Gambar: http://craigpearce.info
|
Oleh: Hendrasyah Putra
Sekitar pertengahan tahun 2008, saya jadi teringat
ketika dalam perjalanan dari Jakarta menuju
Pontianak. Dalam perjalanan menggunakan pesawat udara itu saya
menyepatkan diri untuk membaca sebuah media cetak nasional ternama yang memang
disediakan untuk penumpang.
Dalam kondisi agak sedikit mengantuk dan kelelahan
kedua bola mata saya tertuju pada sebuah artikel yang berjudul “Lobi Yang
Bertanggung Jawab”.
Sayapun kemudian membaca keseluruhan artikel
tersebut untuk mengetahui substansi yang ingin disampaikan penulisnya. Ketika
selesai membaca artikel tersebut, memang substansi yang yang ingin disampaikan
oleh sipenulis tak jauh dari judul yang sebenarnya sangat mudah untuk kita
pahami bersama.
Unsur-unsur kebaikan dan tanggungjawab adalah hal
yang diusung dalam tulisan tersebut, dan tentunya Ia juga ingin mengingatkan
kita bahwa lobi itu bukanlah suatu hal yang negatif, hal yang positif juga
tentunya butuh lobi. Mungkin kira-kira seperti itu substansi yang bisa saya
tangkap dalam artikel tersebut.
Hanya Sebuah Formalitas
Ketika belakangan sebuah akun twitter
TrioMacan2000 (TM2000) menjadi perbincangan didunia maya dan pemberitaan
dilayar kaca, sayapun penasaran ingin melihat tweet yang disampaikan akun
tersebut.
Melalui situs http://chirpstory.com,
saya dengan mudah untuk melihat rangkuman tweet-tweet dari pengguna tweeter
yang didokumentasikan oleh situs tersebut.
Iseng-iseng membaca tweet TM2000, saya malah
membaca sebuah kumpulan tweet yang berjudul "Kenangan Sewaktu Mencalonkan Diri
Sebagai Ketua KPK" by @Dedhi_Suharto .
Isi dari kumpulan tweet tersebut bagi saya tak
lebih dari curhatan seseorang yang pernah mengikuti seleksi Calon Pimpinan KPK
jilid III. Dalam kumpulan tweet tersebut, memang terungkap bahwa Si Pengguna
akun tersebut agak sedikit kecewa dengan seleksi tersebut.
Kata-kata “Memang hasil seleksinya
bagus. Tapi mbok ya gak usah pake nulis makalah 4 jam segala kalo sudah ada
orang2 yg ditarget lolos” saya kira cukup mengusik sebuah jargon integritas dan independen yang
selama ini cukup lekat dengan lembaga tersebut..
Setelah selesai membaca kumpulan tweet tersebut,
pikiran-pikiran tentang sebuah lobi untuk mendorong seseorang yang “dipercaya”
menduduki posisi tetentu begitu mengganggu pikiran saya.
Kecurigaan saya sebenarnya sudah ada tentang adanya
lobi-lobi terselubung untuk “orang-orang yang telah disiapkan tersebut”, bagi
saya jika kecuriagaan yang sulit untuk dibuktikan itu benar maka kiranya tak
jauh brebeda dengan aksi-aksi para calo CPNS yang berkeliaran untuk memasukan
orang-orang yang telah dipesan untuk lolos sebagai CPNS.
Dalam pada itu, saya sebenarnya tidak begitu heran
ketika sebuah komisi independen bentukan nengara menjadi melempem dan tak bertaji.
Tentunya adagium “tidak ada kebaikan yang dihasilkan dari
keburukan” sampai saat ini cukup sahih untuk
membuktikan realitas Indonesia dalam konteks kekinian..
Lobi Ataukah Persengkongkolan
Jahat?
Pada titik ini saya jadi teringat dengan sebuah
tulisan yang saya buat di Equator (kini Rakyat Kalbar) tahun lalu untuk
mengkritik kasus calo CPNS di Kota Singkawang dimana korbannya merasa di tipu
oleh calo tersebut.
Pada tulisan itu secara garis besar, saya
menyimpulkan bahwa korban calo CPNS itu tidak tepat dikatakan sebagai korban
penipuan. Pada kesempatan itu saya mengatakan bahwa para pihak yang mengaku
korban penipuan calo CPNS tersebut adalah pelaku utama bersama calon CPNS
tersebut dalam melakukan persengkongkolan jahat untuk meloloskan salah satu
pihak menjadi abdi negara dengan cara melawan hukum.
Dalam pada itu, ketika saya melihat sebuah
realitas terhadap pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mendudukan
sesorang yang dianggapnya terpercaya dan dapat bekerjasama dalam kebaikan didalam
sebuah lembaga independen bentukan negara (komisi), maka kiranya perbuatan
tersebut tak ada bedanya dengan perilaku beberapa warga Kota Singkawang dan
calon CPNS tersebut.
Nyata tapi sangat sulit untuk dibuktikan. Tetapi
inilah sebuah realita yang sangat begitu mudah ditangkap oleh kita dimana
jargon”lobi menentukan posisi” lebih realistis untuk menggambarkan fenomena
yang terjadi.
Bagaiaman dengan bahasa-bahasa integritas,
profesionalisme dan independen selalu menghiasi jargon yang diusung dalam
setiap pelaksanaan seleksi? Bagi saya hal terebut tak ubahnya hanya menjadi
“lipstik” yang menutupi kepura-puraan dan kemunafikan orang Indonesia.
Mungkin sekiranya meminjam dialektika Hegel, kiranya saya ingin menguji tesis tentang “lobi
yang bertanggung jawab” tersebut dengan sebuah antitesis “persengkokolan
jahat untuk menduduki sebuah posisi”.
Ironi Dibalik Topeng Perjuangan
Sebuah ironi ketika “dalang” dari
kasus persengkoklan jahat tersebut salah satu diantaranya juga berasal dari
kalangan yang mengaku aktifis yang selalu mengatasnamakan rakyat.
Sungguh sebuah pemandangan yang sangat
memprihatinkan. Saya secara pribadi hanya bisa mengelus dada dan mengucap istigfar
melihat fenomena seperti itu.
Saya betul-betul tak habis pikir, kenapa mereka menganggap
dan mengatakan dengan jalan “persengkokolan jahat (lobi)” seperti itu adalah
jalan terbaik untuk memperbaiki kecarut-marutan Indonesia.
Ketika kita berbicara sebuah perubahan untuk menuju
jalan kebaikan tetapi ditempuh dengan cara yang “haram”, maka bukankah hal
tersebut samahalnya dengan perilaku para mafioso yang menghalalkan segala cara
untuk terus memperkaya diri sendiri?
Bagi saya takkan ada rhido dari Allah. SWT ketika
sebuah kebaikan jika dimulai dengan cara yang haram seperti itu.
Hemat saya, ketika kita berfikiran untuk merubah
negara ini kearah yang lebih baik tentunya harus dimulai dengan niat dan
perbuatan yang baik pula. Bukankah membiarkan secara alami terjadinya kompetisi
secara fair diantara setiap para peserta yang mendaftar untuk menduduki posisi
tersebut adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.
Mengapa harus berkompetisi secara fair?? Hal itu
dikarenakan dengan cara berkompetisi secara fair akan tersaring orang-orang
yang memang memiliki kualitas dan integritas untuk duduk disebuah lemabaga
independen bentukan negara tersebut.
Bagi saya tak ada alasan pembenar perilaku curang
seperti itu. Alasan dimana dengan cara “lobi” seperti itu untuk mengcaunter
“kepentingan-kepentingan jahat” dari pihak tertentu adalah hal yang tidak bisa
dibenarkan. Tetapi jika beberapa pihak yang beranggapan hal tersebut merupakan
jalan satu-satunya untuk menegakan kebenaran, maka bagi saya pihak tersebut merupakan
termasuk kedalam golongan pihak yang jahat.
Hilangnya Rasa Malu
Entah harus berapakali dalam setiap tulisan saya
harus selalu menyindir secara kasar maupun halus perilaku orang Indonesia yang
sangat doyan dengan gaya jalan pintasnya itu.
Secara pribadi saya sendiri sudah sangat jenuh
dengan perilaku buruk seperti itu yang makin hari makin menjadi, seakan tak ada
malunya lagi untuk tampil dan berperilaku seperti itu.
Sebuah tontonan yang memukau dunia dan bukan
merupakan sebuah kisah dongeng diamana perilaku orang Jepang ketika menghadapi
bencana gempa, Tsunami serta bahaya dari reaktor Nuklir Fukushima. Perilaku
dimana saling tolong-menolong dan mengayomi menjadi sebuah penghias menutupi
keporak-porandaan kota.
Perilaku itu tentunya bukanlah sebuah hasil jadi
dimana perilaku saling telong menolong dan mengayomi tersebut muncul dan tumbuh
dengan secara spontan.
Bagi saya hal tersebut merupakan sebuah “Bukti bahwa
keberhasilan dimulai dengan niat baik dan tulus yang didasari oleh kejujuran
dan keikhlasan. Bukankah Tidak ada
kebaikan yang dihasilkan dari keburukan??
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment