Oleh Hendrasyah Putra
Krisis multi dimensi, berbagai konflik dan bencan alam yang melanda bangsa ini secara berkepanjangan, ternyata masih belum bisa menyadarkan bangsa ini dari kelemahan-kelemahan yang ada. Mesin-mesin perubahan bangsa ini pun tidak bisa menggerakan bangsa ini kesebuah kondisi yang lebih baik.
Energi bangsa ini justeru dihabiskan oleh aktivitas-aktivitas keseharian yang serupa seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Hampir setiap hari hal ini terus dibahas disamping bencana alam yang terus melanda bangsa ini.
Bagai bangsa yang tak beradab. Itulah gambaran yang tepat bagi Indonesia saat ini. Buang jauh pikiran bahwa bangsa Indonesia kental dengan kultur-kultur sosial atau nilai budaya yang tinggi dan terdiri dari berbagai macam sumber dari seluruh penjuru nusantara.
Realita memang merupakan suatu hal yang terbalik, memang sangat ironis ketika suatu bangsa memiliki suatu karakteristik agama yang kuat, tetapi bangsa tersebut bukan menjadi bangsa yang damai dan sejahtera, tetapi menjadi suatu bangsa yang penuh dengan konflik dan ketidakadilan.
Menjadi suatu pertanyaan bagi kita sendiri, dimanakah posisi agama saat ini yang semestinya menjadi pondasi dasar bagi setiap manusia untuk memberiknnya pandangan dan arah dalam kehidupan. Nilai moral yang harusnya tertanam dari kecil pada setiap individu di bangsa ini hanyalah menjadi sebuah mitos-mitos yang terus dikembangkan hingga saat ini.
Kesadaran fiktif, itulah yang dibangun oleh agama saat ini, mengapa saya katakan demikian. Sangat ironis dimana alim ulama begitu banyak tersebar diseluruh pelosok bangsa ini dan didukung pula dengan menjamurnya pendidikan-pendidiakn nonformal yang berdasarkan atas agama seperti sekolah-sekolah islam, kristen dan lain-lain, tetapi hal ini sepertinya tidak memberikan dampak sedikit pun bagi bangsa ini.
Mutlak saat ini agama hanyalah menjadi alat penenang sementara bagi setiap manusia yang memilikinya. Agaknya peran agama disini memang perlu kita kaji secara lebih mendalam dalam pengaruhnya terhadap kemunduran bangsa ini.
Bayangkan saja ketika pada akhir tahun 2005 tepatnya 1 Oktober ketika pemerintah menaikan harga BBM, dengan cerdiknya pemerintah merangkul sebuah icon ke-agamaan untuk membintangi sebuah iklan layanan masyarakat yang pada intinya masyarakat diminta untuk bersabar.
Jelas hal ini memberikan pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat yang mengagumi icon ini. Karena icon ini merupakan simbol keteladanan dan panutan bagi sekelompok agama tertentu di Indonesia.
Tak disangka pula kaum agamist begitu memihak pemerintah. Memang aneh tindakan yang dilakukan oleh icon tersebut, tapi inilah strategi yang sangat jitu dalam menghipnotis masyarakat. Memang hal ini sempat menuai protes dari beberapa kelompok tetapi masyarakat tetap menjadi tenang dan tidak menghiraukan protes tersebut.
Bukan itu saja, saat ini politik sekterian pun begitu digalakan demi tercapainya kepuasan politik kelompok tertentu. memang hal ini adalah suatu cara yang tepat menggunakan agama sebagai instrumen, mengingat setiap individu pasti akan mematuhi dan mengikuti agamannya walaupun hanya suatu kesadaran fiktif belaka tetapi sangat berguna untuk dimanfaatkan.
Belum tuntas dengan bencana yang menimpa bangsa ini, masyarakat pun disuguhi dengan konflik moral yang baru-baru ini menjadi buah bibir setiap individu, yakni poligami. Sudah barang tentu hal ini menjadi kontroversi apalagi yang melakukannya alim ulama pula. Terlepas dari segala apa yang menjadi bahan pertimbangannya, tetapi masyarakat awam tetap saja memiliki pendapat yang sinis terhadap prilaku tersebut.
Yang paling parah dari bangsa ini adalah Departemen Agama yang merupakan suatu lembaga milik pemerintah yang menjadi katalisator antar agama masuk urutan teratas lembaga paling terkorup di negeri ini. Prestasi yang sangat buruk sekali tentunya, apalagi mengingat lembaga ini mengurusi tentang agama di republik ini.
Agaknya segala sumber dari kekacauaan dan ketidak adilan dinegara ini merupakan dampak dari sikap egois setiap individu. Agama-lah yang semestinya dapat meredam ini semua dengan penananaman nilai moral kepada setiap penganutnya.
Tetapi hal ini hanyalah menjadi sesuatu hal yang hampa, karena setiap individu tetap saja melihat kepada suatu icon yang mereka anggap sebagai panutan mereka. Dan jangan salah kan pula jika mereka (setiap individu) menjadi egois karena hal ini sebenarnya suatu refleksi dari icon tersebut.
Nampaknya bangsa ini secara tidak sadar telah menggantikan dasar negara ini terutama sila pertama, yang semula Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Kapitalis Yang Maha Esa.
Kondisi seperti ini sebenarnya tidak terlepas dari ikut campurnya kaum-kaum agamist dalam kancah perpolitikan di Indonesia dan berakibat pada timbulnya suatu kelompok baru dalam hal ini saya sebut dengan istilah agamist kapitalis.
Pemisahan antara sektor kenegaraan dan keagamaan adalah suatu cara yang harus ditempuh oleh bangsa ini jika ingin mengadakan suatu perubahan yang sangat signifikan, sehingga agama tidak lagi dijadikan sebagai intrumen politik dan kapital dalam keseharian.
Berkaitan dengan beruntunnya hari-hari besar keagamaan yang bertepatan dengan penghujung tahun, harusnya hal ini dijadikan sebuah momentum untuk menjadikan suatu evaluasi bagi setiap agama di republik ini, tentunya evaluasi ini harus digerakan oleh setiap icon-icon agam itu sendiri. Karena mau tidak mau merekalah yang bertanggung jawab terhadap kesadaran fiktif dan ketenangan semu dimasyarakat saat ini.
Saya yakin sekali bangsa ini akan menjadi bangsa yang maju dan beradab jika setiap individu dari bangsa ini memiliki moral yang baik. Mudah-mudahan kritik untuk agama ini menjadi suatu picu kesadaran bagi kita semua sebagai Bangsa Indonesia untuk menjadikan bangsa ini menjadikan bangsa yang terpandang.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment