Oleh: Hendrasyah Putra
Terjebak dalam suatu keadaan yang enak tentu semua orang menginginkan hal itu. Apalagi hal tersebut memiliki suatu dampak nyata pada kehidupan sehari-hari. Tetapi, pernah kah seseorang menyadari bahaya yang tersembunyi pada status quo itu?
Memang bahaya tersembunyi itu sekilas tak terlihat. Tetapi menurut penulis bahaya itu tak ubahnya seperti bahaya latent yang sewaktu-waktu dapat menyerang manusia-manusia yang berada di sekeliling nya. Penulis sempat terbesit dengan sebuah teori yang dicetuskan oleh seorang filsuf (Thomas Hobbes) yang mengatakan “homo homoni lupus” yang kira-kira jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia “manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya”.
Secara pribadi, penulis tak menyalahkan jika ada manusia-manusia yang berperilaku seperti itu, karena memang manusia itu sejatinya di ciptakan oleh sang arsitek dengan begitu macam dan keanekaragaman sifat, karakter dan perilaku.
Sejatinya memang ada yang mengatakan bahwa sifat manusia itu rakus dan sangat individualistis. Tetapi kiranya itu hanya sebagian kecil dari keterwakilan sifat-sifat manusia. Untuk itu disini penulis mencoba melemparkan suatu pertanyaan, “mengapa sifat-sifat itu saat ini begitu berkelebat kesana kemari dan bahkan terkadang sebagai tontonan yang sudah lazim untuk dilakukan, bahkan hal ini terkadang tak sungkan-sungkan diberitakan di media cetak dan elektronik? Dan apakah memang saat ini orang-orang baik yang ingin bangsa ini maju dan bermartabat sudah langka dan mungkin sudah tergerus dengan virus “cultural shock” yang mewabah bak penyakit berbahaya.
Sempat terbesit dibenak penulis, mungkin segala tanda tanya yang membayangi dikepala penulis merupakan ujung pangkal dari sebuah teori fungsional dimana setiap orang hanya memainkan peran masing-masing yang hanya ada untuk menjaga suatu keseimbangan ekosistem atau hanya sekedar piramida kehidupan, dimana produsen dengan sekelumit rantai makanan yang ada akan berakhir pada konsumen tingkat atas dan kemudian siklus itu berulang kembali.
Bukannya pesimis dan ingin membiarkan fenomena ini berlangsung terus sambil mengangkat bahu dan mengerutkan kening dan sambil mengatakan “ itulah kita, itulah bangsa kita, dengan segala kelebihan dan kekurangannya”. Jika kita hanya bisa bersikap seperti itu maka hal ini mengahruskan kita dengan segala ketertutupan mata harus menelan sebuah pil pahit yang tak kentara rasanya walaupun sesungguhnya secara sadar hal itu bisa diindahkan untuk di teguk, walaupun penulis menyadari bahwa hal itu harus melalui suatu proses yang panjang.
Berbicara masalah proses, tentunya takkan lepas dengan adanya wadah perubahan, pengorbanan serta integritas yang tinggi. Tetapi mampukah kita merelakan itu semua, maukah kita berkorban sedikit demi saudara-saudara kita yang begitu banyak tertindas, miskin dan tak punya tempat tinggal dan pekerjaan.
Dalam kasus ini penulis sangat terpengaruh dengan apa yang pernah dikatakan seorang begawan hukum, yakni Prof. Satjipto Rahardjo yang membuka sebuah wacana mengangkat orang-orang baik. Kiranya menurut penulis para pembaca sekalian sudah bisa menebak nasib daripada orang-orang baik yang menginginkan bangsa ini mengalami suatu perubahan kerarah yang lebih baik.
Sebut saja nama mantan Kapolri Hoegeng, mantan Jaksa Agung Baharuddin Loppa, Munir dan banyak lagi orang-orang lain yang mempunya pemikiran dan dedikasi yang serupa dan menerima nasib yang serupa pula!!, walaupun dengan proses yang berbeda dan penuh intrik-intrik kepentingan sehingga orang-orang baik ini tersingkir dengan pedihnya.
Sebelum tulisan ini akan dilanjutkan lebih jauh lagi, Dengan segala kehormatan dan kerendahan hati penulis, sama sekali tak bermaksud mengekrdilkan dan meremehkan nun jauh disana orang-orang yang memiliki integritas dan tak lekang berjuang demi perubahan kearah yang lebih baik yang tentunya tak terangkat dan tak terlihat oleh media dan pena wartawan. Penulis menghatur penghormatan yang sebesar-besarnya kepada setiap pribadi ini.
Kembali kepada pokok permasalahan yang erat kaitannya dengan judul artikel ini “terjebak dalam status quo”, maka kiranya para pejuang-pejuang yang telah saya sebutkan diatas tersebut akan selalu menemui tembok raksasa yang berdiri begitu sombongnya yang tak segan-segan menggusur bangunan-bangunan kecil yang ada disekitarnya.
Melalui pengamatan dan pengalaman penulis, kebanyakan seseorang yang terjebak dalam status quo itu sangat gelisah jika dihadapkan pada suatu perubahan. Mengapa?...tak lain dan tak bukan karena ketakutan kekuasaan yang dimilikinya itu. Maka orang-orang ini dengan segala upaya berusaha mempertahankan status quo nya. Penulis agaknya sependapat dengan Lord Arcon yang pernah mengatakan bahwa “power tend to corrupt, but absolutely power is corrupt absolutely”, kiranya jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia “kekuasaan cenderung disalah gunakan, tetapi kekuasaan yang absolut sudah pasti disalah gunakan”.
Selain kekuasaan yang cenderung disalahgunakan itu, orang yang terbiasa dengan status quo tersebut tentunya sudah menciptakan perilaku atau bahkan sistem yang menguntungkan sekelompok orang yang merasa diuntungkan. Maka disini mereka mempunyai ukuran-ukuran dalam berperilaku dalam pergaulan sosial mereka yang ditujukan untuk mempertahankan kekuasaan yang ada agar tidak berpindah tangan.
Mungkin dalam kesempatan ini penulis sedikit banyak setuju dengan pendapat psikolog Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya psikologi sosial, yang mengutip pendapat psikolog Anderson dalam penelitiannya terhadap masyarakat Jawa yakni ”Orang dapat berusaha mencari kekuasaan dan mempertahankannya mati-matian, karena dianggapnya sekali kekuasaan itu sudah berpindah tangan, sulit untuk merebutnya kembali”.
Pada paragraf sebelumnya penulis sedikit menyingggung tentang tembok besar yang akan menahan laju para aktor-aktor perubahan. Tembok itu menurut penulis dapat dikatan sebagai ukuran-ukuran yang diciptakan oleh rezim status quo tersebut demi melanggengkan kekuasaannya. Maka tak heran pula kita temui jika ada pandangan masyarakat jika zaman sekarang ini “yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar”, hal inilah yang penulis katakan sebagai “cultural shock”.
Kiranya penulis sependapat dengan apa yang pernah diungkapkan skolnic & curie yang mengatakan “Perubahan sosial akan menimbulkan problem sosial, yaitu yang bisa dirumuskan sebagai suatu ketidak sesuaian antara ukuran-ukuran yang diterima dalam pergaulan sosial dengan kenyataan sosial yang dijumpai di situ”.
Diakhir tulisan ini sesungguhnya Penulis sangat meyakini bahwa, selama individualistis ini masih tetap dipertahankan dengan alsan apapun, maka selama itu pula bangsa ini mengalami kemunduran dan terus mundur. Tetapi dibalik selamanya individualistis ini dengan kentara dipertahankan, maka benih penghancuran terhadap individualistis ini akan muncul.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment