OLEH :
HENDRASYAH PUTRA
Belakangan ini mungkin
orang-orang mempertanyakan tentang keberadaan kepastian hukum. Mungkin kepastian hukum tidak begitu rumit jika kita hanya berbicara kepastian hukum
itu adalah kepastian peraturan yang tertulis. Bagi saya kepastian hukum
hanyalah bersifat relatif ketika kepastian yang dicari tersebut dalam sebuah
hukum yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Diterimanya praperadilan Komjen
Budi Gunawan belakangan menimbulkan sebuah tanda tanya besar terkait kepastian
hukum. Status tersangka yang menjadi salah satu dari permohonan praperadilan
tersebut memang jauh panggang dari api jika merujuk pada praperadilan yang diatur dalam ketentuan pasal 77
KUHAP yang berbunyi “sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”.
Permohonan praperadilan Komjen
Budi Gunawan memang sudah diputus dimana untuk permohonan status tersangka yang
ditetapkan oleh KPK tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum. Terlepas
dari kontroversi atau tidaknya putusan hakim tersebut saya pikir “mungkin” si
hakim hanya menerapkan Pasal 5 (1) UU 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman
yang menyatakan “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat”.
Kejadian seperti ini dalam dunia
hukum Indonesia saya pikir bukan lah hal yang aneh. Dahulu hal serupa juga
pernah dialami oleh Muchtar Pakpahan yang merupakan Ketua Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (SBSI) yang didakwa dengan delik penghasutan. Ketika
Putusan bebas murni pada tingkat kasasi dikeluarkan oleh MA (putusan MA
No 395K/Pid/ 1995 tanggal 29 Desember 1995), langkah Peninjauan kembali
pun ditempuh oleh Kepala Kejaksaan Negeri Medan Havid Abdul Latif ke
Mahkamah Agung.Upaya hukum tersebut pun berbuah hasil yang menggembirakan bagi
Penuntut Umum. PK tersebut diterima oleh MA dan Muchtar Pakpahan pun harus
mendekam selama 4 tahun dipenjara.
Todung Mulya Lubis yang kala itu
sebagai kuasa hukum dari Muchtar Pakpahan mengatakan bahwa “putusan tersebut bukan saja aneh tapi jelas merupakan tragedi”.
Ucapan Todung tersebut bukannya tanpa alasan, mengingat secara yuridis upaya
hukum PK yang dilakukan oleh Penuntut Umum tersebut bertentangan dengan pasal
263 (1) KUHAP yang menyatakan “Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya
dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.
Pada konteks kekinian saya pun
tak heran jika kuasa hukum dua terpidana mati sindikat narkoba "Bali
Nine" Todung Mulya Lubis melakukan upaya hukum dengan menggugat keputusan
Presiden RI Joko Widodo terkait penolakan grasi kepada PTUN. Walaupun perihal
pemberian grasi tersebut merupakan hak preogratif dari Presiden, tetapi mungkin
saja Todung Mulya Lubis berharap akan kembali menemui “putusan yang aneh dan tragedi” akan
terulang.
“Tragedi” dalam dunia peradilan
memang sering terjadi, salah satu yang membuat saya optimis dengan gerakan
orang baik di negeri ini adalah terkait dengan putusan Hakim Marzuki ketika
menyidangkan kasus nenek Minah yang mencuri 3 buah kakau.
Hakim Marzuki memang memutus diluar tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelum mengeluarkan vonis, Ia terlebih
dahulu meminta maaf kepada nenek Minah sembari mengatakan "Saya tak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum,
jadi anda harus dihukum”, “Saya
mendenda anda Rp1 juta dan jika anda tidak mampu membayar, maka anda harus
masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa penuntut umum."
Tak lama kemudian hakim Marzuki
mencopot kopiah, membuka dompetnya kemudian mengambil dan memasukkan uang Rp1
juta ke dalam topi tersebut dan berkata kepada hadirin: "Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap
orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar Rp50 ribu sebab menetap di kota
ini tapi membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi
makan cucunya." "Saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam
topi saya ini, lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa,".
Apakah ini yang disebut judge made law??? Tetapi bukankah
Indonesia tidak menganut common law
system. Pada titik ini saya jadi teringat dengan asas res judicata pro veritate habetur
dimana putusan hakim haruslah dianggap benar sampai ada putusan
hakim yang lebih tinggi untuk membatalkannya. Jika kita berbicara hukum
dalam praktiknya memang terkadang menjadi timpang, berat sebelah, atau
bahkan jungkir balik daripada pasal-pasal yang ada dalam peraturan itu sendiri. Mungkin agak terkesan pragmatis tetapi begitulah adanya.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment