Oleh: Hendrasyah Putra
Biaya administrasi pak, begitulah kira-kira gambaran yang sering kali saya temui jika berurusan dengan pelayanan publik di negeri ini. Mungkin pepatah tentang ”tak ada makan siang yang gratis” itu telah mengilhami sektor pelayanan publik di negeri ini.
Komisi Omdusman, mungkin inilah jawaban dari ketidak-tuntasan dan buruknya pelayanan publik di negeri ini. Bagi saya, dalam konteks Indonesia kekikinian memang komisi ini diharapkan dapat mendorong perbaikan pelayanan publik.
Dalam pengamatan saya, spanduk yang bertuliskan ”profesionalisme” atau tulisan ”anti gratifikasi” hanya menjadi pemanis yang menghiasi beberapa sudut kantor. Dalam pada itu, kreatifitas untuk mengakali peraturan atau pengkhianatan terhadap isi dari tulisan spanduk atau sumpah sebagai pelayan publik malah begitu dominan.
Kreatifitas dalam mengkhianati pelayanan publik yang baik tersebut saya jumpai ketika beberapa waktu yang lalu saya harus berhubungan dengan pemberi pelayanan publik. Berurusan dengan pelayan publik tersebut saya memang sudah tidak lagi mendengar ucapan ”biaya administarsi pak”, tetapi saya malah menumakan modus baru. Modus baru itu sendiri adalah “buku ikhlas”.
Untuk lebih jelasnya, berikut saya akan sedikit menceritakan pengalaman saya kepada pembaca sekalian tentang buku ikhlas tersebut. Ketika urusan pelayanan publik telah diselesaikan dan berkas-berkas yang saya butuhkan telah saya terima, saya agak sedikit kaget ketika diberikan sebuah buku tulis. Maka munculuah sebuah percakapan singkat diantara kami ”buku apa ini Bu” tanya saya ke si pelayan publik. Si Pelayan publik itu pun menjawab ”ini buku ikhlas, terserah anda mau ngisinya berapa, namanya juga buku ikhlas”.
Memang saya akui bahwa unsur paksaan tidak disampaikan secara tertulis ataupun secara langsung. Tetapi yang saya rasakan adalah paksaan secara “psikis” (melalui mimik wajah, intonasi suara dan perilaku si pelayan publik) yang ”memaksa saya” mengisi atau membayar sejumlah Rupiah untuk mengisi buku ikhlas tersebut.
”Menyedihkan”, mungkin kata tersebut cukup sopan untuk mengungkapkan perasaan saya terhadap pelayanan yang diberikan kepada warga negaranya.
Terbesit dipikiran saya, apakah begitu kecil gaji yang diperoleh si pelayan publik? Ataukah ada unsur-unsur lain yang ”begitu kuat” mendorong perilaku tersebut? Jika ada, maka kekuatan apa yang mendorong perilaku tersebut?
Jika kita berbicara masalah gaji yang kecil yang menjadi pemicu hal tersebut, saya pikir alasan tersebut tidak logis. Dalam permasalahan ini, saya sendiri lebih meyakini hal ini disebabkan oleh unsur-unsur lain.
Penyakit hati seperti Iri, dengki, rakus dan tidak malu hal inilah yang saya duga menjadi pendorong timbulnya perbuatan tersebut. Senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang, bagi saya istilah ini cukup tepat untuk menggambarkan perilaku pelayan publik di negeri ini.
Agar lebih berimbang, penting bagi saya untuk mengetahui pandangan atau alasan pembenar perbuatan meraka itu. Secara tidak langsung ketika saya berbicara kepada beberapa teman yang juga bekerja sebagai pelayan publik tersebut saya mendapat pandangan yang lain dari sisi mereka.
Alasan dimana gaji yang didapat tidak mencukupi biaya hidup sehari-hari, kemudian ditambah lagi bagi pihak-pihak yang membutuhkan layanan tersebut dianggap kedepannya akan mendapatkan ”penghasilan yang besar” sehingga jika diberikan biaya tambahan yang menurut si pelayan publik ini tidak akan mempengaruhi keuntungan bagi pihak-pihak yang membutuhkan layanan tersebut.
Selain alasan diatas, saya juga mendapati alasan dimana untuk membeli gula dan kopi dikantor yang menurut mereka tidak ada anggaran dalam DPA/DIPA sehingga hal tersebut dibebankan kepada warga negara yang membutuhkan pelayanan publik tersebut.
Dalam tulisan ini, secara pribadi saya ”terpaksa” melakukan generalisir terhadap perilaku pelayan publik di negeri ini. Saya sendiri menyadari dan tentunya pernah mendapati ”oknum pelayan publik” yang memiliki integritas dan dedikasi terhaadap apa yang sudah menjadi tugas dan kewajibannya. Dalam kesempatan ini saya hanya bisa mendoakan oknum-oknum tersebut agar tetap bisa bertahan ditengah-tengah rusaknya moral pelayan publik di negeri ini.
Diatas saya sengaja mengutip sebuah gambar dari tulisan Sapto Nugroho yang berjudul ”Pelayanan Tuntas : Suara Itu sudah Tidak Ada Lagi”. Gambar itu sendiri adalah sebuah kantor yang digunakan petugas Jepang di seksi pengamanan bencana untuk memberitahukan keadaan-keadaan atau informasi yang terkait dengan bencana.
Dalam tulisan tersebut, Sapto Nugroho menceritakan dua orang petugas yang bekerja di seksi pengamanan bencana tersebut tetap memberikan pengumuman hingga sampai suara mereka yang biasa terdengar di radio hilang bersama terpaan gelombang tsunami.
Dalam kesempatan ini saya begitu terharu dengan perkataan Hiromi yang merupakan salah seorang istri petugas pengamanan bencana tersebut. Dalam kutipan artikel Sapto Nugroho itu, Hiromi mengatakan “Setiap saya makan makanan hangat atau tidur dengan slimut hangat saya merasa kurang enak karena kamu tidak ada, tapi suaramu menyelamatkan banyak orang, engkau melakukan tugasmu dengan baik”.
Apa yang diungkapan Hiromi diatas memang ungkapan persaan sedih karena ditinggal sang suami. Tetapi disisi lain ungkapan tersebut juga menggambarkan rasa hormat dan kebanggaan atas apa yang telah dilakukan oleh sumainya.
Mereka memang harus membayar mahal atas dedikasi tersebut dengan nyawa. Tetapi lihat apa yang terjadi selanjutnya. Begitu banyak orang-orang Jepang yang bisa terselamatkan atas pemberitaan yang di lakukan oleh petugas tersebut. Saya begitu menaruh hormat atas tindakan orang Jepang tersebut yang dilakukan tanpa ”biaya administrasi” ataupun ”buku ikhlas”.
Bagi saya, inilah salah satu contoh perbuatan dilakukan karena ”ikhlas” dalam melaksanakan pelayanan publiknya dan ”ikhlas” untuk memberikan pengabdian kepada negara. Harusnya perbuatan seperti inilah yang dicatat ke dalam ”buku ikhlas”, bukan sejumlah Rupiah atau sebungkus rokok.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment