Thursday, February 5, 2015

“MISDEMEANORS” MASIH DIPANDANG SEBELAH MATA


Oleh:
HENDRASYAH PUTRA 


Sangat memprihatinkan dan memalukan bagi saya ketika melihat tuduhan-tuduhan terkait perbuatan tercela (skandal seks) yang pernah dilakukan oleh ketua KPK Abraham Samad. Ada yang mengatakan kepada saya bahwa jika hal tersebut benar, tetapi hal tersebut merupakan sebuah “masa lalu”. Saat ini posisi beliau adalah Pimpinan KPK yang telah “lulus proses seleksi” pimpinan KPK yang “katanya” begitu rumit dan sulit.
Di Indonesia perbuatan tercela mungkin masih dipandang sebelah mata dan sangat tabu untuk melengserkan seseorang dari jabatannya. Kondisi tersebut memang sangat berbanding terbalik dengan Amerika Serikat yang liberal dimana sejarah ketatanegaraan Amerika sendiri telah banyak mencatat pejabat negara yang mengundurkan diri dari jabatannya karena melakukan misdemeanors (perbuatan tercela).
Dalam pengamatan saya,  negara yang menganut paham liberal tersebut malah sangat menjaga yang namanya bibit, bebet dan bobot penyelenggara negaranya dimana dalam Konstitusinya pada Article. II. - The Executive Branch Section 4 – Disqualification, menyatakan bahwa “The President, Vice President and all civil Officers of the United States, shall be removed from Office on Impeachment for, and Conviction of, Treason, Bribery, or other high Crimes and Misdemeanors”.

Gubernur New Jersey James E. McGreevey, pada 12 Agustus 2004 mengumumkan pengunduran diri dan mengaku sebagai seorang gay yang memiliki hubungan khusus dengan pria lain. Ia bahkan malu dan dalam keterangan pers nya mengatakan bahwa "Kebenarannya adalah saya seorang gay Amerika”. “Sangat memalukan, saya memiliki hubungan khusus dengan pria lain yang melanggar janji perkawinan saya," "Ini adalah salah, bodoh, dan tidak termaafkan." (http://news.detik.com/read/2004/08/13/074008/)
Gubernur New York Eliot Spitzer menyatakan mengundurkan diri pada 12 Maret 2008 terkait dengan skandal seks yang menimpanya. Dalam sebuah keterangan pers ia mengatakan bahwa "Untuk urusan publik, saya bersikeras - saya sungguh percaya- bahwa semua orang, terlepas dari posisi atau kekuasaan mereka, harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Saya akan menuntut hal yang sama pada diri saya. Karena alasan ini, saya mengundurkan diri dari jabatan gubernur." (http://news.liputan6.com/read/731212/)
McGreevey dan Spitzer memang tidak dimakzulkan dari jabatannya, karena sebelum di proses untuk permakzulan mereka lebih memilih untuk mengundurkan diri sebagai pejabat negara. Saya pikir ini adalah tindakan yang kesatria dan sangat terhormat. Mungkin di Amerika Serikat budaya rasa malu memiliki nilai yang lebih dibanding prosedur berhukum.
Untuk Indonesia, sepengetahuan saya perbuatan tercela hanya menjadi batu sandungan bagi Presiden dan Wakil Presiden saja sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 7A yaang menyatakan bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Dahulu larangan melakukan perbuatan tercela juga pernah diatur dalam  UU 32 Tahun 2004 tentang  Pemerintah Daerah dimana hal tersebut menjadi salah satu syarat calon Kepala daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 58 huruf L, namun sayangnya pengaturan tersebut kemudian dihapuskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008.
Lebih lanjut pengaturan perbuatan tercela itu sendiri juga tidak dijelaskan secara gamblang dan malah bisa menimbulkan perdebatan yang membosankan diantara pakar-pakar hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) huruf d UU 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa “perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat “merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Bagi saya penjelasan perbuatan tercela lebih jelas pada Pasal 58 huruf L UU 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “tidak pernah melakukan perbuatan tercela” dalam ketentuan ini adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina”.
Pada titik ini sebenarnya saya sangat kecewa dimana Indonesia yang “konon katanya” sangat menjunjung tinggi adat-istiadat itu sendiri dalam praktik berhukumnya malah meninggalkan hal tersebut. Dalam sebuah fakta yang kerap kali muncul terkait perbuatan tercela (skandal seks) yang menimpa pejabat negara hal tersebut hanya berujung pada pembentukan komite etik atau bahkan hanya didiamkan dan diselesaikan secara kekeluargaan dan bahkan parahnya adalah penghapusan Pasal 58 huruf L UU 32 Tahun 2004.
Walau berasal dari negara liberalis, kapitalis serta suka ikut campur urusan dalam negeri negara lain, Pakar hukum Lawrence M. Friedman dalam bukunya American Law, an Introduction, second Edition, menjelaskan dengan gamblang bahwa (kejahatan berat) disebut felony dan kejahatan ringan disebut misdeminor. Walaupun menurut Friedman, batasan yang tepat diantara keduanya merupakan masalah definisi hukum. Disamping itu dikenal tindak pidana ringan yang disebut infraction, seperti pelanggaran tilang parkir dan lain-lain.
Saya kira kini kita tak perlu berdebat panjang untuk mengatakan bahwa Indonesia adalah negara timur yang menjunjung tinggi ada istiadat. Kasus-kasus perbuatan tercela (skandal seks) yang menimpa pejabat negara kiranya menguatkan bahwa negara ini memang memandang sebelah mata perbuatan tercela. Hidup Liberalisme!!!

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment