Oleh:
Hendrasyah Putra
bermain ponsel di museum Sumber: Wikipedia.com |
Tak bisa
dipungkiri bahwa loncatan teknologi informasi saat ini menyebabkan hampir
setiap orang diperkotaan mapun dipedesaan memiliki akses internet. Fenomena ini
juga didukung oleh kondisi pasar yang dibanjiri telepon seluler (ponsel)
dengan harga yang cukup terjangkau. Dunia pun kini berubah dari tatap muka
kepada menatap layar ponsel, karena saat ini pertemuan dan pembicaraan cukuplah
dengan medsos (media sosial) saja. hemat, praktis, cepat dan tak perlu
menggunkan pakaian formal.
Medsos memang
menjadi trend. tak punya medsos tak kekinian dan tak gaul atau lebih parahnya
lagi tak bisa eksis.
Generasi
menunduk, sepertinya istilah ini cocok untuk menggambarkan generasi sekarang
dimana orang-orang berkumpul bukan untuk bermain, bercengkrama dan
beramah-tamah, tetapi berkumpul dan menunduk bersama sembari menatap layar
ponselnya masing-masing tanpa memperdulikan lingkungan sekitar. Ada yang
mengatakan ini merupakan salah satu ciri dari syndrom nomophobia.
Nomophobia is a proposed name for the phobia (intense, irrational fear) of being out
of mobile phone contact (wikipedia).
|
Medsos:
Sebuah jalan pintas
Medsos sumber:blogherald.com |
Saya pikir kita
harus sepakat bahwa melalui medsos arus informasi atau jual beli dan bahkan dakwah secara tanpa
tatap muka menjadi begitu mudah untuk dilakukan, apalagi ditengah kondisi
masyarakat yang memiliki minat baca yang rendah.
Mengutip dari
situs www.kompas.com pada artikel minat baca orang Indonesia ada di
urutan ke 60 dunia, dikatakan bahwa “Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang
cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the
World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret
2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal
minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas
Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung
membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa”. Selain itu dalam
situs www.gobekasi.pojoksatu.id dalam artikel yang berjudul survei
UNESCO: minat baca masyarakat Indonesia 0,001 persen disampaikan bahwa “Berdasarkan
survei UNESCO minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya, dalam
seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca”.
Rendahnya minat
baca tersebut agaknya berbanding lurus dengan trend penggunaan jasa media
sosial sebagaimana saya kutip dari situs www.viva.co.id pada artikel
Survei: Transaksi Online Makin Marak di Indonesia, disampaikan bahwa “jika
pengguna internet di Indonesia kebanyakan berusia 18-25 tahun, yang jumlahnya
mencapai 49 persen. Mereka disebut APJII sebagai generasi millenial atau digital
natives, yakni mereka yang lahir setelah tahun 1980”. Lebih lanjut dalam
artikel tersebut disampaikan bahwa “media sosial masih menjadi favorit di
Indonesia. Sekitar 87 persen pengguna internet memilih aplikasi atau konten
jejaring sosial di ponselnya. Aplikasi lainnya adalah mesin pencarian
(searching) dengan 68,7 persen. Instant Messaging mencapai 59,9 persen,
aplikasi berita online sebanyak 59,7 persen, sedangkan aplikasi download atau
upload video mencapai 27,3 persen dari total pengguna internet” (disampaikan
pada konfrensi pers 26 maret 2015).
Saya pikir kita
tidak bisa memungkiri fakta rendahnya minat baca ini memicu orang untuk mencari
“jalan pintas” dan tinggal bertanya sama “mbah google” atau yang lebih parahnya
lagi adalah hanya men-share pemberitaan atau “meme” dari akun medsos yang tanpa
diperiksa terlebih dahulu kebenaran dan sumbernya.
Melihat fakta
ini kiranya selaras dengan apa yang pernah Sarlito Wirawan Sarwono sampaikan tentang
jalan pintas mental, beliau mengatakan bahwa “dalam proses kognisi manusia
seringkali menggunakan jalan pintas mental (heuristics) untuk sampai pada
kesimpulan atau artibusi. Jalan pintas itu digunakan untuk mempercepat proses
dan menghemat energi. Dengan kata lain heuristics dalam mental digunakan demi
efesiensi. (Sarlito Wirawan Sarwono. 1999. Psikologi Sosial : Balai Pustaka).
Lebih lanjut, untuk
menguji jalan pintas mental tersebut saya coba mengutip pertanyaan sebagaimana
yang ada dalam buku tersebut, yakni “ada berapa angka 9 dari 0 sampai 100?” pertanyaan
ini saya coba tanyakan kepada teman dekat dan kerabat, dimana mereka menjawab
9, 10 atau 11. Jawaban tersebut tentunya 100% salah karena mereka tidak mau
menghitung dengan benar dan hanya menjawab secara spontan saja. Jadi, menurut
anda ada berapa angka 9?
Taktik
usang yang masih jitu
Adolf Hitler sumber: express.co.uk |
Tentu kita tidak
asing dengan apa yang pernah Adolf Hitler sampaikan tentang "Kebohongan yang
berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran". Propaganda dan tentunya
untuk membentuk opini publik sesuai kehendak si pemilik modal ‘ups’ maaf,
mungkin lebih tepatnya si pemilik kepentingan.
Kini media cetak
pun sadar bahwa pentingnya penggunaan medsos untuk menyebar dan menjual berita dibanding
mengeluarkan uang banyak untuk biaya percetakan. Ditengah kondisi minat baca
orang Indonesia yang rendah dan
kebutuhan agar perusahaan media cetaknya terus bertahan maka perusahaan media
harus mengubah cara bertahan hidupnya sehingga pilihan untuk membuat media
online dan menggunkan medsos menjadi sangat rasional saat ini. Dalam pada itu,
maka “mangsa” yang paling potensial adalah si digital natives itu.
Digital natives, walau
saya sendiri lebih senang menyebut mereka ini sebagai “alayers” yang menurut
saya belakangan ini membuat “seolah” keadaan Indonesia menjadi begitu tegang dan
mencekam, walau sebenarnya kondisi Indonesia tidaklah begitu tegang dan
mencekam sebagaimana yang dideskripsikan “alayers” di medsos.
Epilog: Mencari
kebenaran (fana) dalam media
eksekusi mati Saddam Husein sumber:trcs.wikispaces.com |
Saya jadi
terigat dengan kata-kata “objektifitas yang subjektif” dalam buku Syukur Tiada
Akhir:Jejak Langkah Jakob Oetama. Menurut saya, hal tersebut terlalu naif dan
utopis untuk ada dan diterapkan dalam konteks dunia sekarang ini.
Bukan untuk
bermaksud merendahkan profesi jurnalis dan mengeneralisir seluruh jurnalis,
tetapi bagi saya ada sebuah “kondisi” yang saya pikir sangat kontekstual dimana
memang uang bukan segalannya, tetapi segala-galanya butuh uang.
Dalam pada itu
berikut saya kutip pernyataan John Swinton editor New York Times pada pertemuan
independent press 1953 :"Dalam sejarah dunia hingga saat ini, tidak ada
pers yang independent. Kalian tahu itu dan aku tahu itu. Tidak ada satupun dari
kalian yang berani menulis pendapat jujur kalian, dan jika kalian berani
melakukannya, sejak awal kalian tahu bahwa pendapat jujur kalian itu tidak akan
pernah dicetak. Aku dibayar setiap minggu untuk menyimpan pendapat jujurku agar
tidak pernah dimuat di surat kabar tempatku bekerja. Yang lain mendapatkn gaji
untuk hal yang sama, dan jika ada diantara kalian yang cukup bodoh untuk
menulis pendapat jujur, maka (kalian) akan berkeliaran dijalan utk mencari
pekerjaan lain". (Cheryl Jones. 2015. The House of Rotchschild &
Illuminate: Daras Books)
Apa yang
disampaikan Swinton ini mengingatkan saya akan memori perang Iraq 2 (2003),
lebih dari 5 media mainstream yang memberitakan bahwa Iraq punya senjata
pemusnah masal. Fakta yang menyedihkan bahwa senjata pemusnah masal itu tidak
ada, sebagaimana Blair dan Bush mengakui itu dikemudian hari dan menyalahkan “laporan
intelejen” yang keliru. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah dampak
“kebohongan senjata pemusnah masal” yang disebarluaskan oleh media mainstream tersebut
berhasil membentuk “opini publik” bahwa opsi invasi militer tersebut memang
benar dan hal tersebut harus dilakukan. Dan akhirnya, fitnah memang lebih kejam
daripada pembunuhan sebagaimana akhir Sadam Husein yang dieksekusi mati ditiang
gantungan.
Dalam pada itu,
melihat gejala yang timbul belakangan ini, kita memang harus sadari bahwa kolaborasi
rendahnya minat baca dan tingginya penggunaan medsos memang menjadikan generasi
bangsa “kekinian” ini akan sangat mudah menjadi mangsa para pembuat berita hoax
(pemilik kepentingan) dengan memanfaatkan kelemahan jalan pintas mental. Sempurna
sekali ya...
Tentang objektifitas yang subjektif:
Reportase yang faktual yang memisahkan fakta
dan opini ini berkembang sebagai reposrtase interprestasi, reportase yang
mendalam, yang investigatif dan yang komperhensif. Reportase yang bukan
sekedar fakta menurut urutan kejadian, bukan fakta scara linier, melainkan
fakta yang mencakup. Disertai latarbelakang, proses dan riwayatnya. Dicari interaksi
tali temalinya. Diberi interprestasi atas dasar interaksi fakta dan latar
belakang. Ditemukan variabel-variabelnya. Dengan cara itu berita bukan
sekedar berita tentang fakta. Berita sekaligus menyajikan interprestasi akan
arti makna dan peristiwa. Pencarian makna
berita serta penyajiannya itulah yang semakin menjadi pekerjaan rumah
dan tantangan media. Bukankah hal itu berarti tidak berlaku lagi suatu
jurnalisme yang objektif, melainkan jurnalisme yang subjektif. Prof. De
Volder, Ahli etika media dari Universitas Leuven, Belgia, sudah dalam tahun
1960-an menyebutnya sebagai objektifitas yang subjektif. (hal. 322)
Subjektifitas artinya secara serius, secara
jujur, secara benar, secara profesional mencoba mencari tahu secara
selengkap-lengkapnya, mengapa peristiwa itu terjadi dan apa arti dan
maknanya.cara kerja jurnalisme yang ber-objektifitas subjektif bukan saja
terikat dan wajib mematuhi kode etik perilaku dan kode etik wartawan, tetapi
juga hal-hal lain yang harus dimiliki wartawan secara individual, secara
kolegial, dan secara bersama dalam lembaga tempat mereka bekerja. (hal. 323)
(St. Sularto. 2011.Syukur tiada akhir: jejak
langkah Jakob Oetama:KOMPAS)
|
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment