sumber gambar :http://dhekafirdaus.wordpress.com/2012/03/ |
Oleh : Hendrasyah
Putra
Bento,
sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Iwan Fals. Siapa yang tak kenal lagu ini,
musik dan lirik yang begitu asik sering kali didendangkan oleh masyarakat walaupun
kadang tak sadar akan pesan moral yang terkandung dalam liriknya.
Bento,
dahulu orang-orang mengatakan istilah tersebut diapakai sebagai adagium untuk
menyindir Mantan Presiden Soeharto dan antek-anteknya. Kata orang, bento
kepanjangan dari “benteng Soeharto”. Walaupun tak jelas juga sumber yang bisa
mengungkapkan arti bento tersebut, tapi bagi saya lagu bento berarti sebuah
kritikan bagi penguasa-penguasa yang tidak bermoral.
Dahulu korupsi,
kolusi, nepotis serta kejahatan HAM berat selalu berada dalam epicentrum
penguasa Orde Baru. Hal-hal tersebut hampir kasat mata mengingat pembredelan
media dan tentunya pembatasan hak-hak untuk mengeluarkan suara dibatasi secara
ketat.
Meskipun demikian,
tetap saja ada pejuang-pejuang yang memiliki keberanian untuk tetap bersuara
lantang menyuarakan keadialan dan kebenaran. Resiko seperti ancaman penculikan
bahkan kematian sekalipun menjadi ganjaran yang setimpal bagi orang-orang yang
dianggap sebagai pembakang ini.
Ketika masa
jayanya, Bento-bento bebas berkeliaran dan berbuat sesuka hati tanpa harus takut
ada kamera dan pena-pena yang memberitakan perilaku buruk mereka. Hukum seakan
mati, karena memang hukum buatan manusia sesungguhnya tak lebih dari sebuah alat
politik yang dijadikan alat pembenar dan sekaligus menajdi alat pemusnah
lawan-lawan politik.
Tapi tak ada
yang abadi dimuka bumi ini, zaman berganti, seluruh element masyarakat tergerak
untuk melawan dan melakukan perubahan terhadap tindakan yang “tidak
memanusiakan manusia”. Para bento pun lari terbirit-birit. Walaupun sempat
berkonsolidasi, tapi ternyata gerakan reformasi lebih solid dan kompak dan
akhirnya tak bisa lagi dibendung para bento.
Bento-bento
pun tiba-tiba menghilang seakan mati seketika ditelan munculnya era reformasi. Bento
oh bento, mungkinkah dikau mati suri dan menunggu era diamana engkau akan
dibangkitkan lagi.
ERA BARU KEBANGKITAN BENTO
Era baru
reformasi yang menandai tumbangnya rezim orde baru memang digadang-gadang akan
lebih membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Jaminan atas Hak Asasi Manusia
memang lebih terbukti walaupun lebih banyak menimbulkan dilema ketika
dipraktikan.
Pada titik
ini era kebangkitan bento pun dimulai. Hal ini ditandai dengan mulai munculnya
kebablasan dalam praktik-praktik berdemokrasi dalam konteks kekinian yang
selalu dibalut dengan sebuah legalitas formal.
Bablas,
kata-kata tersebut seringkali terucap ketika ekses dari sesuatu yang berlebihan
yang menagatasnamakan reformasi dan HAM mulai sering muncul dimasyarakat. Sesuatu
yang berlebih memang tidak akan ada membawa manfaat begitulah kira-kira pesan
dari Rasullulah.
Sebagai contoh,
Prof. Jimly Asshidiqie pernah mengomentari tentang banyaknya Komisi Indepen
bentukan negara yang jumlahnya sekitar 50-an. Hemat saya, dengan saking banyaknya
komisi tersebut memunculkan inefesiensi terhadap lembaga-lembaga pemerintah
yang sudah ada sebelumnya, belum lagi indikasi bagi-bagi jabatan untuk duduk
sebagai komisoner yang kini begitu kasar mata namun sulit untuk dibuktikan.
Dialain sisi, banyaknya komisi tersebut tentu
berdampak langsung terhadap gemuknya postur
birokrasi di negeri ini. selain menambah gemuk birokrasi, kegemukan tersebut
juga berdampak pada banyaknya beban yang harus ditanggung oleh APBN dimana anggaran tersedot sangat
banyak hanya untuk membayar gaji para komisioner, pegawai serta membangun
gedung baru untuk komisi-komisi tersebut.
Sungguh tak
ada hal yang baik dari sesuatu yang berlebih. Tapi apa mau dikata, Marx pernah
mengingatkan kita bahwa “kenyataan adalah realita yang terbalik”. Hukum yang
katanya sebagai pengatur ternyata hanya menjadi sebuah alat yang melegalkan
bento-bento untuk menguras uang-uang rakyat secara langsung maupun tidak
langsung.
Apa mau
diakata, hukum memang sebuah produk politik. Ini adalah kenyataan pahit yang
harus ditelan oleh para Masteer of de
Rechten (Sarjana Hukum) yang terlalu gila terhadap teori “rule of law” yang
sekali lagi saya katakan sangat jauh panggang dari api.
Era reformasi
yang digadang-gadang akan menjadi titik balik untuk membaikan bangsa Indonesia
ternyata hanyalah sebuah era baru kebangkitan bento-bento dari tidurnya. Yang berbeda
hanyalah bento kini lebih sering tampil di televisi, “berkhotbah soal moral dan omong keadilan”, tapi disisi lain perilaku buruk mereka dalam “lobbyng dan upeti” hanyalah suatu hal
lain yang kasar mata, nampak oleh media dan masyarakat tapi tak bisa disuarakan
dalam meja peradilan.
TANDA-TANDA KEILMUAN TAK JADI UKURAN KEHORMATAN
Geliat
bento dalam konteks kekinian memang sudah tak bisa dipungkiri lagi. “jagal apa saja, yang penting aku menang, aku
senang, persetan orang susah karena aku” sepertinya potongan lirik lagu
bento tersebut bukan hanya sekedar bahan sindiran bagi bento, tapi mungkin juga
kini menjadi landasan cara mereka untuk menjalankan aksi-aksinya.
Bento,
memang tak perduli latar belakang. Bisa dari kalangan mana saja, mau aktifis,
pemerintah, swasta ataupun akademisi sekalipun semua bisa menjadi bento. Bento,
memang selalu ada dan tetap akan ada selama dunia belum kiamat.
Bento, di
era kekinian memang sudah lebih solid dan terorganisir. Persetan masalah
keilmuan, yang penting loyal dan bisa bekerja sama dengan bento maka
orang-orang tersebut bisa didorong untuk tampil dan duduk disebuah jabatan yang
tentunya sangat menguntungkan para bento.
Prof. J.E.
Sahetapy seringkali mengkritisi tentang moralitas dan kompetensi penyelenggara
negara ini dalam sebuah acara talk show di malam rabu. Realitas tentang
carut-marutnya perekrutan CPNS, Hakim Agung dan para Komisioner yang muncul
saat ini hanyalah menjadi sebuah fakta bahwa tanda-tanda keilmuan tak lagi jadi
ukuran kehormatan. Perih memang untuk mengutarakan realitas yang sulit untuk
dibuktikan ini, tapi apa mau dikata memang begitulah adanya.
Entah siapa
yang salah. Sebuah acara reportase sore mengungkap sebuah fakta buruknya sistem
evaluasi belajar saat ini. Sebuah fakta dimana kunci jawaban Ujian Nasional
diberikan kepada siswa yang terpercaya oleh gurunya untuk kelak disebarkan ke teman-teman
sekelas agar bisa menjawab soal ujian tersebut. Hal ini saya kira sudah menjadi
rahasia kita bersama dan tentunya enggan untuk diungkap bukan karena malu, tapi
karena sudah menjadi kebiasaan yang dianggap benar oleh masyarakat.
Cikal bakal
bento memang sudah dan atau sengaja dibentuk sejak dini. Itulah faktanya. Saya masih
ingat betul tentang kisah seorang pelajar Sekolah Dasar di Provinsi Jawa Timur
yang dipaksa gurunya untuk memberi tahu jawabannya kepada teman sekelas dalam
sebuah Ujian Nasional.
Malang memang
nasib anak Sekolah Dasar yang mencoba menegakan kebenaran tersebut. Alih-alih
didukung oleh dewan guru dan masyarakat, tapi malah kenyataan pahit berupa
pengusiran dan pertentangan dari masyarakat dan dewan guru yang ia terima.
Kini orang-orang
berilmu dan berkompeten di era reformasi malah kian redup sinarnya ditelan
dengan menjamurnya bento-bento. Berilmu kiranya memang tak cukup menjamin
kesejahteraan untuk hidup di negeri para bento ini. Bergabung menjadi bento
atau menjadi miskin karena tak sesuai dengan arus perkembangan jaman yang lebih
condong kearah bento memang menjadi sebuah pilihan yang sulit.
Melihat realitas
apa yang telah coba saya sampaikan sebelumnya, kiranya kita harusnya tak lagi mengeluh ketika melambungnya harga BBM, bawang
dan cabe rawit. Kita juga tak harusnya malu ketika negara lain sudah berbicara
nuklir dan rudal antar benua tapi kita masih saja berkutat pada bawang merah
dan cabe rawit. Lucu memang, tapi inilah sebuah fakta yang seringkali kita
lupakan dari apa yang telah kita bidani sendiri.
Mantab sekali bung Hendra....
ReplyDeletenegeri autopilot hen...
ReplyDeletemiris juga saat pelaksanaan UN kemarin, banyak kejadian yg bikin ngelus dada
ohhh jebule ganti jeneng tho
ngeri tapi memang begitulah realitasnya slam... miris memang...
DeleteD'Nasib...
ReplyDeleteHarus hidup di Negri BENTO...