Oleh: Hendrasyah Putra
Bagi kita orang Indonesia tentunya sudah tidak asing lagi ketika melihat penguasa disertai dengan pengawal, iring-iringan kendaraan yang panjang dan tentunya alunan sirene yang mengaung-ngaung. Walau sama-sama memiliki hak untuk menggunakan jalan umum dan sama-sama membayar pajak, tapi ada kebiasaan bagi kita yang orang biasa untuk minggir terlebih dahulu.
Mungkin bagi seorang kritikus seperti saya agaknya sangat gampang untuk berkomentar. Tapi kiranya saya hanya ingin berbagi apa yang saya ketahui dengan pembaca sekalian. Cerita pembuka diatas mungkin akan membuat orang berfikiran itulah bagian dari hukum kita.
Secara pribadi saya tidak meyakini untuk minggir terlebih dahulu itu bagian dari apa yang telah diatur dalam Undang-Undang lalu lintas. Bagi saya hal itu sangat mencurigakan, saya mencurigai dimana mungkinkah tindakan setiap penguasa seperti itu.
Ada pepatah lama yang mengatakan honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya. Mungkin pepatah itu yang menginspirasi Sejarawan Lord Acton dalam suratnya kepada Mandell Creighton, tertanggal April 1887, yang berisikan, ”Power tends to corrupt, and absolute power is corrupt absolutely”— kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan apabila kekuasaan itu demikian besarnya, maka kekuasaan itu pasti disalahgunakan.
Saya jadi teringat Ketika ingin pergi makan siang di jalan Imam Bonjol. Ketika itu saya mendapati kondisi jalan yang macet. Ketika itu memang bertepatan dengan Kunjungan Presiden SBY. Tapi untungnya saya menggunkan sepeda motor, sehingga tak perlu memakan waktu lama untuk mencapai rumah makan. Sampai pada titik ini, saya terus bertanya-tanya dalam hati apakah pepatah diatas ada hubungannya dengan kondisi kota Pontianak yang dikunjungi Presiden SBY pada beberapa bulan yang lalu.
Makin hari kecurigaan saya makin menjadi-jadi ketika membaca artikel yang ditulis oleh Pepi Nugraha dalam sebuah media online yang berjudul “Beda Prisiden SBY dengan Priseden MA (Presiden Taiwan)”. Berikut adalah kutipan dari artikel tersebut;
“Sewaktu kami memasuki gerbong dan kemudian duduk di tempat yang kami pesan, tidak ada sesuatu yang istimewa. Semuanya biasa saja. Beberapa saat kemudian perhatian kami teralihkan melihat seorang fotografer sibuk mengambil gambar. Tempat duduk kami berada di tengah, dan kami melihat seseorang memasuki gerbong kami dari depan, bersalaman dengan beberapa penumpang yang duduk di bagian depan, dan diikuti oleh beberapa orang di belakangnya. Kami baru menyadari itu adalah Presiden Ma ketika beliau berjalan menuju belakang, dan sempat menyalami salah satu di antara kami. Lalu meneruskan berjalan dan duduk di salah satu kursi di belakang. Nomor 16. Kursi kami nomor 7. Dan meninggalkan kami tercengang. Kaget. Saking kagetnya sampai tidak ada di antara kami yang sempat berpikir untuk memotret Presiden Ma”.
“Hanya begitu. No fuss. Beberapa orang dalam rombongan presiden itu pun biasa saja, tidak menggunakan setelan jas rapi, hanya kemeja dan celana panjang biasa, sama seperti Presiden Ma. Gerbongnya tidak dijaga khusus, tidak juga direserve untuk rombongan presiden. Dan itu gerbong kelas ekonomi. Tidak ada bodyguard berseragam, tidak ada pemeriksaan macam-macam untuk penumpang biasa. Dan penumpang lain yang ada di gerbong itupun tidak bereaksi berlebihan, sepertinya biasa melihat presiden mereka naik kereta penumpang biasa”.
Kisah diatas memang jauh berbeda dengan kondisi kunjungan Prisiden SBY kedaerah-daerah. Saya kira tak perlu lagi menceritakan bagaimana kondisi kunjungan Presiden SBY secara mendalam, saya rasa cerita macetnya jalan Imam Bonjol ketika saya hendak makan siang sudah cukup mewakili hal tersebut.
Saya sempat berdiskusi dengan teman yang kebetulan mengabdi dipemerintahan. baginya iringan-iringan, suara sirine, pengawal dan “kemacetan yang timbul” adalah sebagian dari apa yang kita sebut dengan protokoler. Tapi bagi saya istilah protokoler itu lebih cocok untuk menjadi kamuflase dari neo-feodalisme.
Dihari yang berbeda, ketika saya dan teman pergi ke Jakarta, kami menumui sebuah fenomena. Fenomena itu adalah Ketika kami bertemu Pak Rupinus yang juga Wakil Bupati Sekadau dibandara Soekarno-Hatta. Ketika itu beliau tidak didampingi siapapun, bahkan beliau sendiri yang menjinjing tas dan ikut antri untuk mendapatkan taksi.
Teman saya tadi sempat tersentak, dia mengatakan kepada saya bahwa “harusnya beliau ada seorang atau dua orang asisten, harusnyakan ada protokoler”. Tapi bagi saya hal ini adalah sebuah contoh yang baik, dimana pemimpin itu harusnya merasakan apa yang diarasakan rakyatanya. Bagi saya fenomena ini agak langka, dimana seorang penguasa merasakan “naik taksi” dan merasakan antri, dan dilain pihak juga bukankah hal itu bisa menghemat anggaran.
Sebenarnya saya sangat bingung dengan konsep Republik yang dianut Indonesia. Bingung diamana konsep republik itu tidak pas saja dengan iring-iringan, sirine, pengawal yang kerap kali kita jumpai jika bertemu penguasa. Sempat terbesit dibenak saya, mungkinkah ini sebuah adaptasi dari sistem kerajaan Indonesia di massa lampau?
Akhirnya saya menemukan sebuah jawaban dalam sebuah disertasi Prof. Satjipto Rahardjo (Prof Tjip), saya melihat sebuah kutipan dimana Burger mengatakan kebiasaan feodal untuk memelihara serta memperlihatkan status sosial para pemimpin feodal dengan mempertunjukan kebesaran mereka secara fisik, yaitu melalui: pangkat, gelar, payung, tanda kebesaran dan iring-iringan para Bupati. Pada abad ke-18 masih dilaporkan bahwa para Bupati itu diikuti oleh iring-iringan sebanyak ratusan orang untuk memperlihatkan betapa tingginya status sosial mereka.
Saya jadi teringat ketika diterapkannya sistem landelijk stelsel. Oleh Rafles Sistem ini diterapkan dimana dalam usaha untuk membebaskan rakyat dari beban hambatan dan membebaskan rakyat dari melakukan pekerjaan bagi kaum bangsawan dan menggantikannya dengan sistem pajak.
Ternyata sistem itu tidak membawa hasil yang diharapkan, menurut Prof Tjip dalam disertasinya kegagalan tersebut disebabkan oleh struktur kehidupan feodal yang telah melembaga ratusan tahun lamanya itu tidaklah begitu mudah untuk digantikan secara serta merta oleh sistem yang lain. Rakyat pada pokoknya tidak siap untuk mengambil tanggung jawab dari tangannya sendiri”.
Mungkin disinilah keberhasilan Belanda dalam merekayasa orang Indonesia. Belanda menerapkan sistem Cultuur Stelsel, dimana sistem ini mempertahankan struktur feodal yang masih berjalan didalam masanyarakat.
Berkaca kepada sejarah, terbesit dipikiran saya bahwa inilah yang coba diterapkan para Penguasa di Indonesia. Walau tidak sedikit pula orang-orang yang mengkritik perilaku feodal tersebut, tetapi hal itu sampai saat ini masih bisa bertahan.
Pada titik ini, kecurigaan saya jatuh kepada budaya feodalisme yang masih tumbuh dan berkembang. Rasanya kecurigaan saya tidak berlebihan ketika sebelumnya saya menagatakan bahwa “istilah protokoler itu lebih cocok untuk menjadi kamuflase dari neo-feodalisme”. mungkin inilah sebuah adaptasi dari sistem kerajaan Indonesia di massa lampau
Bagi saya, inilah salah satu penyebab ketika para calon penguasa berkampanye menajadi begitu manis dan akan menjadi sangat berbeda ketika mereka berkuasa. Tentunya jangan pernah tanyakan akan janji-janji manis yang pernah di ucapkan dalam kampanye, karena saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment