Gambar: www.republika.co.id |
Oleh: Hendrasyah Putra
Belakangan dunia persepakbolaan nasional kembali menunjukan
gairahnya. Adalah kesuksesan tim nasional U-19 Indonesia yang bisa mengakhiri
puasa gelar. Selain mengakhiri puasa gelar, tim nasional u-19 Indonesia juga
menampilkan permainan yang menarik dan enak untuk di tonton.
Orientasi hasil dan bermain cantik pun menjadi sebuah
kolaborasi nan indah di kala dahaga permainan yang indah dan hasil yang baik
tak kunjung didapat oleh Tim Nasional Senior.
Adalah Indra Sjafri, seorang pelatih yg bagi saya pribadi
tidak begitu terkenal tapi bisa menunjukan bahwa dengan “pengoperasian” sistem
persepakbolaan yang baik maka akan menghasilkan sepak bola yang baik, yang
indah dan tentunya dapat menghadirkan gelar juara.
Dalam sebuah acara talk show Hitam-Putih di salah satu stasiun televisi Swasta, Ia
bercerita bahwa betapa kecewa dirinya dikala dahulu ketika beliau masih diusia
produktif sebagai pemain sepak bola tapi tidak bisa berkembang dan juga tak berkesempatan
berpartisipasi mengisi skuad tim nasional senior. Ia juga mengeluhkan bahwa
sesungguhnya talenta-talenta terbaik anak bangsa ini begitu banyak, tapi
sayangnya tidak bisa berkembang dan mati akibat buruknya “pengoperasian” sistem
persepakbolaan Indonesia kala itu.
Ia juga sempat bercerita bahwa dahulu kala untuk masuk
sebagai pemain tim nasional ternyata skill dan integritas saja tidak cukup,
tetapi juga dengan uang dan kedekatan. Selain itu ia juga sempat mengungkap
bahwa dahulu tim nasional selalu diisi orang-orang dari JABODETABEK.
Jika memang benar apa yang dikatakan oleh Indra Sjafri, maka
bagi saya buruknya prestasi sepak bola Indonesia adalah hal yang pantas didapat
dari sebuah proses yang tidak baik seperti itu.
Beranjak dari “curhatan” Indra Sjafri pada acara talk show
itu, dengan melihat lebih dekat dalam konteks Indonesia yang kekinian kiranya
pengalaman buruk Indra Sjafri tersebut juga berlaku pada saat sekarang ini.
Buruknya pengelolaan
anggaran negara, pelayanan publik, penegakan hukum dan pelaksanaan pesta
demokrasi tentunya menjadi tanda tanya besar bagi Indonesia yang memiliki
jumlah penduduk yang cukup besar.
Dalam pemikiran saya, adalah sangat aneh negara kita yang
memiliki jumlah penduduk sekitar 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta) orang
ini tidak bisa menelurkan manusia-manusia yang memiliki integritas?
Apakah dari semua 250.000.000 penduduk Indonesia tidak
memiliki kualitas ataukah ada yang salah dalam “pengoperasian” sistem
perekrutan abdi/penyelenggara negara??
Pada titik ini saya jadi teringat kepada Seorang teman yang
juga merupakan senior saya di LPS-AIR. Adalah hal yang menarik bagi saya ketika
melihat status dalam akun sosial teman saya ini yang berkeluh kesah dan mengungkapkan
seperti sebagai berikut:
“Terbukti kita memang sedang
belajar demokrasi. Sebab demokrasi mensyaratkan otonomi dan inisiatif. Kita
masih lebih suka dipaksa. secara politik, secara ekonomis. Buktinya sejak
pake voucher, orang di rumah terpaksa hemat listrik semue. Heheh...sayagnya tak
berbanding lurus ama pelayanan. Memang kita baru jago jadi orang
"tukang maksa" dan orang yg "terpaksa". Kita belum menjadi
bangsa yg tidak hanya memiliki 2 pilihan itu. Karena diluar sana, ada kekuatan
lain yg justru 'memaksa' kita, hanya memiliki 2 pilihan itu”.
Saya memang
sengaja menggaris bahawi beberapa kalimat diatas, karena bagi saya hal tersebut
begitu menggoda pemikiran saya. Kata-kata pemaksaan bagi saya kiranya hal
tersebut adalah sebuah potret dari pragmatisme kelompok tertentu yang berkuasa
dalam “pengoperasian” sistem yang ada.
Dalam
praktiknya, pemaksaan yang berujung pragmatisme itu juga sesungguhnya potret
dari sebuah neo imperialisme seperti apa yang dahulu pernah diungkapkan oleh
Presiden Soekarno.
Dalam pada
itu, saya sendiri tidak akan meributkan sistem buatan manusia yang tentunya
jauh dari kata sempurna. Bagi saya, apapun sistemnya, maka manusia itu
sendirilah yang menentukan baik atau buruk dari pengoperasian sistem tersebut.
Fakta tentang
buruknya pengelolaan anggaran negara, pelayanan publik,
penegakan hukum dan pelaksanaan pesta demokrasi adalah bukti dimana kita masih
begitu pragmatis dalam menjalani kehidupan bernegara.
Kita tidak lagi memikirkan baiknya negara dan sesama, tetapi
kita lebih memilih untuk memberikan pekerjaan kepada teman, saudara, keluarga atau
kelompok untuk mengurusi negara ini dikarenakan hanya karena mereka tidak
memiliki pekerjaan ataupun hanya untuk memuaskan hasrat ingin berkuasa.
Isu-isu tentang pengaturan pemenang pengadaan barang dan jasa
milik pemerintah, atau tentang pengaturan seleksi CPNS dan Komisioner menjadi
begitu hangat. Tapi seperti kita ketahui bersama, apakah pengaturan tersebut
memang ada? Ataukah hanya menjadi sebuah hal yang sulit untuk dibuktikan,
mengingat isu-isu yang beredar tentang pengaturan tersebut hanya pada kalangan
tertentu (warung kopi) sehingga hal tersebut menjadi sulit untuk
dipertanggungjawabkan.
Dalam pada itu, tentunya kita sudah tidak asing dengan cerita
tersebut, karena mungkin saja kita ikut terlibat dalam hal tersebut dan diam
tentunya adalah jalan terbaik daripada membongkar buruknya pengoperasian negara
ini.
Dengan
berperilaku seperti itu setidaknya kita sama-sama membunuh talenta-talenta
terbaik negara ini dan mendorong orang-orang yang tidak berkompeten untuk
mengurusi negara ini. Selain itu tak lupa kita juga bersama-sama tentunya mendapatkan
jackpot dengan bertambahnya hutang-hutang negara ini yang konon telah mencapai
angka Rp. 2.000 Triliun.
Dalam konteks
ini, akan menjadi pertanyaan bahwa apakah kita memang sedang belajar
demokrasi?? Ataukah kita lebih senang menggunakan frase “sedang belajar
demokrasi” sebagai lipstik yang mengaburkan fakta bahwa kita ini sedang
berpraktik pragmatisme?? Saya pikir hal tersebut tak usah dijawab, cukup
direnungkan saja.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment