Wednesday, November 23, 2011

Inilah Kita


Oleh:Hendrasyah Putra

Kita tentunya sudah tak sabar menanti kebijakan apa yang diambil oleh pemerintah Kota Pontianak dalam mengatasi kemacetan yang mulai datang menghantui. Menambah jalan, melebarkan jalan, membuat jalan layang dan membangun jembatan kapuas yang baru, mungkin itulah kira-kira isu yang menjadi opsi dalam penyelesaian masalah kemacetan.
Patung Pak Polisi adalah saksi bisu kesemerautan lalu lintas yang sering tampak disimpang lampu merah Imam bonjol dan Jalan Pahlawan. Sepanjang pengalaman saya berkendara sepeda motor di jalan-jalan Kota Pontianak, padamnya lampu pengatur lalu-lintas biasanya menimbulkan kesemerautan.
Ketika lampu lalu-lintas padam, disitu terlihat masyarakat berlomba-lomba menarik gas kendaraannya untuk berebut jalur yang menjadi tujuannya. Saya hanya berfikir, mungkinkah ini cerminan yang sesungguhnya dari masyarakat kita?
Saya jadi teringat ketika menonton pemberitaan ditelevesi yang mengabarkan kemacetan di Jakarta. Disitu para pengamat mengkritisi kebijakan pemerintah DKI yang hendak membatasi kepemilikan kendaraan berotor. Alasan dimana masyarakat yang membayar pajak dirugikan karena hak untuk memiliki kendaraan pribadi dibatasi menjadi tembok bagi kebijakan itu.
Disisi lain para pengamat juga mengkritisi mudahnya mendapatkan kendaraan bermotor melalui jalur kredit. Tanpa disadari kemudahan kredit kendaraan bermotor yang mengakomodir pola konsumtif orang Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan. Ironi memang, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris bahkan masyarakatnya lebih mudah mendapatkan kredit kendaraan bermotor daripada kredit pertanian.
Kemacetan lalu-lintas memang bukan hanya menjadi masalah di negara kita. Dalam sebuah buku yang berjudul Biarkan Hukum Mengalir dan beberapa buku yang merangkum kumpulan artikel almarhum Prof Satjipto Rahardjo, beliau pernah menceritakan kemacetan yang terjadi di Amerika Serikat Sekitar Tahun 60-an.
Dalam artikel itu, beliau menceritakan kemacetan yang terjadi di New York, dimana Kota New York terancam tak bisa bergerak karena jalan-jalannya dipadati oleh kendaraan bermotor. Kemacetan itu sendiri secara umum disebabkan oleh meningkatnya jumlah kepemilikan kendaraan pribadi.
Three in one, seperti apa yang kini diterapkan di jalan-jalan tertentu di Jakarta juga diterapkan di New York. Disini mulai muncul kekuatan masyarakat untuk mendobrak permasalahan bersama itu. Dalam hiruk-pikuk kota yang tidak pernah tidur itu munculah Slugs.
Slugs sendiri adalah kumpulan orang-orang Amerika yang ingin berangkat bekerja tetapi tidak menggunakan kendaraan pribadi, mereka beramai-ramai duduk di cafe tepi jalan untuk menanti tumpangan mobil pribadi dari orang amerika lainnya yang berangkat kekantor menggunakan mobil pribadi. Begitulah cara orang Amerika menyelesaikan permasalahan kemacetan di New York.
Lain lubuk lain belalalang, lain lubuk lain pula ikannya, begitulah kira-kira kata pepatah. Di Jakarta ketika Three in one diterapkan ada fenomena baru yang timbul, fenomena dimana joki three in one bermunculan untuk mengakali aturan three in one itu sendiri. Mungkin inilah cara orang Indonesia menyelesaikan permaslahan kemacetan. Alih-alih menyelesaiakan permasalahan tetapi malah yang  muncul adalah mengakali aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Saya sendiri agak kurang setuju jika kita terlalu menyalah-nyalahkan pemerintah dan Polantas ketika terjadi kemacetan. Agak kurang fair rasanya ketika kita membenturkan hak asasi sebagai warga negara yang telah membayar pajak dengan hak untuk menggunakan kendaraan pribadi dan jalan.
Mungkin tidak berlebihan ketika saya coba kutip gambar diatas, diamana gambar itu diambil ditengah-tengah bencana yang menimpa Jepang. Disitu tergambar dimana orang Jepang membuat antrean untuk mengambil makanan dan minuman yang digratiskan oleh pemilik toko. Gambaran ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi dimana ketika adanya pembagian zakat atau sembako gratis di Indonesia, niat luhur ingin menolong sesama malah menimbulkan bencana baru.
Jikalau kisruh pembagian zakat dan pembagian sembako gratis mencerminkan kesemerautan masyarakat menengah kebawah,  maka bolehlah kiaranya saya katakan jika kemacetan lalulintas itu cerminan dari kesemerautan masyarakat menengah keatas. Secara pribadi saya memang tidak terlalu berharap akan muncul kekuatan dalam masyarakat untuk membaikan kesemerautan itu. Mungkin kita lebih suka dengan kesemerautan itu, mungkin itulah kita adanya.

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment