebut kalau bukan orang terdekat dan setiap hari dilihatnya?
Peristiwa diatas mengingatkan saya ketika melihat
seorang anak yang menerima perintah untuk belajar dan pergi sholat fardhu ke
mesjid. Anak itu selalu menggerutu ketika menerima perintah itu. Umumnya, orang
dewasa tentunya mengerti jika perintah sholat fardhu berjamaah ke mesjid itu
baik. Tetapi apa yang terjadi pada anak tersebut adalah sebaliknya, anak
tersebut malah mempertanyakan perintah untuk pergi ke mesjid. Anak tersebut
menanyakan mengapa harus dia yang pergi, tetapi yang memerintahkan tidak ikut
serta ke mesjid?
Tentunya pertanyaan itu dengan sangat
mudah untuk dibantah dan dipatahkan oleh orang tuanya. Anak tentunya tidak
memiliki otoritas untuk memaksa sekalipun benar. Disisi lain orang tua
terkadang gengsi, dan memberikan
”pembenaran” atas perintahnya itu walau tidak disertai dengan
tindakannya.
Saya sendiri sangat tidak setuju dengan
pendapat umum yang mengatakan bahwa ”anak kecil itu polos”. Bagi saya, anak
kecil itu tidak polos, anak kecil juga sama halnya dengan manusia pada umumnya.
Mereka juga bisa berpikir, juga bisa merasakan kesal, senang dan tentunya juga bisa
bertanya-tanya dengan ketidakadilan atau ketidaknyamanan yang diterimanya.
Apakah baik perintah untuk belajar kita
keluarkan ketika kita sendiri dalam keadaan duduk santai dan sambil menonton
televisi? Bagaimana mungkin perintah itu dengan baik bisa diterima si anak jika
kita juga tidak ikut serta menumbuhkan iklim keilmuan itu sendiri?
Saya jadi teringat ketika bertemu dosen
saya pada hari sabtu yang lalu. Dosen dan juga senior saya ketika masih duduk
di bangku kuliah ini memang menjadi tempat yang enak bagi saya untuk bertukar
pikiran. Dalam pertemuan itu, kita saling sharing dan bercerita tentang
pengalaman masing-masing.
Dalam pertemuan itu akhirnya kami
bercerita tentang OSPEK tahun 2006 yang pernah diselenggarakan oleh angkatan
saya. Ketika tahun 2006 kebanyakan angkatan saya yang masuk kuliah tahun 2002
sudah banyak yang menyelesaikan perkuliahannya.
Kami memang belum menerima ijazah dan
menjalani proses wisuda. Karena secara kebiasaan di kampus yang memiliki
kewenangan dan tanggung jawab untuk melaksanakan ospek tersebut adalah angkatan
yang sudah berkuliah minimal empat tahun, maka secara otomatis penyelenggaraan
ospek menjadi tanggung jawab angkatan kami.
Ketika OSPEK itu dilaksanakan, saya
sendiri tidak ikut serta dalam kepanitiaan dan proses OSPEK itu sendiri. ketika
OSPEK berlangsung, saya sendiri sibuk dalam penelitian indeks prestasi korupsi di
Kal-Bar yang dilaksanakan oleh LPS-AIR. Tentunya hal ini bagi saya lebih
menarik dan bermanfaat daripada ikut serta dalam OSPEK itu sendiri.
Ketika masih di cap sebagai junior, saya juga
tidak suka di OSPEK. Saya sendiri menganut prinsip untuk meninggalkan hal-hal
yang banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Prinsip ini juga yang menjadi
penyebab saya tidak akan melakukan hal serupa kepada manusia lainnya (khususnya
kepada junior-junior saya di kampus). Bagi saya hal ini adalah suatu bentuk
pembuktian integritas dan niat akan membaikan kampus itu sendiri. Bagi saya,
sangat aneh jika kita dahulu yang tidak suka dan melawan kala di OSPEK tetapi
kita juga senang melakukan hal serupa pada orang lain.
Kembali kepada proses OSPEK itu sendiri,
saya mendapati cerita yang “menggelikan” dan begitu unik dari sahabat saya
Jamil. Ia menceritakan ketika teman-teman angkatan berteriak dan bertanya
kepada seorang mahisiswi baru tentang definisi hukum.
Diluar dugaan, mahasiswi baru ini bisa
menjawab pertanyaan tersebut dengan baik. Menurut si mahasiswi ”hukum itu tidak
dapat didefenisikan”. Seketika itu senior yang memberikan pertanyaan itu sontak
terdiam. Menggelikan bagi saya, seorang senior terdiam dan tidak bisa
memberikan penjelasan yang lebih baik tentang hukum kepada juniornya.
Untungnya ketika peristiwa itu terjadi
Jamil langsung menghandle hal tersebut agar senior dan juga panitia tidak
kehilangan mukanya. Saya begitu kenal dan akrab dengan Jamil. Tentunya seorang
mahasiswi baru tersebut bukanlah lawan yang sepadan jika perdebatan atau
diskusi tentang hukum itu dilakukan dengan seorang Jamil.
Saya sampai saat ini masih sering tertawa
terpingkal-pingkal ketika saya dan Jamil berbicara tentang hal itu. selain lucu
dan menggelikan, bagi saya peristiwa itu sendiri menggambarkan bahwa seorang
senior tidak menggambarkan sikap dan perilaku yang pantas bagi seorang senior.
Bagi saya, jauh panggang dari api jika
kita ingin memajukan kampus, tetapi seniornya berperilaku seperti itu. otoritas
yang ada bukanlah untuk menindas dan menyakiti junior. Tentu akan lebih baik
dan bermanfaat jika otoritas itu digunakan untuk membaikan kampus dengan cara
memberikan bimbingan dan membantu menciptakan iklim keilmuan di kampus.
Mungkin ada baiknya kita melihat kenapa
orang Jepang terkenal bertanggung jawab dan mempunyai rasa malu yang tinggi
serta memiliki pengkaderan yang baik terhadap generasi mudanya. Dalam tulisan
kali ini saya kembali mengutip artikel yang ditulis Sapto Nugroho yang berjudul
”Pekerjaan Adalah Istri Kedua”.
Dalam tulisannya, ia menceritakan bahwa
”dunia kerja di Jepang ada yang disebut “Senior” dan “Junior”. Senior
disebut “Senpai”, dan junior disebut “Kohai”. Dimana-mana mungkin juga
berlaku kalau junior harus menghormati senior. Akan tetapi di Jepang selain itu
yang menonjol adalah bahwa Senpai punya tanggung jawab mendidik Kohai. Di
saat bawahan harus tinggal di kantor (menginap di kantor), maka atasan/senior-pun
ikut bersama. Kesalahan junior menjadi tanggung jawab senior. Maka
sering kali terjadi seorang menteri di Jepang mengundurkan diri karena ada
kesalahan bawahannya atau staff-nya. Jadi sering kita jumpai yang salah
bawahan tapi yang meminta maaf di depan umum adalah atasannya.
Pada titik ini saya berfikiran bahwa wajar
saja Jepang bisa begitu cepat bangkit dari keterpurukan seusai perang dunia
kedua. Bagi saya cerita diatas cukup jelas untuk menjawab kenapa Jepang bisa
bangkit begitu cepat dari keterpurukan.
Saya kira alasan bahwa feodalisme dan
benih korupsi yang ditinggalkan Belanda hanyalah menjadi ”alasan banci” dari
keburukan di Indonesia. Bagi saya, kita termasuk orang yang merugi jika kita
tidak bisa belajar dari sejarah. Hemat saya, untuk membaikan Indonesia bukan
hanya berhenti pada niat baik. Menjadi lebih penting adalah manifestasi dari
niat baik tersebut dalam bentuk tindakan yang membaikan Indonesia.
Saya memang sering kali dikecewakan oleh
perilaku orang Indonesia yang mngkritik dan mengutuk atas segala keburukan yang
ada, tetapi ketika ditawarkan ”jalan pintas” untuk mencapai posisi atau
kualifikasi tertentu, orang tersebut dengan senag hati melakukannya. Bukankah
menjadi ironi jika suatu proses yang haram, yang tidak jujur menjadi alasan
pembenar untuk membaikan negara ini?
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment