Wednesday, November 23, 2011

Hal Kecil Bukan Berarti Sepele



Oleh: Hendrasyah Putra


Saya begitu prihatin melihat pemberitaan di televisi baru-baru ini terkait dengan pembagian zakat yang memakan korban. Timbul pertanyaan dibenak saya, apakah negara ini hanya disesaki oleh orang miskin saja? Mungkin. Barangkali.
Naif rasanya jika kita berbicara tentang pemberantasan kemiskinan tetapi korupsi begitu telanjang menari-nari didepan mata.
Saya tidak begitu terkejut ketika melihat data BPS tentang kemiskinan makro di tingkat nasional pada posisi Maret 2010 sebesar 31,02 juta, atau setara dengan 13,33 persen dari total penduduk (http://mentawaikab.bps.go.id/index.php/berita/52-salah-tafsir-data-kemiskinan). Terlepas dari konflik yang timbul diantara para pengamat tentang data itu, bagi saya data itu cukup sahih jika dilihat dari konsep, definisi dan metode penelitiannya.
Terkait dengan data BPS diatas, disisi lain saya merasa aneh dengan prestasi Indonesia di dunia internasional dalam hal korupsi yang masih berada dalam posisi lima besar. Rasanya terlalu naif jika kita mengklaim berhasil menurunkan tingkat kemiskinan tetapi berkebalikan dengan pretasi korupsi yang kita dapat.
Saya begitu terkejut ketika membaca berita pada sebuah surat kabar online tanggal 19 juli 2011 yang berjudul “Kajati:korupsi sedikit tak apa apa”( http://kaltim.tribunnews.com/2011/07/19/kajati-korupsi-sedikit-tak-apa-apa). Berikut adalah petikan dari apa yang disampaikan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalimantan Timur Faried Harianto, SH;
 “Perbuatan korupsi  yang terbilang tidak besar nilainya tidak perlu dipermasalahkan”.
"Pejabat harus pintar-pintar, jangan sampai ketahuan.  Karena kalau ketahuan siapapun dihukum. Bukan membolehkan, tapi pintar-pintar. Penegak hukum harus bijak, korupsi dikit-dikit tidak apa-apa. Mark up-mark up dikit tidak masalah,".
"Di tipikor, jaksanya saja ongkosnya ratusan juta, sidangnya di Samarinda. Misalnya Jaksa bolak-balik ke Berau, memeriksa saksi-saksi dan lain-lain, padahal korupsinya Rp 20 juta, jadi negara rugi bukan untung. Makanya cari yang besar jangan yang kecil. Kalau yang kecil banyak mudharatnya daripada manfaatnya, itulah azas manfaat,".
Rasanya pemberantasan korupsi menjadi mundur jauh kebelakang ketika membaca apa yang diutarakan  oleh Kajati Kalimantan Timur itu. Menjadi sebuah yang ironi pula ketika apa yang disampaikan Kajati itu dalam sebuah forum tentang “Upaya pemberantasan Korupsi di Lingkungan Pemkab Berau”. Tentu keanehan bertambah lagi karena forum itu dihadiri pula oleh Bupati dan Pejabat setempat.
Menurut saya, jauh panggang dari api jika kita berbicara pemberantasan korupsi tetapi menafikan hal-hal holistis. Bagi saya jujur dan amanah dalam menjalankan tugas terhadap bangsa dan negara adalah menjadi modal yang sangat penting, dan hal itu bukan hal kecil.
Hemat saya, hal kecil bukan berarti bisa disepelekan. Bukankah dari hal-hal yang kecil akan timbul hal yang besar. Tentunya ketika pertama kali pesawat terbang ditemukan tidak secanggih dan serumit pesawat modern. Manusia pun tak akan bisa langsung mengerti fisika dan kimia tanpa terlebih dahulu mempelajari mate-matika dasar.
Pada tulisan sebelumnya, saya pernah mengatakan bahwa kita lah yang turut serta melahirkan dan membidani korupsi itu. Hemat saya, pertama kali yang harus dibaikan adalah manusianya, berbuat jujur dan amanah dalam bekerja adalah modal awal dalam pemberantasan korupsi.
Pada titik ini, saya berfikiran bahwa kita mempunyai masalah dengan ahklak atau moral. Rasanya saya tidak perlu mengutarakan pendapat saya tentang lembaga penegak hukum atau kesan saya terhadap pelayanan publik dinegeri ini. Saya kira pembaca sekalian bisa menilai hal ini dengan sangat baik.
Mungkin ada baiknya kita melihat perilaku bangsa yang tangguh dan berhasil melewati masa-masa sulitnya. Agaknya saya sudah sangat terkesan dengan perilaku orang Jepang.  Dalam kesempatan ini saya ingin berbagi dengan pembaca apa yang saya ketahui tentang bagaimana orang Jepang memahami pekerjaan dan pengabdian terhadap bangsa dan negara.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Sapto Nugroho yang berjudul “Pekerjaan adalah istri kedua” saya begitu terkesan dengan perilaku orang Jepang dalam bekerja dan mengabdi bagi bangsa dan negara. Berikut petikan dari artikel tersebut;
“Seorang pekerja Jepang terpaksa tidak bisa pulang ke rumah karena pekerjaannya adalah hal wajar, dan sering terjadi kalau memang itu harus terjadi.  Istri orang Jepang juga sudah bisa menerima  hal itu.  Orang Jepang juga dikenal punya ethos tinggi dalam bekerja, salah satunya adalah dalam hal ketekunan dan keseriusan dari apa yang dia kerjakan.  Orang Jepang  tidak perduli jenis pekerjaan apapun, pekerjaan semudah dan sekecil apapun dia kerjakan dengan serius dan tekun.  Sering banyak orang meremehkan kalau jenis pekerjaannya gampang dan kecil.  Jangan heran kalau pegawai baru di perusahaan Jepang, pekerjaan pertama adalah menggerus pensil.  Menggerus pensil, suatu pekerjaan yang mungkin kita anggap sepele, tapi ini dasar dari pelatihan sikap serius  dan tekun terhadap pekerjaan kecil sekalipun”.
Disini tergambar bahwa orang Jepang begitu serius dan tekun mengerjakan hal apapun walau hanya sekedar menggerus pensil.  Kasus PLTN Fukushima yang sempat bocor akibat Gempa di Jepang tentu menjadi sebuah contoh yang sangat baik. Tidak mengherankan bagi saya ketika pegawai PLTN itu  dengan suka rela mau mengerjakan tugas perbaikan walau resikonya tinggi.
Mungkin kita melihat apa yang dikerjakan oleh pekerja PLTN Fukushima itu sama halnya “bunuh diri” atau “merugikan diri sendiri”, tetapi orang Jepang lebih melihat dari sisi “Penyelamatan” banyak orang dan penyelamatan negara.  Jadi bagi orang Jepang bukan “bunuh diri” yang dilihat tapi justru “penyelamatan”. Menurut saya disinilah letak ketangguhan Jepang untuk bangkit dari sebuah keterpurukan.
Cerita tentang perilaku orang Jepang diatas tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Kajati Kalimantan Timur Faried Harianto, SH. Mungkin inilah yang menjadikan mandeknya pemberantasan korupsi itu. Perilaku “sedikit-sedikit yang tidak apa-apa” itulah yang menjadi awal dari malapetaka negeri ini.
Sampai pada titik ini saya berfikiran bahwa pemberantasan korupsi itu menjadi sebuah keniscayaan. Keniscayaan dimana ketika kita bangsa Indonesia mulai meremehkan dan meninggalkan nilai-nilai luhur. Tentu menjadi suatu kemustahilan pula jika kita berbicara tentang kemiskinan di Indonesia, tetapi kita tidak memulai memberantas kemiskinan dengan sebuah perilaku jujur dan amanah.

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment