Tuesday, April 30, 2013

Lobi Menentukan Posisi



Gambar: http://craigpearce.info


Oleh: Hendrasyah Putra


Sekitar pertengahan tahun 2008, saya jadi teringat ketika dalam perjalanan dari Jakarta menuju  Pontianak. Dalam perjalanan menggunakan pesawat udara itu saya menyepatkan diri untuk membaca sebuah media cetak nasional ternama yang memang disediakan untuk penumpang.
Dalam kondisi agak sedikit mengantuk dan kelelahan kedua bola mata saya tertuju pada sebuah artikel yang berjudul “Lobi Yang Bertanggung Jawab”.
Sayapun kemudian membaca keseluruhan artikel tersebut untuk mengetahui substansi yang ingin disampaikan penulisnya. Ketika selesai membaca artikel tersebut, memang substansi yang yang ingin disampaikan oleh sipenulis tak jauh dari judul yang sebenarnya sangat mudah untuk kita pahami bersama.
Unsur-unsur kebaikan dan tanggungjawab adalah hal yang diusung dalam tulisan tersebut, dan tentunya Ia juga ingin mengingatkan kita bahwa lobi itu bukanlah suatu hal yang negatif, hal yang positif juga tentunya butuh lobi. Mungkin kira-kira seperti itu substansi yang bisa saya tangkap dalam artikel tersebut.

Hanya Sebuah Formalitas
Ketika belakangan sebuah akun twitter TrioMacan2000 (TM2000) menjadi perbincangan didunia maya dan pemberitaan dilayar kaca, sayapun penasaran ingin melihat tweet yang disampaikan akun tersebut.
Melalui situs http://chirpstory.com, saya dengan mudah untuk melihat rangkuman tweet-tweet dari pengguna tweeter yang didokumentasikan oleh situs tersebut.
Iseng-iseng membaca tweet TM2000, saya malah membaca sebuah kumpulan tweet yang berjudul "Kenangan Sewaktu Mencalonkan Diri Sebagai Ketua KPK" by @Dedhi_Suharto .
Isi dari kumpulan tweet tersebut bagi saya tak lebih dari curhatan seseorang yang pernah mengikuti seleksi Calon Pimpinan KPK jilid III. Dalam kumpulan tweet tersebut, memang terungkap bahwa Si Pengguna akun tersebut agak sedikit kecewa dengan seleksi tersebut.
Kata-kata “Memang hasil seleksinya bagus. Tapi mbok ya gak usah pake nulis makalah 4 jam segala kalo sudah ada orang2 yg ditarget lolos” saya kira cukup mengusik sebuah jargon integritas dan independen yang selama ini cukup lekat dengan lembaga tersebut..

Setelah selesai membaca kumpulan tweet tersebut, pikiran-pikiran tentang sebuah lobi untuk mendorong seseorang yang “dipercaya” menduduki posisi tetentu begitu mengganggu pikiran saya.
Kecurigaan saya sebenarnya sudah ada tentang adanya lobi-lobi terselubung untuk “orang-orang yang telah disiapkan tersebut”, bagi saya jika kecuriagaan yang sulit untuk dibuktikan itu benar maka kiranya tak jauh brebeda dengan aksi-aksi para calo CPNS yang berkeliaran untuk memasukan orang-orang yang telah dipesan untuk lolos sebagai CPNS.
Dalam pada itu, saya sebenarnya tidak begitu heran ketika sebuah komisi independen bentukan nengara menjadi melempem dan tak bertaji. Tentunya adagium  tidak ada kebaikan yang dihasilkan dari keburukan” sampai saat ini cukup sahih untuk membuktikan realitas Indonesia dalam konteks kekinian..

Lobi Ataukah Persengkongkolan Jahat?
Pada titik ini saya jadi teringat dengan sebuah tulisan yang saya buat di Equator (kini Rakyat Kalbar) tahun lalu untuk mengkritik kasus calo CPNS di Kota Singkawang dimana korbannya merasa di tipu oleh calo tersebut.
Pada tulisan itu secara garis besar, saya menyimpulkan bahwa korban calo CPNS itu tidak tepat dikatakan sebagai korban penipuan. Pada kesempatan itu saya mengatakan bahwa para pihak yang mengaku korban penipuan calo CPNS tersebut adalah pelaku utama bersama calon CPNS tersebut dalam melakukan persengkongkolan jahat untuk meloloskan salah satu pihak menjadi abdi negara dengan cara melawan hukum.
Dalam pada itu, ketika saya melihat sebuah realitas terhadap pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mendudukan sesorang yang dianggapnya terpercaya dan dapat bekerjasama dalam kebaikan didalam sebuah lembaga independen bentukan negara (komisi), maka kiranya perbuatan tersebut tak ada bedanya dengan perilaku beberapa warga Kota Singkawang dan calon CPNS tersebut.


Nyata tapi sangat sulit untuk dibuktikan. Tetapi inilah sebuah realita yang sangat begitu mudah ditangkap oleh kita dimana jargon”lobi menentukan posisi” lebih realistis untuk menggambarkan fenomena yang terjadi.
Bagaiaman dengan bahasa-bahasa integritas, profesionalisme dan independen selalu menghiasi jargon yang diusung dalam setiap pelaksanaan seleksi? Bagi saya hal terebut tak ubahnya hanya menjadi “lipstik” yang menutupi kepura-puraan dan kemunafikan orang Indonesia.
Mungkin sekiranya meminjam dialektika Hegel, kiranya saya ingin menguji tesis tentang “lobi yang bertanggung jawab” tersebut dengan sebuah antitesis “persengkokolan jahat untuk menduduki sebuah posisi”.

Ironi Dibalik Topeng Perjuangan
Sebuah ironi ketika  “dalang” dari  kasus persengkoklan jahat tersebut salah satu diantaranya juga berasal dari kalangan yang mengaku aktifis yang selalu mengatasnamakan  rakyat.
Sungguh sebuah pemandangan yang sangat memprihatinkan. Saya secara pribadi hanya bisa mengelus dada dan mengucap istigfar melihat fenomena seperti itu.
Saya betul-betul tak habis pikir, kenapa mereka menganggap dan mengatakan dengan jalan “persengkokolan jahat (lobi)” seperti itu adalah jalan terbaik untuk memperbaiki kecarut-marutan Indonesia.
Ketika kita berbicara sebuah perubahan untuk menuju jalan kebaikan tetapi ditempuh dengan cara yang “haram”, maka bukankah hal tersebut samahalnya dengan perilaku para mafioso yang menghalalkan segala cara untuk terus memperkaya diri sendiri?
Bagi saya takkan ada rhido dari Allah. SWT ketika sebuah kebaikan jika dimulai dengan cara yang haram seperti itu.
Hemat saya, ketika kita berfikiran untuk merubah negara ini kearah yang lebih baik tentunya harus dimulai dengan niat dan perbuatan yang baik pula. Bukankah membiarkan secara alami terjadinya kompetisi secara fair diantara setiap para peserta yang mendaftar untuk menduduki posisi tersebut adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.
Mengapa harus berkompetisi secara fair?? Hal itu dikarenakan dengan cara berkompetisi secara fair akan tersaring orang-orang yang memang memiliki kualitas dan integritas untuk duduk disebuah lemabaga independen bentukan negara tersebut.
Bagi saya tak ada alasan pembenar perilaku curang seperti itu. Alasan dimana dengan cara “lobi” seperti itu untuk mengcaunter “kepentingan-kepentingan jahat” dari pihak tertentu adalah hal yang tidak bisa dibenarkan. Tetapi jika beberapa pihak yang beranggapan hal tersebut merupakan jalan satu-satunya untuk menegakan kebenaran, maka bagi saya pihak tersebut merupakan termasuk kedalam golongan pihak yang jahat.

Hilangnya Rasa Malu
Entah harus berapakali dalam setiap tulisan saya harus selalu menyindir secara kasar maupun halus perilaku orang Indonesia yang sangat doyan dengan gaya jalan pintasnya itu.
Secara pribadi saya sendiri sudah sangat jenuh dengan perilaku buruk seperti itu yang makin hari makin menjadi, seakan tak ada malunya lagi untuk tampil dan berperilaku seperti itu.
Sebuah tontonan yang memukau dunia dan bukan merupakan sebuah kisah dongeng diamana perilaku orang Jepang ketika menghadapi bencana gempa, Tsunami serta bahaya dari reaktor Nuklir Fukushima. Perilaku dimana saling tolong-menolong dan mengayomi menjadi sebuah penghias menutupi keporak-porandaan kota.
Perilaku itu tentunya bukanlah sebuah hasil jadi dimana perilaku saling telong menolong dan mengayomi tersebut muncul dan tumbuh dengan secara spontan.
Bagi saya hal tersebut merupakan sebuah “Bukti bahwa keberhasilan dimulai dengan niat baik dan tulus yang didasari oleh kejujuran dan keikhlasan. Bukankah  Tidak ada kebaikan yang dihasilkan dari keburukan??

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment