Wednesday, February 25, 2015

KEPASTIAN HUKUM : APAKAH BENAR ADA?


OLEH :
HENDRASYAH PUTRA


Belakangan ini mungkin orang-orang mempertanyakan tentang keberadaan kepastian hukum. Mungkin kepastian hukum tidak begitu rumit jika kita hanya berbicara kepastian hukum itu adalah kepastian peraturan yang tertulis. Bagi saya kepastian hukum hanyalah bersifat relatif ketika kepastian yang dicari tersebut dalam sebuah hukum yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Diterimanya praperadilan Komjen Budi Gunawan belakangan menimbulkan sebuah tanda tanya besar terkait kepastian hukum. Status tersangka yang menjadi salah satu dari permohonan praperadilan tersebut memang jauh panggang dari api jika merujuk pada praperadilan yang diatur dalam ketentuan pasal 77 KUHAP yang berbunyi  “sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”.

Permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan memang sudah diputus dimana untuk permohonan status tersangka yang ditetapkan oleh KPK tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum. Terlepas dari kontroversi atau tidaknya putusan hakim tersebut saya pikir “mungkin” si hakim hanya menerapkan Pasal 5 (1) UU 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman yang menyatakan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Kejadian seperti ini dalam dunia hukum Indonesia saya pikir bukan lah hal yang aneh. Dahulu hal serupa juga pernah dialami oleh Muchtar Pakpahan yang merupakan Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang didakwa dengan delik penghasutan. Ketika Putusan bebas murni pada tingkat kasasi dikeluarkan oleh MA (putusan MA No 395K/Pid/ 1995 tanggal 29 Desember 1995), langkah Peninjauan kembali pun ditempuh oleh Kepala Kejaksaan Negeri Medan Havid Abdul Latif ke Mahkamah Agung.Upaya hukum tersebut pun berbuah hasil yang menggembirakan bagi Penuntut Umum. PK tersebut diterima oleh MA dan Muchtar Pakpahan pun harus mendekam selama 4 tahun dipenjara.
Todung Mulya Lubis yang kala itu sebagai kuasa hukum dari Muchtar Pakpahan mengatakan bahwa “putusan tersebut bukan saja aneh tapi jelas merupakan tragedi”. Ucapan Todung tersebut bukannya tanpa alasan, mengingat secara yuridis upaya hukum PK yang dilakukan oleh Penuntut Umum tersebut bertentangan dengan pasal 263 (1) KUHAP yang menyatakan “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.
Pada konteks kekinian saya pun tak heran jika kuasa hukum dua terpidana mati sindikat narkoba "Bali Nine" Todung Mulya Lubis melakukan upaya hukum dengan menggugat keputusan Presiden RI Joko Widodo terkait penolakan grasi kepada PTUN. Walaupun perihal pemberian grasi tersebut merupakan hak preogratif dari Presiden, tetapi mungkin saja Todung Mulya Lubis berharap akan kembali menemui “putusan yang aneh dan tragedi” akan terulang.
“Tragedi” dalam dunia peradilan memang sering terjadi, salah satu yang membuat saya optimis dengan gerakan orang baik di negeri ini adalah terkait dengan putusan Hakim Marzuki ketika menyidangkan kasus nenek Minah yang mencuri 3 buah kakau.
Hakim Marzuki memang memutus diluar tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelum mengeluarkan vonis, Ia terlebih dahulu meminta maaf kepada nenek Minah sembari mengatakan "Saya tak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi anda harus dihukum”, “Saya mendenda anda Rp1 juta dan jika anda tidak mampu membayar, maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa penuntut umum."
Tak lama kemudian hakim Marzuki mencopot kopiah, membuka dompetnya kemudian mengambil dan memasukkan uang Rp1 juta ke dalam topi tersebut dan berkata kepada hadirin: "Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar Rp50 ribu sebab menetap di kota ini tapi membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya." "Saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi saya ini, lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa,".
Apakah ini yang disebut judge made law??? Tetapi bukankah Indonesia tidak menganut common law system. Pada titik ini saya jadi teringat dengan asas res judicata pro veritate habetur  dimana putusan hakim haruslah dianggap benar sampai ada putusan hakim yang lebih tinggi untuk membatalkannya. Jika kita berbicara hukum  dalam praktiknya memang terkadang menjadi timpang, berat sebelah, atau bahkan jungkir balik daripada pasal-pasal yang ada dalam peraturan itu sendiri. Mungkin agak terkesan pragmatis tetapi begitulah adanya.


0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment