Oleh: Hendrasyah Putra
Apa yang ada dipikiran anda ketika mendengar kata candu? Mungkin bagi sebagian besar orang candu lebih identik dengan hal-hal yang memabukan sehingga membuat seseorang tergantung.
Dahulu ada seorang pemikir ternama yang mengatakan agama itu candu, tapi sayangnya “semasa” ia hidup pendapatnya tentang agama itu candu tidak begitu berkembang. Mungkin pemikir itu akan terkaget-kaget jika melihat fenomena terosrisme dalam kontek kekininan yang akhirnya memancing orang untuk berpendapat tentang pecandu agama dan kecanduan agama.
Bagi saya, kata candu itu menjadi hal yang menakutkan ketika dihubungkan dengan kata benda atau kata kerja. Didunia kerja misalnya, kita sering mendengar istilah workholic atau dalam terjemahan bebasnya pecandu kerja.
Saya jadi teringat ketika ada peraturan Wali Kota Pontianak yang membatasi jam operasi bagi warnet. Tentunya aturan ini ditujukan untuk membatasi pecandu game online dan sosial media. Bagi saya, Inilah salah satu hal yang menjadi keprihatinan dari Pemerintah Kota dalam menerapkan peraturan itu. Secara garis besar, peraturan itu muncul akibat perilaku manusia yang bermain game online dan sosial media secara berlebihan di warnet.
Tetapi bagaimana bagi sebagian orang yang telah kecanduan game online atau sosial media? Tentu hal itu akan menjadi menyenangkan jika bisa berlama-lama berada didepan komputer. Tak bisa saya bayangkan berapa waktu dan uang yang dihabiskan hanya untuk memuaskan nafsu duniawinya.
Bagi saya, salah satu sifat candu tadi yang paling menonjol adalah sifat berlebihan. Bayangkan jika tidak ada batasan jam operasi warnet, maka apa yang terjadi bagi sipecandu tadi.
Pada titik ini, saya jadi teringat dengan korupsi yang begitu merajalela di Indonesia. Terbesit dipikiran saya bahwa salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah dikarenakan kecanduan uang. Menurut saya, rata-rata pelaku kasus korupsi itu berpendidikan tinggi, pejabat negara atau pihak swasta. Jika secara kasar kita melihat kemampuan finansial para pelaku korupsi ini, mereka memiliki harta atau penghasilan yang tergolong besar.
Kecanduan uang tak perduli agama, latar belakang, suku, warna kulit dan jenis kelamin. Melinda Dee misalnya, yang menjadi salah satu pegawai bank swasta dengan penghasilan perbulan mencapai puluhan juta rupiah dan ditambah lagi dengan bonus dari jabatan yang ia emban, tetapi hal itu tidak bisa untuk mencukupi nafsu duniawinya.
Tentunya masih cukup pantas untuk dibicarakan kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Gayus yang telah menerima renumerasi itu bahkan merasa tak cukup dengan pendapatannya yang menembus angka belasan juta Rupiah perbulan. Karena merasa tak cukup, ia akhirnya terjun kedalam lembah nista yang kita sebut sebagai “mafia pajak”.
Saya tak bisa menahan tawa ketika membaca pemberitaan di www.kompas.com yang berjudul “Beginilah Gayus Ditipu”. Dalam pemberitaan itu dikabarkan bahwa Gayus ingin menggandakan uangnya dengan cara membakar uang. Oleh Ahmad Muntoha (dukun pengganda uang) yang juga mendiami LP Cipinang, ia mensyaratkan Gayus harus membakar 100 lembar pecahan 10.000 dollar Singapura (totalnya 1 juta dollar Singapura atau sekitar Rp 7 miliar) dengan ritual tertentu.
Malangnya nasib Gayus, ia "hanya" membakar 60 lembar pecahan 10.000 dollar Singapura (600.000 dollar Singapura atau setara Rp 4,2 miliar) miliknya sehingga gagal dilipatgandakan menjadi 300 juta dollar Singapura atau setara Rp 2,1 triliun.
Terjadi aksi saling tuduh atas kegagalan melimpat gandakan uang tersebut. Karena dianggap ditipu, Gayus yang merasa mengalami kerugian besar karena membakar uangnya sendiri segera melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwenang. Tetapi menurut Ahmad Muntoha tidak melakukan penipuan, dengan alasan bahwa Gayus tidak menjalankan ritualnya secara penuh.
Bagi saya inilah gambaran orang yang sudah kecanduan uang. Ia rela melakukan cara apapun untuk mendapatkan uang yang banyak. Tak perduli dengan cara kotor dan keji sekalipun, bahkan dengan cara yang terbilang menurut saya “bodoh” untuk ukuran orang yang berpendidikan.
Saya pernah mendengar istilah “ultra kaya” dari teman-teman yang mempromosikan sebuah multi level marketing (MLM). Saya juga tidak pernah menentang dan menyalahkan orang untuk kaya. Saya malah menganjurkan kita sekalian untuk kaya, tetapi dengan cara yang benar tentunya.
Tetapi ada hal yang sangat mengusik saya ketika membaca berita tentang kasus korupsi Wisma Atlet di www. kompas.com yang berjudul “Idris: Imbalan buat Pemerintah Itu Biasa”.
Berikut adalah petikan berita yang saya coba rangkum garis besar nya; Bagi Mohamad El Idris Pemberian succes fee atau uang imbalan untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah merupakan hal yang biasa dilakukan perusahaan-perusahaan dan hal itu sudah biasa.
Menurit Idris, hal itu merupakan salah satu lobi-lobi yang dilakukan ke pimpinan proyek untuk mendapatkan proyek. Distiu ia juga menceritakan bahwa adanya kesepakatan tak tertulis itu, yang umumnya kedua belah pihak menyepakati sejumlah uang yang akan diberikan penerima proyek kepada pemberi proyek.
Jumlah imbalannya berbeda-beda antara satu proyek dan lainnya. Tergantung 'tulang daging'-nya, kalau 'daging'-nya sedikit, ya sedikit.
Disitu terlihat bahwa memberikan imbalan kepada oknum dipemerintahan menjadi sebuah hal yang lazim untuk mendapatkan proyek. Seakan-akan cara apapun untuk menjadi kaya di perbolehkan. Bagi saya hal ini hanyalah akal-akalan pecandu uang untuk membenarkan segala daya dan upayanya dalam mencapai tujuannya.
Negara ini bukannya tidak memagari hal-hal yang dianggap bisa menghidupkan pecandu uang dan kecanduan uang. Kita mengenal bahwa ada aturan yang melarang gratifikasi, kita juga tahu bahwa ada aturan yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tetapi mengapa kita selalu di suguhkan fakta pemberitaan dimana pagar itu selalu di robohkan.
Seperti yang saya tulis dalam artikel sebelumnya, bahwa yang menjadi penyebab utama terjadinya korupsi itu kita sebagai manusianya. Karena yang hanya bisa menjadi pecandu dan kecanduan uang itu hanya manusia. Sistem, benda mati atau hewan tak bisa menjadi pecandu uang dan kecanduan uang.
Inilah yang terjadi jika manusia berlebihan dalam usaha untuk mendapatkan uang. Manusia akan berupaya dengan berbagai cara untuk melampiaskan hasrat akan uang. Segala cara dan upaya dilakukan hanya untuk mencapai pemenuhan hasrat itu. Bagi saya manusia yang kecanduan uang akan lebih berbahaya dan mengerikan daripada manusia yang kecanduan Narkoba.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment