Oleh: Hendrasyah Putra
Artikel ini bukanlah dimaksudkan mengajari para kalangan untuk berfikir bahwa hukum itu adalah suatu hal yang tidak harus tertera dalam undang-undang atau tidak. Dan bukanlah juga penulis ingin memperdebatkan sistem hukum yang dianut oleh negara ini, tetapi dalam kesempatan ini penulis sbebenarnya hanya ingin mengajak pembaca untuk menjelajahi hukum pada suatu dimensi lain, dimana hukum itu sebenarnya tidaklah menjadi suatu harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar karena kemandiriannya.
Dalam usaha pemulihan hukum di indonesia dari keterpurukan yang setelah bertahun-tahun terus merong-rong kewibawaan hukum, telah banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh rezim-rezim yang berkuasa untuk memperbaiki hukum kita dari keterpurukan.
Walaupun kita ketahui bahwa, krisis yang melanda sektor hukum di indonesia sudah menjadi penyakit yang akut. dimana masayarakat diseluruh penjuru nusantara sedang mempertanyakan dimanakah hukum itu, dan dimanakah para punggawa-punggawa hukum ketika rakyat ingin berlindung dari kesewenangan dan ketidakadilan.
Suatu fenomena yang berkembang di bangsa yang penuh dengan nilai-nilai luhur ini ketika era reformasi dimulai, dimana hukum mualai kehilangan wibawanya dan seakan peraturan-peraturan yang tertulis itu pun hanyalah menjadi suatu text belaka yang tidak dihiraukan oleh masyarakat. Peradilan massa pun mulai sering kita jumpai dalam keseharian masyarakat di indonesia. seakan-akan hal itu sudah menjadi suatu yang lazim dan menjadi ciri baru dari bangsa ini.
Mungkin sebagian orang dibelahan bumi lain, ketika melihat pemberitaan-pemberitaan tentang peradilan massa tersebut akan berfikiran bahwa chaos telah timbul di indonesia atau mungkin mereka berfikiran ternyata bangsa indonesia itu sama hal nya dengan bangsa barbar yang anarkis dan tidak beradab.
Bayangkan saja seorang maling ayam diadili oleh massa yang tak terkontrol emosinya dan menghasilkan suatu sikap spontanitas dimana sikap itu diiringi dengan sikap ikutan sehingga terjadilah pemukulan beramai-ramai oleh massa terhadap maling ayam tersebut. Mungkin kalu hanya sekedar dipukuli beramai-ramai atau diarak secara bugil sudah menjadi nasib yang sangat mujur bagi si maling, tetapi bagaimana kalau jika si maling dibakar hidup-hidup? Pastinya menjadi suatu pemandangan yang sangat memilukan.
Tindakan masyarakat itupun bahkan tidak bisa dijerat oleh hukum. Mungkin secara logika hukum pidana, penganiayaan terhadap tersangka yang tertangkap tangan itu tidak diperbolehkan, tetapi apa jadinya ketika penganiayaan itu dilakukan oleh massa. Agaknya aturan hukum pidana yang dicetak oleh negara itu sangat berbeda dengan aturan hukum pidana yang dicetak oleh masyarakat.
Tentunya hal ini menjadi suatu kajian yang menarik dimana hukum yang dibuat oleh negara itu sangat prosedural dan proses pemberian hukuman pada pelaku kejahatan memakan waktu yang panjang, tetapi tidak seperti hal nya dengan proses hukum yang dicetak oleh masyarakat. Dengan memenuhi rasa kekesalan, kepuasaan dan keadilan menurut versi masyarakat, maka vonis terhadap terdakwa si maling ayam pun langsung dijatuhkan.
Tentunya akan tidak seimbang ketika dalam tulisan ini penulis terlalu mengkaji tentang fenomena yang terjadi dimasyarakat, untuk itu sebagai bahan pembanding ada Fenomena menarik lainnya ketika adanya gagasan dari PBB dan bank dunia tentang program StAR (stolen asset recoveriy). Ketika ide ini mulai ditawarkan ke pemerintah indonesia, sedikit banyak hal ini menimbulkan suatu harapan baru bangsa ini untuk memperbaiki kinerja di bidang hukum.
Agaknya maksud baik dunia internasional tersebut menimbulkan pro dan kontra dikalangan publik, terutama dikalangan para pelaku hukum. Agak sekit tercengang ketika saya mendengar pemberitaan dimana diantara para pelaku hukum itu yang mempertanyakan apakah hasil peneltitian bank dunia tersebut dapat dipertanggung jawabkan? Atau hal itu hanya asumsi belaka.
Retorika-retorika diantara pelaku hukum pun mulai berkembang, ada juga yang berpendapat bahwa PBB dan Bank dunia itu tidak berhak melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap kasus harta dugaan korupsi mantan orang nomor satu di indonesia itu. Bahkan dalam kesempatan ini kuasa hukum yang bersangkutan tidak mau kalah dalam beretorika di media, mereka mengatakan bahwa “hasil dugaan harta negara yang dicuri itu kan sama dengan hasil penelitian tahun-tahun yang lalu, dan secara hukum pembuktian klien kami sudah memberikan keterangan dan rekening nya diluar negeri untuk diperiksa kejaksaan”.
Huh.. pastinya retorika-retorika yang dimuat media cetak dan elektronik tersebut pastinya membuat masyarakat nyengir. Mungkin pendapat sebagian orang yang awam terhadap ilmu hukum mengatakan, “apa sih itu advokat.. kerjanya hanya membela orang-orang yang salah”. Tetapi teori-teori yang dibuat oleh sebagian masyarakat yang awam tersebut tetap saja dengan mudah di bantah oleh para pelaku-pelaku hukum yang tentunya sudah mengenyam pendidikan di bidang ilmu hukum.
Alasan-alasan klasik yang cukup kuat untuk membantah teori-teori masyarakat itu sperti “secara konstitusional klien saya laporan pertanggung jawabannya selalu diterima MPR, atau secara hukum tidak ada putusan dari pengadilan yang tetap yang menyatakan bahwa klien saya bersalah atau juga klien saya melakukan perbuatan itu sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku”. Dari sedikit centilan diatas Agak nya logika-logika kepastian hukum atau logika undang-undang akan sangat tepat menjadi formula yang digunakan dalam menegakan hukum secara primitf dan pragmatis.
Mungkin beberapa orang berpendapat bahwa, fenomena yang terjadi itu disebabkan oleh sistem hukum yang ada di indonesia sangat buruk. Jika kita berfikiran demikian, tentunya pemikiran seperti itu agak sedikit keliru. Buktinya para polisi masih menjalankan tugas nya untuk mengatur lalu lintas atau menjaga keamanan serta fungsi-fungsi yang lain, begitu pula hal nya dengan para jaksa dan para hakim serta sektor-sektor yang terkait di dunia peradilaan. Perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi diantara warga masyarakat dan sektor swasta juga masih memperhatikan rambu-rambu hukum.
Jadi sebenarnya dimanakah sistem hukum yang buruk itu? Ataukah negara ini mempunyai sistem hukum yang berbeda diantara penguasa, sektor sawasta atau pemilik modal dan masyarakat.
Dari fenomena-fenomena yang coba diungkapkan oleh penulis diatas, maka dapat ditarik benang merah. Sesungguhnya hukum itu bukanlah suatu benda mati yang tertera dalam text undang-undang. Tetapi sesungguhnya hukum itu adalah suatu keinginan dari hati nurani masyarakat yang diperuntukan untuk masyarakt itu sendiri, dimana hal itu ditujukan menciptakan kedamain didalam masyarakat itu sendiri. contoh peradilan massa diatas adalah suatu hal yang menunjukan bahwa hukum itu bukanlah suatu harga mati dan otonom, melainkan hukum itu memerlukan suport sistem dan partisipasi dimana untuk mendukung jalannya hukum itu.
Ketika kita bicara hukum, tidaklah cukup kita berbicara tentang harus sesuai dengan prosedur atau undang-undang, tetapi bagaimana kita memaknai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Penulis sadari bahwa seluruh hasil karya cipta manusia tak ada satupun yang sempurna dimuka bumi ini, untuk itu kiranya gunakanlah hati nurani dalam menilai suatu masalah, sehingga tidaklah kita sebagai pelaku hukum hanya terpaku pada doktrin, yurisprudensi dan undang-undang yang penuh dengan kekurangannya itu sebagai celah untuk menghindar dari kejahatan-kejahatan yang diperbuat.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment