Oleh: Hendrasyah Putra
Ketika kita berbicara tentang Indonesia, rasanya yang jadi topik pembicaraan hanya yang buruk-buruk saja. Apakah benar demikian?
Saya sejenak tertegun. Dipikiran saya muncul pertanyaan, apakah inilah stigma yang muncul dari peringkat lima besar yang diperoleh Indonesia dalam hal korupsi? Mungkin. Barangkali.
Ketika saya berselancar didunia maya, saya menumukan sebuah forum yang membicarakan “tujuh film Hollywood yang menghina Indonesia” (www.laskarcerita.com). Secara garis besar di forum yang membahas film Hollywood yang menghina Indonesia tersebut berisikan tentang perilaku orang Indonesia yang mudah korupsi, tidak mau antre dan hal-hal buruk lainnya.
Disitu saya juga melihat komentar para pengikut di forum itu. Ada yang berkomentar “sejelek itukah images Indonesia di mata luar?”, dan ada juga yang berkomentar “kalau begini bukan menghina namanya mas bro, tapi ngepasin sama faktanya”.
Ada yang kaget, adapula yang sudah sadar akan keburukan Indonesia dimata dunia. Tapi bagaimana dengan pendapat anda?
Bagi saya hal itu tidaklah mutlak menggambarkan Indonesia secara keseluruhan. Walaupun saya menyadari bahwa berita-berita tentang keburukan memang sering tampil dari pada berita tentang kebaikan.
Setidaknya saya punya pengalaman yang berbeda, ketika saya sedang mengendarai sepeda motor menuju pasar, tiba-tiba ditengah jalan sepeda motor yang saya kendarai kehabisan bensin. karena kehabisan bensin, saya harus mendorong sepeda motor untuk mencari kios bensin terdekat.
Belum lama mendorong sepeda motor, tiba-tiba ada seorang anak muda yang mengendarai sepeda motor menawarkan bantuan untuk mendorong sepeda motor saya. Walaupun saya tidak mengenal pemuda tersebut, tentu niat baik dari pemuda tersebut saya terima dengan senang hati. Alhasil saya segera mencapai kios bensin yang terdekat. Sesampai di kios bensin tersebut, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada pemuda tersebut.
Bagi saya, perilaku pemuda tadi adalah perilaku orang Indonesia yang akhlaknya baik. Walaupun ditengah-tengah pemberitaan yang didominasi oleh keburukan dan keterpurukan Indonesia, tetapi perilaku pemuda tadi yang menolong orang ditengah kesusahan merupkan sebuah jawaban bagi pertanyaan tentang stigma Indonesia dimata dunia.
Bagi saya, Indonesia tidaklah seburuk seperti “Negeri Para Mafioso”. Indonesia bukanlah didominasi oleh koruptor dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Diky Chandra, wakil bupati garut yang menyampaikan pengunduran dirinya dari jabatannya adalah salah satu contoh tentang bagaimana orang Indonesia yang bertanggung jawab. Saya sangat kagum dengan pernyataannya di www.kompas.com, disitu ia mengatakan bahwa “ini adalah sebuah konsekuensi yang saya ambil ketika saya sudah tidak lagi mampu menjalani tugas sebagai Wakil Bupati Garut”.
Terlepas dari segala intrik yang terjadi, bukankah inilah salah satu manifestasi dari amanah yang diemban seorang pemimpin. Ini bukanlah mimpi, bukan hanya budaya Jepang saja yang bisa mundur dari jabatannya karena merasa tidak mampu.
Cerita Diky Chandra ini sebenarnya mengingatkan saya kepada sebuah artikel yang ditulis Sapto Nugroho yang berjudul “Pekerjaan Adalah Istri Kedua”. Dalam kesempatan kali ini, saya akan berbagi kepada pembaca apa yang telah Sapto Nugrho tuliskan. Berikut petikannya:
“Dunia kerja di jepang ada yang disebut “Senior” dan “Yunior”. Senior disebut “Senpai”, dan yunior disebut “Kohai”. Dimana-mana mungkin juga berlaku kalau yunior musti menghormati senior. Akan tetapi di Jepang selain itu yang menonjol adalah bahwa Senpai punya tanggung jawab mendidik Kohai. Di saat bawahan harus tinggal di kantor (menginap di kantor), maka atasan/senior pun ikut bersama. Kesalahan yunior menjadi tanggung jawab Senior. Maka sering kali terjadi seorang menteri di Jepang mengundurkan diri karena ada kesalahan bawahannya atau staff-nya. Jadi sering kita jumpai yang salah bawahan tapi yang meminta maaf di depan umum adalah atasannya.
Bagi saya, apa yang ditunjukan oleh Diky Chandra bisa dikatakan tanggung jawab seorang senior. Disitu dia mencontohkan bagaimana harusnya bertanggung jawab atas amanah yang diembannya.
Mungkin ada yang berpendapat lain dengan apa yang saya ceritakan diatas. Saya akui bahwa seringkali juga saya mendapat bantahan dan kecaman ketika berbicara tentang orang baik itu ada. Bagi saya yang paling menyedihkan adalah ketika orang terdekat saya tidak percaya bahwa dengan jujur dan usaha keras tetap bisa bertahan ditengah-tengah carut-marutnya Indonesia.
Saya sudah maklum kiranya dengan orang yang berpendapat negatif seperti itu. Fakta pemberitaan di televisi memang menampilkan perilaku orang Indonesia yang tidak bertanggung jawab. Saya juga tidak bisa membantah opini masyarakat tentang adanya praktik kotor dalam penerimaan CPNS, adanya mafia hukum, pajak dan tentunya praktik politik uang dalam pemilu.
Dahulu almarhum Prof. Satjtipto Rahardjo pernah menulis artikel yang berjudul “Mengangkat Orang Baik”. Dari pendapat beliau dalam tulisan tersebut, saya mencoba menyimpulkan bahwa kitalah yang harus memulai perilaku baik, dan tentunya kitalah yang bertanggung jawab untuk mengangkat orang baik kepermukaan.
Bagi saya, jika kita memang cinta dengan Indonesia, bukankah kita harus mendorong dan menguatkan orang-orang yang berperilaku baik untuk tetap tampil. Hemat saya, hanya kita bersama yang bisa merubah stigma Indonesia di mata dunia.
Kita tentu masih ingat dengan almarhum Baharuddin Lopa, Nudirman Munir dan tentunya baru-baru ini Diky Chandra. Bagi saya, mereka ini adalah hanya sebagian kecil dari orang-orang baik yang dikenal di Indonesia. Tetapi saya begitu yakin masih banyak orang-orang baik yang tidak terangkat.
Bagi saya Indonesia tidak hanya yang buruk saja, tapi yang baik itu ada. Bagaimana menurut pendapat anda?
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment