Wednesday, November 23, 2011

SERANGAN BALIK KORUPSI



Oleh: Hendrasyah Putra



Sudah lebih dari empat abad korupsi sudah dijadikan oleh penguasa-penguasa bangsa ini sebagai sandaran hidupnya. Dengan cara mengawinkan antara uang sebagai objek dan korupsi sebagai aktifitasnya menjadikan  kebiasaan ini menjadi suatu formulasi yang tepat dalam mengeruk keuntungan dengan cepat dan banyak.
Sejarah telah menunjukan bahwa, tak perduli sistem pemerintahan apa yang berkuasa, apakah komunis atau demokrasi kah yang berkuasa, tetap saja korupsi sebagai mesin penghancur suatu negara.
Sebagai contoh seperti yang terjadi di Thailand yang menggabungkan antara seks, kekuasaan dan uang dalam praktek pelacurannya dengan korupsi menjadi sandarannya. Beitu pula dengan Malaysia yang birokrasinya pernah dibelit prilaku korupsi yang akut. Undian di Malaysia memberi peluang kepada para pejabat yang korup untuk menjelaskan bagaimana cara mereka memperoleh uang.
Rezim Marcos dan Estrada di Philipina juga jatuh akibat korupsi, sekalipun setelah kejatuhan keduanya, kasus korupsinya tetap tidak terungkap seluruhnya. Jatuhnya Vietnam ketangan komunis dengan menewaskan sekitar 50.000 tentara Amerika Serikat juga tidak terlepas dari korupsi yang melanda orang-orang Vietnam yang dibantu oleh Washington.
Nampaknya bangsa Indonesia tak belajar dari sejarah yang telah dituliskan oleh bangsa-bangsa lain. VOC (Vereningde Oost Indische Compagnie) telah menjadi guru besar bangsa ini di bidang korupsi, yang sampai saat ini telah banyak mengahsilkan para ahli-ahli koruptor baru dengan modus operandi yang dikembangkan dengan sangat modern pula.
Sempat menjadi semangat nasional ketika diawal pemerintahan SBY untuk mempercepat proses kasus korupsi. Tetapi nampaknya korupsi hanya membiarkan saja gertakan sambal tersebut, karena mereka telah memersiapkan serngan balik yang begitu mematikan terhadap siapa saja yang mengahalangi jalan mereka.
Kini saatnya korupsi melakukan serangan balik. Dimulai dari diajukannnya Yudicial Review terhadap PP 110 Tahun 2000 yang merupakan penerjamahan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Permohonan itu sendiri diajukan oleh anggota DPRD Sumatera Barat yang bermasalah, dan serangan pertama ini sukses karena Mahkamah Agung mengabulkan permohonan mereka tersebut.  Alhasil banyak kasus-kasus korupsi yang dijerat dengan peraturan tersebut lepas. Salah satu contohnya kasus Yayasan Bestari di Kabupaten Pontianak. Jelas dengan adanya Yudicial Review ini menimbulkan kekosongan hukum dan tentunya memunculkan peluang dimana korupsi bisa dilakukan.
Kemudian korupsi sekarang dapat tersenyum lebar karena usaha mereka dengan mengajukan Yudicial Review  Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang mengatur tentang Pengadilan Tipikor diterima oleh Mahkamah Konstitusi yang sudah tentunya pada pokok putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah bertentangan dengan UUD.
Terlepas dari pertimbangan Hakim Konstitusi tersebut, hal ini menjadi suatu yang sangat aneh. Apakah upaya-upaya yang dilakukan untuk melawan yang namanya korupsi itu bertentangan dengan UUD? Padahal yang namanya korupsi itu merugikan seluruh bangsa ini dan lebih nyatanya dapat diaktakan korupsi itu melanggar HAM.
Walaupun dalam hal ini Mahkamah Konstitusi bertindak cukup arif dengan memberikan tenggat waktu 3 tahun bagi pembuat undang-undang agar memperbaiki UU KPK. Hal ini saya pikir dapat dimaklumi pula karena saat ini Pengadilan Tipikor sedang memeriksa perkara yang tidak dapat dibatalkan begitu saja.
Tapi bagaimana mungkin Pengadilan Tipikor dapat berjalan, dasar hukum pengaturan Pengadilan Tipikor saja sudah dihapuskan, sudah pasti Pengadilan Tipikor tersebut putusannya tidak bisa mengikat secara hukum. Hal ini sama dengan halnya ketika kasus korupsi Yayasan Bestari yang dakwaannya menggunakan PP 110 tahun 2000 yang telah di yudicial review, pada akhirnya berdampak pada putusan bebas pada terdakwa kasus korupsi tersebut.
Saya pikir Mahkamah Konstitusi dalam hal ini telah tidak konsisten dengan apa yang telah ia putuskan. Mengapa tidak dilimpahkan saja kasus yang ditangani Pengadilan Tipikor kepada pengadilan yang secara hukum sah untuk mengadili kasus korupsi tersebut yakni Mahkamah Agung atau peradilan yang ada dibawahnya.  Nampaknya Mahkamah Konstitusi memberikan celah agar para koruptor ini dapat terlepas dari jeratan hukum.
Menariknya, Mahkamah Konstitusi untuk kali ini dengan cerdik menyelipkan pembelaan diri yang juga tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian terhadap UU KPK, Mahkamah Konstitusi menyatakan adanya permohonan pengujian terhadap UU KPK haruslah diterima dan dipandang sebagai upaya hukum yang wajar dan harus dihormati”.
Anehnya MK berpendapat pengujian UU KPK tidak serta-merta dan secara a priori dicurigai sebagai bentuk perlawanan balik (fight back) yang bersifat inkonstitusional. Menafikan hak warga negara untuk melakukan upaya hukum dalam rangka mencari keadilan (access to justice) justru dapat dinilai sebagai pengingkaran terhadap HAM dan sekaligus tidak menghormati prinsip negara hukum.
Sangat ironis, dengan tameng HAM dan prinsip negara hukum, korupsi dapat menyerang produk-produk hukum yang dirancang sebagai seruma nti korupsi dengan baik. Malahan suatu kekuasaan kehakiman yang tertinggi di negara ini yang para hakimnya terdir dari gurbesar ilmu hukum dibeberapa universitas terkemuka di Indonesia melegal kan hal tersebut secara hukum melalui keputusan Mahkamah Konstitusi.
Korupsi di bangsa ini telah mendarah daging. Bukan saja telah merasuki kalangan birokrat (eksekutif) dan legislatif, tetapi korupsi juga telah menyelinap masuk ke benteng terakhir pencari keadilan.
Suatu hal yang sangat memprihatinkan tentunya kondisi bangsa kita saat ini. Seakan ketentraman dan kesejahteraan sosial hanya menajdi sebuah mimpi. Tetapi itulah relaita merupakan suatu hal yang terbalik dari apa yang dicita-citakan.

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment