Wednesday, November 23, 2011

SEPERTI CENDOL


Oleh: Hendrasyah Putra


Ada yang suka cendol? Mungkin banyak diantara kita yang menyukai minuman ini. Selain murah meriah minuman ini begitu mudah didapat, apalagi ketika bulan Rhamadan tiba pedagang “es cendol” berseliweran menghiasi pinggiran jalan jadi tak perlu susah payah untuk memenuhi kesenangan para pecinta cendol.
Tapi bagaimana dengan pecinta off-road? Akhir tahun 2009 yang lalu Kalimantan Barat menjadi mainan para off roader nasional dan juga manca negara. Seru sekali rasanya melihat mobil-mobil mahal itu melintasi jalan di Kalimantan Barat yang berlubang dengan lancar.
Tahukah anda bahwa banyaknya jalan berlubang disekadau itu hampir sama persis dengan banyaknya pedagang cendol dibulan Rhamadan? Bagi saya inilah sebuah ironi. Mengapa ironi? Anda bisa membayangkan daerah yang jalannnya rusak berat seperti di Kabupaten Sekadau dijadikan arena pemuas nafsu para off-roader itu.
Sepertinya kita senang melihat orang lain menderita. Saya jadi teringat ketika berkelana ke desa boti dan sungai sambang didaerah Kabupaten Sekadau. Subhanallah, jalannya luar “bianasa” , tetapi hal-hal seperti itu yang menjadikan off roader senang! Tetapi tidak untuk masyarakat setempat.
Disitu saya sempat mendengar keluh kesah mereka. Dengan teknologi informasi yang semakin maju saat ini, ternyata hal itu membuat mereka berpikir lebih kritis, tanpa perduli kewenangan siapa untuk membuat akses jalan “yang manusiawi” tersebut, mereka merasa tidak diperhatikan dan tentunya bagi mereka menjadi aneh ketika mereka menonton telivisi dan melihat jalan-jalan didaerah jawa begitu tebal, mulus dan licin yang tentunya berbanding terbalik dengan kondisi jalan didaerah mereka.
Masyarakatpun mungkin sudah jenuh mendengar kata-kata “ini jalan nasional, jadi yang berhak memperbaiki jalan ini adalah pemerintah pusat” atau “kami tidak mempunyai anggaran untuk memperbaiki jalan itu, karena tidak masuk dalam rencana anggaran kami”, maklumlah pelayan masyarakat ini begitu mendewakan asas “nullum delictum” nya itu.
Rasanya di Indonesia hal positif sudah berputar ke negatif. Entah apa yang terjadi dengan bangsa ini. Hal diatas hanyalah sekelumit contoh bahwa ironi itu menjadi suatu hal yang lazim di negeri dengan dasar negara PANCASILA. Dalam kesempatan ini saya ingin memutar kembali ingatan anda tentang bunyi sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab”dan sila ke lima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”, coba renungkan makna dari sila-sila tersebut.
Jika anda sudah memaknai sila-sila tersebut, kini anda saya bawa kembali kepada fenomena lain di negeri ini. Saya jadi teringat ketika menonton sebuah “reality show” yang menghadiahkan sebuah rumah kepada 3 orang pilihan yang diuji oleh tim reality show dengan berbagai kesusahan. Ketika menonton acara tersebut hati nurani saya sungguh teriris, anda bisa melihat "kesusahan seseorang sudah dijadikan alat penghibur bagi masyarakat Indonesia".
Sadarkah anda acara-acara reality show ini sudah “seperti cendol” yang berseliweran menghiasi acara-acara telivisi di Indonesia. Menyedihkan sekali bangsa ini, disini seolah-olah kita senang dengan kesusahan yang didapat orang lain, maklumlah hal-hal seperti ini belum dicetak kedalam teks-teks yang mengatur boleh atau tidak bolehnya hal itu.
Saya sempat tersentak ketika seorang sahabat menjadikan iklan layanan masyarakat sebuah lelucon. Sembari menirukan aksen bahasa papua, sahabat saya itu berkata “kini air sudah dekat, tak perlu jauh-jauh ambil air buat mandi adik” ,bayangkan tanpa disadari kesusahan saudara-saudara kita hanya menajadi sebuah lelucon! Kita hanya tertawa melihat kesusahan saudara-saudara kita, bukankah ini sebuah perilaku yang tak mencerminkan dari PANCASILA itu sendiri?
Kiranya saya setuju dengan pendapat seorang pemikir yang mengatakan bahwa “inilah yang disebut dengan benturan antar peradaban.. dimana kemajuan lebih menonjolkan peradaban teknologi dan akan terjadi sebuah paradoks”. Bayangkan saja dengan kemajuan teknologi informasi bangsa ini bukan semakin maju tapi malah semakin mundur dalam moral dan berperilaku.
Kita boleh menonton acara televisi discovery chinnel yang mengungkap cara-cara hidup bangsa-bangsa, tetapi hal itu hanya berdampak terhadap pujian terhadap bangsa asing, seperti Jepang itu disiplin, Jerman itu teliti, Amerika itu maju dan Cina itu sangat anti korupsi.
Tetapi sadarkah anda, bahwa anak bangsa ini yang pria tetap berkelahi ala James Bond dan yang wanita berpakaian ala Paris Hilton dan perilaku miyabi (Maria Ozawa) dianggap trendsetter dan merupakan hak asasi manusia?! akhirnya inilah yang dikatakan dengan "tongkrongan global, paradigma lokal".
Di Indonesia kita sangat mudah menemukan film-film porno, bahkan belakangan ini dunia perfilman Indonesia diramaikan dengan film yang bernuasnsa horor diramu dengan sesuatu yang tidak pantas untuk ditayangkan bagi negara yang menganut PANCASILA.
Sadarkah anda hal-hal negatif di Indonesia sudah “seperti cendol”, sangat mudah untuk dijumpai. Sebuah ironi dengan begitu banyaknya Komisi Independent Bentukan Negara. Kita memiliki KPK, KPI, Komisi Omdusman dan lain-lain yang jumlah sekitar lima puluhan, tetapi pelaku korupsi, Film porno, reality Show dan buruknya pelayanan publik masih “seperti cendol”.
Bahkan dengan banyaknya komisi di Indonesia membuat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi resah. Bayangkan saja begitu banyaknya lembaga-lembaga negara extra struktural (Komisi independent bentukan negara) tersebut seperti tidak berpengaruh pada membaiknya pelayanan terhadap masyarakat, inilah yang diaktakan Jimly sebagai sebuah “anomali”, yang wajib ditinggalkan yang sunat kerjakan.
Agaknya bangsa ini memiliki trend dimana segala sesuatu harus dipisah-pisahkan dan harus pula tertera dalam sebuah tulisan sehingga barulah hal itu dikatkan boleh atau tidak boleh dilakukan. Andaikata ketentuan “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk untuk memenuhi kebutuhan penyelenggara pendidikan nasional” tidak tertera dalam Konstitusi apakah negara ini tetap memprioritaskan pendidikan sebanyak dua puluh persen dari anggaran belanjanya?
Para pelaku negara ini masih sibuk dengan membagi-bagi kewenangan dan membuat aturan sampai untuk ditujukan kepada amoeba sekalipun. Maklumlah bangsa ini sangat kuat menganut suatu hal yang tertulis atau diatur terlebih dahulu, mungkin inilah yang dikatakan M Unger sebagai “tuntutan hukum modern yaitu untuk menjadi positif dan publik, melahirkan hukum yang tertulis atau dituliskan”.
Jadi jangan harap segala bentuk film porno, perilaku imroal akan diberantas selama belum ada peraturannya. Sebaliknya pula, masyarakat yang didaerahnya yang tidak memiliki infrastruktur “yang manusiawi” tidak akan dipenuhi selama hal-hal itu belum diatur dalam sebuah teks tertulis. maklumlah Indonesia masih senang dengan “hukum (modern) yang menajadi panglima”.
Saya kira apa yang pernah dikatakan Paul Scholten “het recht is er, doch het moet worden gevonden” (hukum itu ada tetapi harus digali) sekiranya dapat menjawab segala permasalahan yang tak terjawab dengan teks-teks peraturan. Hemat saya, kiranya hal yang terabaik yang bisa dilakukan adalah mencari titik kearifan yang tepat, sehingga kendati keadilan masyarakat yang ingin dicapai tidak mereduksi dari makna dan semangat teks-teks tertulis itu dan bukankah teks-teks tertulis itu ditujukan untuk melayani masyarakat?

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment