Thursday, December 1, 2016

Medsos:jalan pintas menuju hoax


Oleh: Hendrasyah Putra

bermain ponsel di museum
Sumber: Wikipedia.com

Tak bisa dipungkiri bahwa loncatan teknologi informasi saat ini menyebabkan hampir setiap orang diperkotaan mapun dipedesaan memiliki akses internet. Fenomena ini juga didukung oleh kondisi pasar yang dibanjiri telepon seluler (ponsel) dengan harga yang cukup terjangkau. Dunia pun kini berubah dari tatap muka kepada menatap layar ponsel, karena saat ini pertemuan dan pembicaraan cukuplah dengan medsos (media sosial) saja. hemat, praktis, cepat dan tak perlu menggunkan pakaian formal.
Medsos memang menjadi trend. tak punya medsos tak kekinian dan tak gaul atau lebih parahnya lagi tak bisa eksis.
Generasi menunduk, sepertinya istilah ini cocok untuk menggambarkan generasi sekarang dimana orang-orang berkumpul bukan untuk bermain, bercengkrama dan beramah-tamah, tetapi berkumpul dan menunduk bersama sembari menatap layar ponselnya masing-masing tanpa memperdulikan lingkungan sekitar. Ada yang mengatakan ini merupakan salah satu ciri dari syndrom nomophobia.

Nomophobia is a proposed name for the phobia (intense, irrational fear) of being out of mobile phone contact (wikipedia).


Medsos: Sebuah jalan pintas

Medsos
sumber:blogherald.com
Saya pikir kita harus sepakat bahwa melalui medsos arus informasi atau jual beli dan bahkan dakwah secara tanpa tatap muka menjadi begitu mudah untuk dilakukan, apalagi ditengah kondisi masyarakat yang memiliki minat baca yang rendah.
Mengutip dari situs www.kompas.com pada artikel minat baca orang Indonesia ada di urutan ke 60 dunia, dikatakan bahwa “Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa”. Selain itu dalam situs www.gobekasi.pojoksatu.id dalam artikel yang berjudul survei UNESCO: minat baca masyarakat Indonesia 0,001 persen disampaikan bahwa “Berdasarkan survei UNESCO minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya, dalam seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca”.
Rendahnya minat baca tersebut agaknya berbanding lurus dengan trend penggunaan jasa media sosial sebagaimana saya kutip dari situs www.viva.co.id pada artikel Survei: Transaksi Online Makin Marak di Indonesia, disampaikan bahwa “jika pengguna internet di Indonesia kebanyakan berusia 18-25 tahun, yang jumlahnya mencapai 49 persen. Mereka disebut APJII sebagai generasi millenial atau digital natives, yakni mereka yang lahir setelah tahun 1980”. Lebih lanjut dalam artikel tersebut disampaikan bahwa “media sosial masih menjadi favorit di Indonesia. Sekitar 87 persen pengguna internet memilih aplikasi atau konten jejaring sosial di ponselnya. Aplikasi lainnya adalah mesin pencarian (searching) dengan 68,7 persen. Instant Messaging mencapai 59,9 persen, aplikasi berita online sebanyak 59,7 persen, sedangkan aplikasi download atau upload video mencapai 27,3 persen dari total pengguna internet” (disampaikan pada konfrensi pers 26 maret 2015).
Saya pikir kita tidak bisa memungkiri fakta rendahnya minat baca ini memicu orang untuk mencari “jalan pintas” dan tinggal bertanya sama “mbah google” atau yang lebih parahnya lagi adalah hanya men-share pemberitaan atau “meme” dari akun medsos yang tanpa diperiksa terlebih dahulu kebenaran dan sumbernya.
Melihat fakta ini kiranya selaras dengan apa yang pernah Sarlito Wirawan Sarwono sampaikan tentang jalan pintas mental, beliau mengatakan bahwa “dalam proses kognisi manusia seringkali menggunakan jalan pintas mental (heuristics) untuk sampai pada kesimpulan atau artibusi. Jalan pintas itu digunakan untuk mempercepat proses dan menghemat energi. Dengan kata lain heuristics dalam mental digunakan demi efesiensi. (Sarlito Wirawan Sarwono. 1999. Psikologi Sosial : Balai Pustaka).
Lebih lanjut, untuk menguji jalan pintas mental tersebut saya coba mengutip pertanyaan sebagaimana yang ada dalam buku tersebut, yakni “ada berapa angka 9 dari 0 sampai 100?” pertanyaan ini saya coba tanyakan kepada teman dekat dan kerabat, dimana mereka menjawab 9, 10 atau 11. Jawaban tersebut tentunya 100% salah karena mereka tidak mau menghitung dengan benar dan hanya menjawab secara spontan saja. Jadi, menurut anda ada berapa angka 9?

Taktik usang yang masih jitu
Adolf Hitler
sumber: express.co.uk

Tentu kita tidak asing dengan apa yang pernah Adolf Hitler sampaikan tentang "Kebohongan yang berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran". Propaganda dan tentunya untuk membentuk opini publik sesuai kehendak si pemilik modal ‘ups’ maaf, mungkin lebih tepatnya si pemilik kepentingan.
Kini media cetak pun sadar bahwa pentingnya penggunaan medsos untuk menyebar dan menjual berita dibanding mengeluarkan uang banyak untuk biaya percetakan. Ditengah kondisi minat baca orang Indonesia yang  rendah dan kebutuhan agar perusahaan media cetaknya terus bertahan maka perusahaan media harus mengubah cara bertahan hidupnya sehingga pilihan untuk membuat media online dan menggunkan medsos menjadi sangat rasional saat ini. Dalam pada itu, maka “mangsa” yang paling potensial adalah si digital natives itu.
Digital natives, walau saya sendiri lebih senang menyebut mereka ini sebagai “alayers” yang menurut saya belakangan ini membuat “seolah” keadaan Indonesia menjadi begitu tegang dan mencekam, walau sebenarnya kondisi Indonesia tidaklah begitu tegang dan mencekam sebagaimana yang dideskripsikan “alayers” di medsos.

Epilog: Mencari kebenaran (fana) dalam media
eksekusi mati Saddam Husein
sumber:trcs.wikispaces.com

Saya jadi terigat dengan kata-kata “objektifitas yang subjektif” dalam buku Syukur Tiada Akhir:Jejak Langkah Jakob Oetama. Menurut saya, hal tersebut terlalu naif dan utopis untuk ada dan diterapkan dalam konteks dunia sekarang ini.
Bukan untuk bermaksud merendahkan profesi jurnalis dan mengeneralisir seluruh jurnalis, tetapi bagi saya ada sebuah “kondisi” yang saya pikir sangat kontekstual dimana memang uang bukan segalannya, tetapi segala-galanya butuh uang.
Dalam pada itu berikut saya kutip pernyataan John Swinton editor New York Times pada pertemuan independent press 1953 :"Dalam sejarah dunia hingga saat ini, tidak ada pers yang independent. Kalian tahu itu dan aku tahu itu. Tidak ada satupun dari kalian yang berani menulis pendapat jujur kalian, dan jika kalian berani melakukannya, sejak awal kalian tahu bahwa pendapat jujur kalian itu tidak akan pernah dicetak. Aku dibayar setiap minggu untuk menyimpan pendapat jujurku agar tidak pernah dimuat di surat kabar tempatku bekerja. Yang lain mendapatkn gaji untuk hal yang sama, dan jika ada diantara kalian yang cukup bodoh untuk menulis pendapat jujur, maka (kalian) akan berkeliaran dijalan utk mencari pekerjaan lain". (Cheryl Jones. 2015. The House of Rotchschild & Illuminate: Daras Books)
Apa yang disampaikan Swinton ini mengingatkan saya akan memori perang Iraq 2 (2003), lebih dari 5 media mainstream yang memberitakan bahwa Iraq punya senjata pemusnah masal. Fakta yang menyedihkan bahwa senjata pemusnah masal itu tidak ada, sebagaimana Blair dan Bush mengakui itu dikemudian hari dan menyalahkan “laporan intelejen” yang keliru. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah dampak “kebohongan senjata pemusnah masal” yang disebarluaskan oleh media mainstream tersebut berhasil membentuk “opini publik” bahwa opsi invasi militer tersebut memang benar dan hal tersebut harus dilakukan. Dan akhirnya, fitnah memang lebih kejam daripada pembunuhan sebagaimana akhir Sadam Husein yang dieksekusi mati ditiang gantungan.
Dalam pada itu, melihat gejala yang timbul belakangan ini, kita memang harus sadari bahwa kolaborasi rendahnya minat baca dan tingginya penggunaan medsos memang menjadikan generasi bangsa “kekinian” ini akan sangat mudah menjadi mangsa para pembuat berita hoax (pemilik kepentingan) dengan memanfaatkan kelemahan jalan pintas mental. Sempurna sekali ya...

Tentang objektifitas yang subjektif:
Reportase yang faktual yang memisahkan fakta dan opini ini berkembang sebagai reposrtase interprestasi, reportase yang mendalam, yang investigatif dan yang komperhensif. Reportase yang bukan sekedar fakta menurut urutan kejadian, bukan fakta scara linier, melainkan fakta yang mencakup. Disertai latarbelakang, proses dan riwayatnya. Dicari interaksi tali temalinya. Diberi interprestasi atas dasar interaksi fakta dan latar belakang. Ditemukan variabel-variabelnya. Dengan cara itu berita bukan sekedar berita tentang fakta. Berita sekaligus menyajikan interprestasi akan arti makna dan peristiwa. Pencarian makna  berita serta penyajiannya itulah yang semakin menjadi pekerjaan rumah dan tantangan media. Bukankah hal itu berarti tidak berlaku lagi suatu jurnalisme yang objektif, melainkan jurnalisme yang subjektif. Prof. De Volder, Ahli etika media dari Universitas Leuven, Belgia, sudah dalam tahun 1960-an menyebutnya sebagai objektifitas yang subjektif. (hal. 322)
Subjektifitas artinya secara serius, secara jujur, secara benar, secara profesional mencoba mencari tahu secara selengkap-lengkapnya, mengapa peristiwa itu terjadi dan apa arti dan maknanya.cara kerja jurnalisme yang ber-objektifitas subjektif bukan saja terikat dan wajib mematuhi kode etik perilaku dan kode etik wartawan, tetapi juga hal-hal lain yang harus dimiliki wartawan secara individual, secara kolegial, dan secara bersama dalam lembaga tempat mereka bekerja. (hal. 323)
(St. Sularto. 2011.Syukur tiada akhir: jejak langkah Jakob Oetama:KOMPAS)

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment