Oleh:
Hendrasyah Putra
Bagi kalangan
mahasiswa atau sarjana hukum istilah rechtstaat
(negara hukum) adalah sebuah pakem dimana keberadaanya harus terjaga dan secara
teoritis hukum menjadi panglima dalam menegakan keadilan dan kebenaran serta tidak bisa dilakukan adanya upaya penekanan dari
luar hukum.
Satjipto
Rahardjo si pengagas hukum progresif ini dalam banyak bukunya yang saya baca
menekakan bahwa hukum itu harusnya untuk manusia dan bukan sebaliknya. Dalam
banyak bukunya yang bercerita hukum dalam interaksi sosial masyarakat itu juga
menekankan bahwa hukum bukanlah sebuah lembaga otonom yang tidak bebas nilai. Jadi
bisa dipengaruhi juga ya???
Dalam pada itu
kita sebagai masyarakat yang secara tertulis dalam konstitusi dibawah dalam
naungan negara hukum ini kiranya sering disuguhi istilah seperti equality before the law, presumtion of
inocent, nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali, dan yang tak
kalah usang adalah Fiat justitia ruat
coeleum. Rasanya semua asas ini menjadikan hukum Indonesa sempurna, kalo
boleh saya katakan bravo!!!
Een zalf op de wond :Sedikit obat
untuk luka yang diderita
foto:allenkelana7.blogspot.com |
Adalah sosok
Hakim Marzuki yang menangani dan memutus perkara dalam kasus “nenek tua”
pencuri ubi kayu (singkong) melawan Penuntut Umum, dimana perkara ini
dilaporkan PT AKB yang merasa dirugikan karena beberapa bongkah singkongnya
hilang. Marzuki seolah menjadi pahlawan yang serupa seperti sosok jagoan dalam
film-film India yang mampu melawan sekelompok begundal seorang diri sehingga
rasa keadilan yang tercabik bisa diobati. So
sweet memang ditengah kegaduhan penegakan hukum akan tuntutan “rasa
keadilan” yang melanda negeri yang mengklaim secara de jure sebagai negara hukum.
Jika yang
manis-manis sudah didapat dimuka tulisan ini, maka saya sarankan jangan terlalu
banyak mengkonsumsi yang manis-manis. Karena segala sesuatu yang berlebihan
(melebihi batas) itu tidak baik, rasanya tidak pas jikalau kehidupan ini hanya
manisnya saja, pastinya ada rasa pahit dan asamnya juga kan.
Equality before the law: Kesamaan
dimuka hukum
foto: zaskia; sidomi.com dan sonya; medanbagus.com |
Saya tidak tau
rasanya pahit atau asam kah ini ketika pedangdut Zaskia Gotik (goyang itik) yang
terbukti secara hukum menistakan Pancasila dalam sebuah program hiburan dengan
mengganti sebuah sila dengan kata “bebek nungging” malah kemudian menjadi duta Pancasila.
Kasus serupa juga menimpa Sonya Eka Rina
Dapari yang melanggar lalu lintas dan mengancam polantas (polwan dalam rekaman
video) malah jadi duta narkoba. Waw hebat ya, petualangan perilaku menistakan
Pancasila dan mengancam aparat penegak hukum malah berbuah manis, mungkin
inikah yang dimaksud dengan “equality
before the law” atau rejeki durian
runtuh???
Belakangan ini
pun kasus “menistakan” juga terjadi lagi dan oleh Polri pelaku “baru saja” dijadikan
tersangka. Terlepas dari begitu “rumitnya” hal tersebut, demi “equality before the law” akan diberi mandat sebagai “duta” apa ya? adakah yang ingin mencobanya???
Fiat justitia ruat coeleum: Tegakan hukum walau langit runtuh
Adagium yang
sangat berlebihan sih memang, walau langit runtuh (kiamat) hukum pun masih
ditegakan, tapi tak apalah untuk menjadi penyemangat orang yang awam hukum seperti
kita ini.
foto: Abu Bakar Ba'asyir; bbc.com dan Archandra Tahar; suaranasional.com |
Entah mengapa adagium
ini malah mengingatkan saya dalam kasusnya Abu Bakar Ba'asyir yang
dituduh/didakwa melakukan tindak pidana terorisme. Uniknya Abu Bakar Ba'asyir
mendekam di hotel prodeo dengan dijerat pelanggaran imigrasi. Ya begitulah,
bagaimanapun juga hukum harus ditegakan (walau langit runtuh).
Ya walaupun
dikemudian hari untuk kasus pelanggaran imigrasi yang sama pernah menimpa
“mantan” Menteri ESDM Archandra Tahar (kini Wamen ESDM) dimana mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berkicau (tweet)
dalam twitter nya (14/08/2016) dan menulis "Ya,
kita jadi ingat. Abu Bakar Ba’asyir dulu dipidanakan karena dokumen
keimigrasian juga,". Menarik memang tapi ya sudahlah, penegakan hukum
memang unik kok.
foto:thecandidat.com |
Ngomong-ngomong
masalah dokumen “palsu” ini saya jadi teringat dengan kasusnya mantan ketua KPK
Abraham Samad. Kasus ini dimana Feriyana Lim (asal Pontianak) yang merantau ke
Makasar dan memalsukan Paspor dan KTP, dan
Feriyana sendiri dalam pada itu masuk dalam KK Samad yang kemudian menjadikan Samad tersangka dalam pemalsuan dokumen ini. Kasus ini pun berhenti seiring
penerbitan seponering oleh Jaksa
Agung, M Prasetyo. Yap, seperti menonton telenovela atau melodrama dengan alur cerita menegakan hukum walau langit runtuh tentunya.
seponering adalah pengesampingan perkara demi kepentingan umum
yang merupakan kewenangan Jaksa Agung.
|
Epilog: Hukum adalah panglima (dan patuh
pada raja-Nya)
Jangan terlalu
sedih ya, karena di Amerika Serikat sekalipun yang mengklaim negara demokratis dan
menjamin HAM (hak asasi manusia) juga demikian. Berikut akan saya kutip sedikit
kisah “keangkeran” mitos hukum yang tajam kebawah dalam sebuah buku tulisan
James Petras yang berjudul “Zionisme dan keruntuhan Amerika”:
Dr.
Rafil Dhofer menerima hukuman penjara selama 22 tahun untuk ‘kejahatan’nya
melawan Israel, walau beliau tidak pernah terbukti bersalah atas kejahatan
apapun di Amerika. Para pembela dan pengacara mereka tidak pernah diperbolehkan
untuk menanyai “saksi” rahasia dari pihak asing tersebut.
Kisah diatas
jadi mengingatkan saya beberapa pihak yang
menurut saya terlalu “paranoid” akan
kondisi Indonesia yang akan menyerupai Suria (salah satunya Buya Syafi’i Ma’arif). Bagi saya hal tersebut terlalu
berlebihan, jikalau kita ingin membandingkan apple to apple saya pikir kondisi yang “tumpul kebawah” ini lebih
menampakan kesamaan antara AS dan Indonesia.
Biar tidak terlalu kecewa, menurut hemat saya jangan berharap lebih teori-teori manis dan asas-asas tentang hukum yang terlalu membuai kalbu. Satjipto Rahardjo yang mengagas ide hukum progresif juga mengkaui bahwa hukum itu tidak bebas nilai (terlepas dari tujuan positif tidak bebas nilai itu sendiri). Jadi tak ada salahnya jugakan jikalau beberapa pihak ataupun yang awam dari perkuliahan hukum itu sendiri beranggapan bahwa hukum itu memang alat (panglima) untuk si penguasa (raja-Nya).
Biar tidak terlalu kecewa, menurut hemat saya jangan berharap lebih teori-teori manis dan asas-asas tentang hukum yang terlalu membuai kalbu. Satjipto Rahardjo yang mengagas ide hukum progresif juga mengkaui bahwa hukum itu tidak bebas nilai (terlepas dari tujuan positif tidak bebas nilai itu sendiri). Jadi tak ada salahnya jugakan jikalau beberapa pihak ataupun yang awam dari perkuliahan hukum itu sendiri beranggapan bahwa hukum itu memang alat (panglima) untuk si penguasa (raja-Nya).
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment