sumber:www.memecenter.com |
Oleh: Hendrasyah
Putra
Membanggakan
memang diantara negara ASEAN hanya Indonesia yang masuk G20. anggota G20 sendiri
terdiri dari 19 negara dengan perekonomian besar dan ditambah dengan Uni Eropa.
Walau tertera kata-kata “perekonomian besar” dan bahkan Singapura yang “konon
katanya” lebih makmur dibanding negara kita toh faktanya juga tidak masuk G20.
Tetapi saya pikir sudah cukup puja dan puji itu. Kita harusnya menjadi
realistis, dengan tingkat korupsi yang masih membelit disegala sektor di negara
ini tentunya secara logika kita tak akan bisa berharap banyak dengan kemakmuran
yang selalu dijadikan janji manis setiap musim kampanye berlangsung.
Berbicara
korupsi tentu kita bicara data tentang Indeks prestasi korupsi. Mengutip dari
situs www.ti.or.id pada artikel corruptions perception index (CPI) 2015 peringkat
Indonesia Naik 19 Posisi pada tahun 2015, skor CPI Indonesia sebesar 36 dan menempati urutan 88 dari
168 negara yang diukur. Lebih lanjut, dalam artikel tersebut juga disampaikan
bahwa skor dan peringkat Indonesia masih
belum mampu menandingi skor dan peringkat yang dimiliki oleh Malaysia (50), dan
Singapura (85), dan sedikit di bawah Thailand (38). Indonesia lebih baik dari
Filipina (35), Vietnam (31), dan jauh di atas Myanmar (22).
sumber: www.ti.or.id |
Masih dari situs
yang sama namun dalam artikel yang berbeda yang berjudul survei presepsi korupsi, dikatakan bahwa Corruption Perception
Index (CPI) 2014 yang diterbitkan secara global oleh Transparency International
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan level korupsi yang tinggi. Dalam
CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia
dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat
bersih). Korupsi secara khusus disebut menempati urutan teratas dari 18 (delapan
belas) faktor penghambat kemudahan berusaha di Indonesia.
Rasanya dalam
paragraf pembuka saya setidaknya apa yang saya katakan "realistis" tidak begitu naif.
Jikalau dalam situs transparency international (TI) disebutkan bahwa korupsi menempati
urutan teratas dari 18 penghambat kemudahan berusaha di Indonesia. Seharusnya
hal ini berdampak pada sedikitnya investor luar maupun dalam negeri yang menanamkan
modalnya.
Apakah benar
demikian? Oke lebih lanjut saya menelusuri data investasi yang ada pada situs
milik pemerintah yakni www.bkpm.go.id, dalam situs milik pemerintah
ini disampaikan secara terpisah statistik realisasi penanaman modal asing dan
dalam negeri yang kesemuanya terdiri dari sektor primer, sekunder dan tersier
dari tahun 2010 sampai dengan 2016. Untuk lebih ringkas saya akan menyampaikan
total dari realisasi penanaman modal asing
dan penanaman modal dalam negeri. Mengingat tahun 2016 masih berjalan,
maka data yang saya tampilkan dari tahun 2010 sampai dengan 2015 sebagai
berikut:
Modal
|
Tahun
|
||||||
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
||
Luar Negeri
(dalam US$. Juta)
|
16214,8
|
19474,5
|
24.564,7
|
28.617,5
|
28.529,7
|
29.275,9
|
|
Dalam Negeri
(dalam Rp. Miliar)
|
60.626,3
|
76.000,7
|
92.182,0
|
128.150,6
|
156.126,2
|
179.465,9
|
|
Berdasarkan
data statistik dari BKPM tersebut terlihat bahwa dari rentang 2010 sampai
dengan 2015 terjadi peningkatan yg cukup signifikan dari sisi penanaman modal
asing dan dalam negeri. Jadi berdasarkan “data” tersebut bolehlah diaktakan
mungkin atau barangkali korupsi bukanlah “faktor penghambat kemudahan berusaha
di Indonesia”.
Secara pribadi
saya tidak pula menyangsikan data CPI dari TI mapun data realisasi investasi
dari BPKM. Dalam pada itu sepatutnya kita harus mencurigai atau mungkin lebih
halusnya “mewaspadai” terhadap investor “yang bersedia” menanamkan modalnya
dinegara yang masih terbelit dengan korupsi yang sangat akut.
Terkait hal
tersebut diatas, saya sependapat dengan pensiunan analis Departemen Pertahanan
AS, Franklin "Chuck" Spinney. Dalam sebuah artikel di
sindonews.com yang berjudul “mesin roket
besar AS-Ukraina dinilai jadi formula untuk bencana”, Spinney
mengatakan bahwa “Sebuah
upaya bersama Amerika Serikat (AS) dan Ukraina untuk membuat mesin roket besar
guna menggantikan mesin roket Rusia dinilai akan menjadi formula untuk bencana.
Alasannya, Ukraina masih mengalami masalah besar soal korupsi. Lebih
lanjut Ia mengatakan “jika proyek itu
tetap nekat dijalankan bersama maka ke depannya akan menghadapi masalah besar. Dari
sudut pandang manajemen program, berdasarkan pengalaman saya di
Departemen Pertahanan, bekerjasama dengan pihak korup—dan mungkin tidak
kompeten—antara Ukraina dengan kontraktor pertahanan AS, adalah ruang formula
untuk bencana anggaran, jadwal, kinerja,” .
Apa yang
diungkapkan Spinney tentunya sangat rasional bagi saya, tetapi entah menurut
anda? Apakah kita cukup waras ingin berdagang dengan begundal? Jika iya maka
konsekuensi segala kecurangan dan tipu muslihatnya siap kita tanggung sendiri
atau mungkin jika anda ingin berdagang dengan begundal tentu “ada maksud
tersembunyi” dibalik “kerelaan” anda untuk berdagang dengan begundal.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment