Tuesday, June 4, 2013

MITOS JAJAHAN BELANDA



Sumber gambar : http://carabineri.wordpress.com

Oleh: Hendrasyah Putra

Kita tentutnya sudah tak asing lagi dengan istilah “Otak Belande” (istilah Melayu Pontianak). Walaupun saya bukan seorang ahli bahasa, bagi saya yang awam ini istilah tersebut berarti sebuah perilaku licik, curang dan bermuara kepada suatu perilaku buruk. Anggapan tersebut muncul sebagaimana sejarah yang mengajarkan kita tentang bagaimana Belanda mengadu domba pribumi pada masa kolonial dengan berbagaimacam daya dan upaya.
Iwan Fals pernah mempopulerkan istilah “Bento” melalui lagunya yang sangat melegenda itu. Melihat lirik Bento, saya jadi berfikir bahwa istilah “Bento” dan “Otak belande” ini memiliki sebuah kemiripan dalam hal keburukan dimana seseorang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Dalam konteks kekinian, saya seringkali mendengar masyarakat menyalahkan Belanda yang pernah menjajah Indonesia sehingga perilaku-perilaku “Bento” lebih dominan daripada perilaku Pancasila. Disisi lain masyarakat kerapkali membandingkan negara-negara bekas jajahan Inggris yang “konon” lebih maju, beradab dan bermartabat.

Secara pribadi, sebenarnya saya agak kurang sependapat dengan masyarakat yang terlalu mengkambing-hitamkan Belanda atas menjamurnya perilaku “Bento” serta ketertinggalan Indonesia dari negara-negara bekas jajahan Inggris. Pada titik ini, tentu ada baiknya kita merujuk sejarah dan melihat seberapa jauh penetrasi dari Belanda dalam hal memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat Indonesia.
MENGIKUTI BUDAYA LOKAL
Pada kesempatan ini, saya ingin memfokuskan masuknya penetrasi asing khususnya Belanda terhadap Indonesia diera tahun 1500. Berikut adalah data-data sejarah yang saya rangkum serta saya edit untuk memperpendek alur tulisan dari buku yang berjudul “Peperangan Kerajaan Di Niusantara” oleh Capt. R.P. Suyono.
“Pada tahun 1596, organisasi dagang Belanda Companie van Verre yang dipimpin Cornelis de Houtman dengan empat buah kapal, diawaki 250 orang dan dilengkapi dengan 100 meriam berlabuh di Banten.
Cornelis de Houtman dan awaknya ketika itu tidak mendapat sambutan yang baik dari Portugis dan tentunya penduduk setempat. Bahkan ketika Cornelis de Houtman datang menghadap Bupati Jayanagara, ia dan beberapa pengawalnya ditangkap.
Karena Cornelis de Houtman mendapatkan perlakuan buruk oleh Bupati Jayanagara, hal  ini memicu kemarahan anak buah Cornelis de Houtman. Akhirnya setelah anak buahnya melakukan bombardir terhadap Banten dan juga tentunya memberikan “tebusan”sebanyak 4.500 gulden, Cornelis de Houtman pun dibebaskan.
Cornelis de Houtman  mungkin bisa dianggap gagal dalam misi perdagangannya, tetapi tidak untuk misi eksepedisi penemuan nusantara. Pada tahun 1598, pedagang Belanda datang kembali ke Indonesia yang dipimpin oleh Admiral Van Neck. Nasib sang admiral mungkin sedang beruntung, karena ketika itu Portugis baru saja diusir dari Banten.
Tak ada makan siang yang gratis, mungkin orang-orang dahalu telah mengenal dan lebih paham dengan istilah ini. Admiral Van Neck yang menghadap Bupati Jayanagara ketika itu diharuskan membayar dimuka sejumlah 10.000 gulden serta harus membayar beberapa ratus gulden ke syahbandar.
Kegagalan Cornelis da Houtman mengajarkan Van Neck untuk tidak jatuh kelubang yang sama. Van Neck menyanggupi biaya yang dikenakan Bupati Jayanagara dan syahbandar. Atas kesanggupannya untuk membayar apa yang telah ditetapkan Bupati, akhirnya ia dibebaskan untuk melakukan aktifitas perdagangan.
Ketika rempah-rempah yang hendak dibawa ke negeri Belanda telah penuh, Van Neck pun segera pergi untuk kembali ke negeri Belanda, ia juga tak lupa mengikuti “budaya lokal” ketika itu untuk memberikan “upeti” kepada raja Banten yang ketika itu masih berumur 3 tahun. Kontan saja Van Neck makin diterima oleh kerjaan Banten dan masyarakat”.
Ketika melihat interaksi antara pedagang Belanda dan penguasa wilayah di nusantara kala itu, tentunya kita bisa melihat adanya sebuah penolakan dari penguasa di nuantara terhadap kehadiran orang asing yang tidak mau mengikuti kebiasaan dan mungkin juga tata krama setempat.
Cornelis de Houtman kiranya telah mengajarkan kita bahwa untuk bebas dan selamat dari tawanan penguasa setempat kala itu ternyata tidak cukup dengan sebuah agresi. Sejarah membuktikan bahwa 4500 gulden memang lebih sakti untuk membebaskan Cornelis de Houtman dari tawanan Penguasa Setempat.

Upeti kala itu bagi saya tentu tidak jauh berbeda dengan suap atau sebutan lainnya dalam konteks Indonesia kekinian agaknya begitu sesuai dengan ungkapan “show me the money” yang lebih realistis saat ini, mengingat tuntutan untuk memperkaya diri sendiri diatas penderitaan orang lain lebih populer dan begitu lazim.
Diatas, apa yang telah dilakukan Van Neck hemat saya bukanlah suatu perilaku yang diajarkan dari pedagang Belanda kala itu. Diatas terbukti bahwa Van Neck hanya mengikuti budaya setempat yang dimaksudkan untuk memperlancar perdagangannya.
Pada kesempatan lain, saya juga menemukan fakta tentang pengungkapan kentalnya budaya lokal yang sangat sulit untuk diubah oleh penjajah kala itu. Prof. Satjipto Rahardjo Dalam sebuah disertasinya yang berjudul “Hukum dan Perubahan Sosial”  mengungkapkan bahwa ketika tahun 1811 hingga 1816 penerapan  sistem landelijk stelsel (sistem sewa tanah) oleh Thomas Stamford Raffles tidak bisa diterima oleh masyarakats.
Dalam disertasinya, Prof. Tjip juga menjelaskan bahwa penolakan sistem tersebut dikarenakan masyarakat lebih terbiasa dan nyaman pada kebiasaan atau jika boleh saya katakan dengan budaya lokal kala itu. Disisi lain pihak kolonial “mungkin” atau barangkali merasa direpotkan juga dengan budaya lokal. Fakta unik ini juga terungkap dalam disertasi Prof Tjip yang mengungkapkan bahwa ternyata pemerintah kolonial terus berusaha untuk mengurangi jumlah iring-iringan yang mengikuti bupati dari ratusan hingga menyusut menjadi sepersepuluhnya.
Berat memang jika mengerjakan sesuatu karena terpaksa dan tak sesuai keinginan hati. Dalam disertasinya, Prof Tjip juga mengukapkan bahwa Politik Belanda tampak selalu diarahkan kepada memperoleh keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan struktur yang ada. Sehingga ketika terjadi pergolakan di eropa yang menyebabkan kekuasaan kolonial di Nusantara diserahkan kembali dari Inggris kepada Belanda maka munculah Cultuur Stelsel (Sistem Pemanfaatan Tatanan Lokal) dan persentage Stelsel (sistem persen) dimana sistem tersebut dibuat untuk memanfaatkan struktur lokal yang ada pada saat itu.
Cultuur Stelsel dan Persentage Stelsel memang mengakhiri keberadaan VOC. Perilaku korup pegawai VOC beserta para bupati yang memanfaatkan kelemahan sistem ketika itu membuat kejayaan VOC yang telah berdiri sejak tahun 1602 harus dibubarkan pada tahun 1800 (198 tahun). Pada titik ini terlihat bahwa peranan manusia ternyata lebih menonjol daripada sistem yang dibuat. Dalam pada itu, ternyata apa yang pernah dikatakan Van Dorn itu benar adanya, bahwa “manusia itu selalu terjatuh diluar sistem yang dibuatnya”.
MITOS BEKAS JAJAHAN BELANDA
Mitos bekas jajahan Belanda memang menjadi anggapan buruk dari masyarakat yang tidak siap dengan penyebab buruknya realita pada konteks Indonesia yang kekinian. Walaupun sejarah yang saya coba ungkap diatas menampilkan sebuah fakta dimana Belanda sebenarnya hanya memanfaatkan budaya lokal untuk mencapai tujuannya yang akhirnya menjadi sebuah antitesis dari mitos tersebut.

Kita juga bahkan kerap kali mendengar masyarakat membanding-bandingkan infrastruktur di Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Menyalahkan Belanda yang menjadi biang kerok korupnya Indonesia hanyalah menjadi pembenar manusia-manusia yang pragmatis.
Zimbabwe (dahulu Rhodesia Selatan), salah satu negara afrika yang merupakan bekas jajahan Ingris yang ternyata memiliki nasib yang lebih buruk dari Indonesia. Zimbabwe yang memiliki kekayaan alam berupa bahan tambang seperti emas, tembaga, bijih besi, nikel, platinum, lithium, batubara, kromium, dan asbes ternyata tidak mampu memajukan negaranya serta mensejahterakan rakyatnya.
Di bawah kepemimpinan presidennya Robert Gabriel Mugabe, Zimbabwe bahkan berhasil mencatatkan namanya sebagai Negara dengan pencapaian inflasi tertinggi yakni sebesar 2,2 juta persen. Mengerikan bukan?
Pada titik ini saya kembali menggunggat anggapan orang-orang kebanyakan yang beranggapan sistem pemerintahan atau sistem hukum peninggalan Inggris lebih baik daripada penjajah lainnya. Apa yang terjadi pada Zimbabwe menurut saya tentunya bisa disimpulkan bahwa “manusia” ternyata lebih berperan penting dari pada sistem.

Istilah England Gentlemanship yang begitu terkenal adalah jawaban mengapa koloni jajahan Inggris sebelum merdeka lebih baik dari koloni yang dijajah oleh negara lain. Perilaku orang-orang Inggris yang begitu setia dengan ratunya sehingga lebih memilih untuk tidak memanfaatkan kelemahan sistem buatan manusia tersebut untuk memperkaya diri sendiri telah menjadikan negaranya menjadi kuat dan maju.
Zimbabwe dan Indonesia memang bisa memberikan kepada kita sebuah contoh bahwa perilaku untuk memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan kelemahan sistem buatan manusia yang penuh dengan kekurangan itu menjadikan kedua negara ini memliki rekor yang baik dalam hal korupsi.
Pada titik ini saya mencoba menyimpulkan bahwa munculnya perilaku korup dengan memanfaatkan kelemahan atau kekurangan sistem yang ada tersebut merupakan sebuah perilaku manusia pragmatis yang membuat sistem baru yang tak terlihat namun berlapis legalisme untuk memenuhi hasrat akan memperkaya diri sendiri. So, jika VOC hanya berumur 198 tahun, bagaimana dengan negara kita?




0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment