Tuesday, July 23, 2013

ATAS NAMA RAKYAT?



sumber gambar: www.jatiluhuronline.com/2011/04/opini-anda.html
 
Oleh: Hendrasyah Putra

Belakangan ini kreatifitas untuk menulis saya seakan terkungkung oleh sebuah pertanyaan itu-itu saja. Kata-kata “Atas nama rakyat” seakan memberikan sebuah jawaban yang abstrak atas kebuntuan ini.
Dari politikus, kelompok masyarakat, cendikiawan, ulama, partai politik, LSM, lembaga penegak hukum, pemerintah dan DPR selalu mengatasnamakan rakyat ketika bertindak dan memutuskan sebuah kebijakan.
Sebuah alasan klasik yang begitu abstrak, mengingat kata-kata rakyat berujung pada indikator “anonim” yang tentunya begitu mudah untuk dicatut dalam hal apapun. Pertanyaan pun mulai muncul ketika pihak lain yang merasa “terganggu” dengan kata-kata atas nama rakyat tersebut membalas dengan ucapan “rakyat yang mana?”
Berbicara Indonesia pada suatu sisi sosiologis, seakan-akan tak akan pernah habis dibicirakan dan dituangkan dalam sebuah tulisan. Tapi ketika kita mencoba melihat lebih dalam lagi mengenai akar permasalahan yang menjadi biang keladi keburukan di Indonesia seakan hal itu sudah bisa kita finalkan tentang pragmatisme yang begitu akrab dengan masyarakat.
Sempat terpikir oleh saya bahwa kata-kata rakyat tersebut hanya menjadi komoditas pemanis kepentingan. Rakyat yang kemudian sangat diidientikan dengan golongan yang termarginalkan dari satu sisi terbut kemudian menjadi sorotan yang kemudian diblow-up sehingga sempurnalah tujuan dari si pemilik kepentingan.
Masyarakat mungkin menyadari hal tersebut. Saya pikir adagium masyarakat Indonesi kini sudah cerdas bisa menjawab hal tersebut. Masalahnya adalah bagaimana mungkin masyarakat yang cerdas tersebut hanya diam ketika kecurangan jelas-jelas begitu telanjang didepan mata?
Pragmatis, saya kira hal itu cukup tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia dalam konteks kekinian.
Geli rasanya melihat kisruh yang terjadi di Indonesia. Rasanya malu melihat negara kita masih berkutat dengan permasalahan mahalnya harga jengkol, cabe, bawang dan daging sedangkan negara-negara luar sudah berbicara nuklir, rudal antar benua serta penjelajahan luar angkasa. Sungguh, Bangsa yang doyan dengan “tongkrongan global paradigma lokal”.
Dalam pengamatan saya, masyarakat yang katanya selalu menjadi korban keganasan dari pemuasan kepentingan pihak-pihak tertentu ternyata mereka terlihat suka-suka saja dengan kondisi seperti itu.
Bak gayung bersambut, masyarakat seakan menikmati rekayasa-rekayasa yang terjadi dengan harapan mereka bisa menuai keuntungan walaupun kecil atau sedikit dari hal tersebut. Kasus BLSM atau kasus di Jakarta tentang relokasi ke Rusun dari areal hijau atau resapan air menjadi contoh yang begitu baik tentang begitu pragmatisnya orang Indonesia.
Atas nama rakyat dan kemudian dikolaborasikan konsep hukum dan HAM dengan pemahaman yang begitu dangkal tentunya hal tersebut menghasilkan formula yang begitu mujarab untuk memuaskan nafsu pragmatis itu.
Pada kesehariannya Indonesia, secara sadar atau tidak sadar sesungguhnya kita selalu disuguhkan oleh panggung sandiwara dimana kisah kepastian, keadilan dan kemanfaatan selalu di benturkan satu sama lain yang pada akhirnya menimbulkan celah dimana pragmatisme bisa hidup dan tumbuh dengan subur. Inilah yang saya maksudkan dengan pemahaman hukum dan HAM secara dangkal.
Konon ada yang mengatakan suara rakyat itu suara tuhan. Jika memang benar suara rakyat itu suara tuhan tetapi mengapa “money politic” tetap menjadi jurus jitu dalam meraup perolehan suara dalam setiap pemilu? Jika demikian apakah sesungguhnya tuhan itu bisa dibayar?
Memang mengerikan ketika realitas ini membawa kita pada tahap dimana masyarakat juga turut serta berperan dalam membenamkan Indonesia pada sebuah jurang keterpurukan.
Fakta dimana pemenuhan isi perut menjadi agenda yang lebih utama itu akhirnya memicu aliran pragmatisme tumbuh subur yang akhirnya melahirkan manusia-manusia yang berusaha untuk bisa hidup kenyang walau sesaat dalam atmosfir kemiskinan yang melanda Indonesia.
Indonesia yang sejatinya adalah negara timur kini lebih cenderung dengan budaya yang sangat wild-wild west.
Indonesia yang kita sudah ketahui bersama dengan begitu lamanya terpuruk dalam jurang kenistaan yang tak berujung ini seakan tak dapat lagi menemukan jalan keluar. Bagi saya hal ini memunculkan sebuah pertanyaan “dimanakah mereka yang selalu berteriak atas nama rakyat?
Dalam pemikiran saya, bagaimana mungkin jika kita berteriak atas nama rakyat untuk membaikan negeri ini jika kita tidak bisa berlaku adil. Bagaimana mugkin kita berbicara keadilan dan kemakmuran dinegeri ini jika kita sendiri tidak bisa adil terhadap tuhan, sesama manusia dan untuk diri kita sendiri.
Dalam pada itu, bisakah kita berlaku adil dan ikhlas untuk membiarkan orang-orang baik yang memiliki integritas dan kompetensi untuk duduk menjadi pemimpin? Pertanyaan yang mudah bukan? tapi sayangnya dalam praktik hal ini akan sulit untuk dilakukan karena tuntutan untuk pemenuhan perut ternyata lebih utama daripada berlaku adil.
Fakta bahwa buruknya perekrutan CPNS, penegak hukum, hakim agung serta komisioner di Indonesia menjawab bahwa masyarakat atau mungkin diri kita kebanyakan tidak bisa ikhlas dan berlaku adil terhadap tuhan, sesama manusia dan diri sendiri.
Situasi sekarang memang sudah semakin sulit dan rumit. Dari politikus, kelompok masyarakat, cendikiawan, ulama, partai politik, LSM, lembaga penegak hukum, pemerintah, DPR dan bahkan mungkin kita turut berjamaah dalam mengarahkan negara ini kejurang kehancuran dan kenistaan.
Masyarakat dan mungkin juga kita tidak lagi pasrah melihat penyelenggara negara diisi oleh manusia-manusia yang hina-dina. Masyarakat seakan begitu ikhlas dan bahkan secara sadar mengambil kesempatan dalam buruknya perekrutan CPNS, penegak hukum, hakim agung serta komisioner di Indonesia.
Indonesia kini tak akan ada ubahnya seperti sebuah kisah sinetron yang tak tentu ujung pangkalnya. Selama kita tidak bisa berlaku adil kepada tuhan, sesama manusia dan diri kita sendiri maka jangan berharap negara ini bisa memberikan kemakmuran dan kedamaian  pada setiap warga negaranya.


0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment