Oleh:
HENDRASYAH
PUTRA
Sangat memprihatinkan dan memalukan bagi saya ketika
melihat tuduhan-tuduhan terkait perbuatan tercela (skandal seks) yang pernah
dilakukan oleh ketua KPK Abraham Samad. Ada yang mengatakan kepada saya bahwa jika
hal tersebut benar, tetapi hal tersebut merupakan sebuah “masa lalu”. Saat ini
posisi beliau adalah Pimpinan KPK yang telah “lulus proses seleksi” pimpinan
KPK yang “katanya” begitu rumit dan sulit.
Di Indonesia perbuatan tercela mungkin masih
dipandang sebelah mata dan sangat tabu untuk melengserkan seseorang dari
jabatannya. Kondisi tersebut memang sangat berbanding terbalik dengan Amerika
Serikat yang liberal dimana sejarah ketatanegaraan Amerika sendiri telah banyak
mencatat pejabat negara yang mengundurkan diri dari jabatannya karena melakukan misdemeanors (perbuatan tercela).
Dalam pengamatan saya, negara yang menganut paham liberal tersebut
malah sangat menjaga yang namanya bibit, bebet dan bobot penyelenggara
negaranya dimana dalam Konstitusinya pada Article.
II. - The Executive Branch Section 4 – Disqualification, menyatakan bahwa “The President, Vice President and all
civil Officers of the United States, shall be removed from Office on
Impeachment for, and Conviction of, Treason, Bribery, or other high Crimes and Misdemeanors”.
Gubernur New Jersey James E. McGreevey, pada 12
Agustus 2004 mengumumkan pengunduran diri dan mengaku sebagai seorang gay yang
memiliki hubungan khusus dengan pria lain. Ia bahkan malu dan dalam keterangan
pers nya mengatakan bahwa "Kebenarannya
adalah saya seorang gay Amerika”. “Sangat memalukan, saya memiliki hubungan
khusus dengan pria lain yang melanggar janji perkawinan saya," "Ini
adalah salah, bodoh, dan tidak termaafkan." (http://news.detik.com/read/2004/08/13/074008/)
Gubernur New York Eliot Spitzer menyatakan
mengundurkan diri pada 12 Maret 2008 terkait dengan skandal seks yang
menimpanya. Dalam sebuah keterangan pers ia mengatakan bahwa "Untuk urusan publik, saya bersikeras -
saya sungguh percaya- bahwa semua orang, terlepas dari posisi atau kekuasaan
mereka, harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Saya akan menuntut hal
yang sama pada diri saya. Karena alasan ini, saya mengundurkan diri dari
jabatan gubernur." (http://news.liputan6.com/read/731212/)
McGreevey dan Spitzer memang tidak dimakzulkan dari
jabatannya, karena sebelum di proses untuk permakzulan mereka lebih memilih
untuk mengundurkan diri sebagai pejabat negara. Saya pikir ini adalah tindakan
yang kesatria dan sangat terhormat. Mungkin di Amerika Serikat budaya rasa malu
memiliki nilai yang lebih dibanding prosedur berhukum.
Untuk Indonesia, sepengetahuan saya perbuatan
tercela hanya menjadi batu sandungan bagi Presiden dan Wakil Presiden saja sebagaimana dalam UUD
1945 Pasal 7A yaang menyatakan bahwa “Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas
usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden”.
Dahulu larangan melakukan perbuatan tercela juga
pernah diatur dalam UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dimana hal tersebut menjadi
salah satu syarat calon Kepala daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 58 huruf L, namun sayangnya pengaturan
tersebut kemudian dihapuskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008.
Lebih lanjut pengaturan perbuatan tercela itu
sendiri juga tidak dijelaskan secara gamblang dan malah bisa menimbulkan
perdebatan yang membosankan diantara pakar-pakar hukum sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 10 Ayat (3) huruf d UU 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan
bahwa “perbuatan tercela adalah perbuatan
yang dapat “merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Bagi saya penjelasan perbuatan tercela lebih jelas
pada Pasal 58 huruf L UU 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “tidak pernah
melakukan perbuatan tercela” dalam ketentuan ini adalah tidak pernah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma
adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina”.
Pada titik ini sebenarnya saya sangat kecewa dimana
Indonesia yang “konon katanya” sangat menjunjung tinggi adat-istiadat itu
sendiri dalam praktik berhukumnya malah meninggalkan hal tersebut. Dalam sebuah
fakta yang kerap kali muncul terkait perbuatan tercela (skandal seks) yang
menimpa pejabat negara hal tersebut hanya berujung pada pembentukan komite etik
atau bahkan hanya didiamkan dan diselesaikan secara kekeluargaan dan bahkan
parahnya adalah penghapusan Pasal 58 huruf L UU 32 Tahun 2004.
Walau berasal dari negara liberalis, kapitalis serta
suka ikut campur urusan dalam negeri negara lain, Pakar hukum Lawrence M. Friedman
dalam bukunya American Law, an
Introduction, second Edition, menjelaskan dengan gamblang bahwa (kejahatan
berat) disebut felony dan kejahatan
ringan disebut misdeminor. Walaupun
menurut Friedman, batasan yang tepat diantara keduanya merupakan masalah
definisi hukum. Disamping itu dikenal tindak pidana ringan yang disebut infraction, seperti pelanggaran tilang parkir
dan lain-lain.
Saya kira kini kita tak perlu berdebat panjang untuk
mengatakan bahwa Indonesia adalah negara timur yang menjunjung tinggi ada
istiadat. Kasus-kasus perbuatan tercela (skandal seks) yang menimpa pejabat
negara kiranya menguatkan bahwa negara ini memang memandang sebelah mata
perbuatan tercela. Hidup Liberalisme!!!
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment