Wednesday, November 23, 2011

BISA KENA PASAL??



Oleh:Hendrasyah Putra

“Sebuah kata bukanlah kristal, transparan atau yang bisa diubah; iya adalah kulit dari pemikiran yang hidup dan bisa diubah baik warna dan isinya menurut keadaan dan waktu diteempat iya gunakan,.. inilah yang sesungguhnya hukum” (Oliver Wendells Holmes)

Bisa kena pasal, begitu kira-kira gambaran masyarakat awam terhadap dunia hukum Indonesia saat ini. Sangat mengerikan memang dunia hukum di Indonesia saat ini, sedikit-sedikit kena pasal, begitu bayaknya peraturan-peraturan yang berseliweran seolah-olah hal itu menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi masyarakat yang tidak begitu mengerti pasal-pasal yang termaktub dalam teks-teks dalam sebuah hasil rapat para wakil rakyat, birokrat dan juga beberapa ahli-ahli hukum modern.
Law enforcement, mungkin para pembaca yang budiman sering mendengar istilah ini. Istilah yang sering kali dikoar-koarkan para pendekar hukum kita, tapi secara pribadi saya lebih senang menggunakan bahasa lokal kita, kira-kira jika dipadankan dalam bahasa Indonesia artinya “penegakkan hukum”.
Dasar hukum saat ini mungkin lebih identik dengan dasar peraturan. Penegakan hukum pun tak lebih dari penegakan apa yang tertulis di buku. Saya jadi teringat pada awal tahun 2009, ketika itu saya mengikuti jalannya praperadilan dalam kasus  kayu 12 container yang diduga hasil pembalakan liar. Ketika itu, dalam acara persidangan negara yang diwakili dari dinas kehutanan dari salah satu kabupaten yang baru saja dimekarkan itu mengatkan bahwa “law is writen in the book”.
Secara pribadi, saya sangat terusik dengan kata-kata itu. Rasanya terlalu naif jika kita mengatakan hukum itu adalah apa yang tertulis dibuku. Mungkin tak heran pula ketika kita mendengar pepatah orang yang mengatakan “tegakkan hukum biarpun langit runtuh”. Sebenarnya apa yang ditegakkan oleh para kuli hukum itu? Peraturan yang berseliweran itu? Atau pasal-pasal yang jumlahnya ribuan itu? Atau sebuah rangkain kata-kata yang tertera diatas kertas?
Adapula peristiwa lain yang saya kira sangat menarik ditahun yang sama. Beberapa waktu lalu Sempat  terjadi perdebatan yang luar biasa diantara para praktisi hukum ketika jaksa mengajukan Peninjauan Kembali(PK). Perdebatan ini sempat diakomodir dalam suatu acara telivisi yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Dikala itu jaksa dicerca habis-habisan tentang tindakannya dalam mengajukan PK tersebut. Bukan main pedasnya cercaan tersebut, teori-teori hukum pun dan istilah-istilah bahasa Belanda yang saya sendiri tidak fasih dalam melafazkannya itupun keluar dari mulut-mulut praktsi hukum itu.
Pada akhirnya, para praktisi hukum ini menilai bahwa PK yang dilakukan oleh jaksa itu adalah tragedi dalam penegakkan hukum di Indonesia. Bagaiman tidak, dalam peraturan yang berlaku jaksa tidak diberikan hak untuk mengajukan PK, kemudian hal ini berlanjut lagi dengan pernyataan “dimana kepastian hukum kita?”, sampai pada titik ini, saya sendiri melihat perdebatan itu menjadi suatu hal yang sangat membosankan, walaupun perdebatan itu dilakukan oleh orang-orang yang telah mengenyam pendidikan hukum dan memiliki kredebilitas atau mungkin mereka lebih senang disebut sebagai kalangan profesional hukum.
Setidaknya disini tercermin bahwa dunia hukum kita begitu dominannya penegakkan sebuah peraturan itu. Malu rasanya sebagai seorang sarjana hukum ketika kuli, tukang becak dan penjaga warung kopi menilai para sarjana hukum itu jago berdebat, bersilat lidah dan tentunya juga harus hatam dan hafal yang namanya undang-undang.
Tidak sampai disitu saja, yang paling memalukan adalah ketika orang-orang yang tak pernah sama sekali mengenyam pendidikan hukum ini mengatakan “ye itulah, polisi, jaksa, hakim dan pengacara kite, mereka tu same jak, paling koruptornye lepas atau hanye dipenjare beberapa bulan jak” (dilafazkan dalam bahasa melayu Pontianak).
Mungkin inilah klimaks dari perilaku “bar-bar” para penegak hukum kita yang pernah ada. Bukankah ini menjadi hal yang sangat ironi, dimana perilaku bar-bar malah ditunjukkan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi. Tanda tanya besarpun menghantui kepala saya, jadi buat apa Fakultas Hukum? Atau itu sebenarnya bukan fakultas hukum, melainkan fakultas perundang-undangan?
Setidaknya ini akan menjawab mengapa hukum kita saat ini begitu rapuh untuk menyelesaikan masalah. Rasanya saat ini perilaku-perilaku diatas seperti berada pada zaman dimana manusia masih primitif.
Berbagai macam gejolak dan penolakan muncul ditengah-tengah masyarakat. Mungkin pembaca yang budiman sudah mengetahui bahwa kasus-kasus kecil diamana seorang nenek mencuri 3 buah kakau, 2 orang pria yang mencuri sebuah semangka dan kemudian mereka  mendapat perilaku dari aparat penegak hukum secara tidak manusiawi dan juga hukuman yang saya kira tidak patut untuk diterima orang-orang ini.
Masyarakat pun melakukan perlawanan, dua orang pria yang didakwa mencuri semangka itu malah diberi dukungan oleh warga desanya, dan yang lebih uniknya lagi warga desanya dan para petinggi desanya berani memberikan jaminan terhadap kedua pria malang itu. Bukankah ini sebuah tamparan bagi penegakan peraturan itu? Dan inilah dia cara “berhukum masyarakat”.
Kedua pria ini memang benar mencuri dua buah semangka, tapi apalah arti sebuah semangka yang hanya perkilonya Rp.6000,- dibanding hukuman dan perlakuan yang tidak manusiawi yang diterimanya? Disini masyarakat menjawab dengan sebuah perilaku. Mayarkat mendukung kedua pria ini, dan malah ketika kedua pria ini dilepaskan dari tahanannya disambut oleh masyarakat desanya dengan “selamatan buah semangka”.
Secara pribadi saya mengatakan inilah bagi masyarakat “cara berhukum yang benar”. Dan bukankah hukum itu ada untuk masyarakat?. Saya kira hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi para sarjana hukum kita yang masih sibuk dengan “law enforcement nya itu”. Saya rasa tak perlu lagi bercerita tentang dimana Artalita Suriani (ayin) mendekam dalam lapas. Saya meyakini bahwa para pembaca yang budiman bisa menilai hal itu dengan baik. 
Jika pembaca yang budiman masih percaya dengan  law is writen in the book” dan penegakkan peraturan itu, maka sekali lagi saya ingin berbagi cerita dengan anda. Kali ini kisahnya berasal dari negara tetangga kita Australia.
Seorang polisi senior dan seorang polisi junior berpatroli dengan mobil. Saat itu mereka mendapati panggilan dari sebuah rumah. Begitu turun dari mobil, si polisi senior langsung berlari menuju rumah dan mendbrak pintu lalu masuk. Ternyata lantai sudah digenagi bensin dan sudah terjadi sulutan api, dengan sigap si polisi senior menarik penghuni untuk diselamatkan.
Sesudah masalah diatasi, sang polisi junior bertanya, mengapa tidak meminta surat izin untuk memasuki rumah terlebih dahulu, mengapa langsung mendobrak pintu? Mengapa  anda tidak bertindak dengan asas “due process of law?”, Sang senior menjawab, “Hukum apa? Undang-undang? Ada nyawa manusia yang harus diselamatkan dan itu jauh lebih penting daripada memikirkan teks-teks hukum!” 
Dari peristiwa-peristiwa yang saya ceritakan diatas tadi, saya jadi teringat oleh kata-kata Sezume No Kumo “ilmu pengetahuan kadang menghambat, ketidak tahuan kadang membebaskan. Tahu kapan untuk tahu dan tahu kapan untuk tidak tahu, ini sama halnya dengan pedang yang tajam”.
Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan para pembaca yang budiman, bahwa hukum itu bukannya hanya ada di pertauran saja, tetapi hukum itu juga ada diperilaku. Setidaknya anda bisa membayangkan jika kedua orang polisi diatas itu lebih mementingkan teks untuk menunjang “asas kepastian hukum”, maka entah apa jadinya nasib orang itu. Ketika perilaku baik menjadi suatu hal yang begitu menyentuh hati, maka kita jangan pernah sekali-kali marah terhadap penilaian masyarakat yang menjeneralisir terhadap perilaku penegak hukum kita. 

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment