Oleh: Hendrasyah Putra
Saya sangat prihatin atas kejadian pemerkosaan yang dilakukan di angkutan umum dua bulan belakangan ini. Rasanya hal ini makin mencoreng citra bangsa kita di mata dunia. Wanita yang menjadi Korban utama pelecehan seksual seakan-akan derajatnya sudah lagi tidak dipandang oleh pelaku.
Bagi saya, derajat seorang wanita begitu mulia dan menurut kepercayaan yang saya anut, nama wanita disebut sebanyak tiga kali berulang-ulang sebelum nama laki-laki.
Aksi keji yang dilakukan oleh oknum laki-laki ini memang menyulut kemarahan masyarakat. Hal ini terbukti dengan munculnya aksi demontrasi yang dilakukan oleh sekelompok wanita pada beberapa waktu yang lalu di bundaran HI Jakarta. Aksi demontrasi itu sendiri bertemakan ”jangan salahkan rok mini” (www.forum.kompas.com 19/09/11 ).
Disisi lain memang aksi ini juga tersulut oleh pernyataan Gubernur DKI yang mengatakan bahwa tindakan pelecehan seksual itu terjadi karena korban mengenakan rok mini yang memancing terjadinya pelecehan seksual tersebut.
Ketika membaca pemberitaan tersebut, ada hal yang janggal ketika salah satu isi pemberitaan tersebut menceritakan kegiatan para demontran. Berikut saya petik beberapa aksi yang termuat dalam pemberitaan tersebut; ”Spanduk besar yang dibawa bertuliskan 'Jangan salahkan baju kami. Hukum si pemerkosa'. Poster yang diusung antara lain bertuliskan 'My rok is my right' dan 'Don't tell us how to dress. Tell them not to rape'. salah seorang orator juga berteriak "Jangan salahkan rok mini kami. Salahkan otaknya," dan ada juga peserta yang ikut ber teriak "Yang mini bukan rok kami tapi otak kalian.”
Saya agak terpancing untuk mengkritisi aksi demontrasi itu, karena menurut saya aksi itu menjadi melebar. Menjadi melebar karena yang disalahkan serta menjadi kambing hitam adalah rok mini atau si pemerkosa saja.
Bagi saya orang-orang yang berpandangan demikian itu tak lebih dari menggunkana sudut pandang kacamata mata kuda model baru. Alih-alih membela hak para si korban, tetapi secara tidak sadar menghilangkan kompleksitas terjadinya tindakan asusila tersebut.
Rasanya tidak arif menilai sebab musabab terjadinya kejadian tersebut karena satu faktor saja. Jika kita bersikukuh dengan dengan satu faktor saja sebagai penyebabnya, maka kita akan melihat munculnya aksi saling tuding dan aksi menyatakan diri paling benar muncul mewarnai penyelesaian suatu masalah. Bukankah perilaku ini sesungguhnya cerminan dari jiwa yang sombong dan egois.
Saya rasa kita memang harus banyak belajar dari bangsa lain dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam kesempatan ini saya kembali mengutip artikel dari Sapto Nugroho yang berjudul “Mati Listrik ternyata Bisa Dihindari”.
Dalam artikel tersebut Sapto Nugroho menceritakan krisis listrik yang melanda Jepang pasca rusaknya PLTN Fukushima akibat Gempa Bumi dan terjangan Tsunami. Berikut saya akan sampaikan garis besar isi dari artikel tersebut;
Untuk mengatasi mati listrik tiba-tiba dan pemadaman berkala, maka pemerintah melalui siaran televisi dan media lainnya mengajak semua masyarakat dan industri untuk hemat listrik atau sebetulnya menggurangi jumlah listrik yang dipakai (bukan untuk hemat secara ekonomi tapi sedikit menggunakan sehingga tidak terjadi pemadaman listrik).
Supaya ada pedoman yang jelas berapa harus berhemat, dan apa saja yang bisa dihemat, di saluran TV dan media massa surat kabar atau internet juga dijelaskan soal penggunaan listrik ini.
Usaha untuk tetap menjaga bersama tidak terjadi mati listrik tanpa menganggu semua proses pekerjaan dilakukan juga oleh kantor dan industri. Hari Kamis 18 Mei 2011, persatuan industri mobil di jepang (JAMA) telah sepakat untuk tidak berproduksi pada hari Kamis dan Jumat, hari2 dimana terjadi puncak penggunaan listrik. Sebaliknya pabrik2 itu akan beroperasi pada hari Sabtu dan Minggu. Jadi proses penghematan atau penghidaran mati listrik ini dilakukan tanpa mengganggu jumlah dan waktu produksi.
Cerita diatas begitu menarik untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi kita. Bagi saya perilaku orang Jepang diatas dalam mengatasi permasalahan yang timbul akibat krisis listrik tersebut dihadapi secara bersama. Bukan saja oleh pemerintah, tetapi juga oleh oleh masyarakat dan pihak swasta. Disitu terlihat bahwa kesadaran untuk mengurangi dampak krisis listrik tersebut merupakan tanggung jawab bersama yang dimulai dari kesadaran individu.
Saya tidak bisa membayangkan jika himbauan tersebut diacuhkan oleh masyarakat Jepang dan pihak swasta-nya. Mungkin alasan dimana “kita sudah membayar pajak” atau “hak konsumen” bisa berdampak buruk dan menyebabkan pemadaman listrik yang berkepanjangan. Di lain pihak, saya yakin pemerintah Jepang akan kewalahan mengatasi krisis listrik tersebut tanpa adanya kerja sama dari pihak masyarakat dan swasta.
Menurut saya yang lebih penting lagi dalam cerita krisis listrik diatas adalah dimana pemerintah Jepang hanya mengeluarkan himbauan, dan perlu dicatat bahwa hal itu bukanlah suatu aturan atau paksaan. Kita patutnya harus meneladani perilaku orang Jepang tersebut dimana himbauan tersebut dengan begitu saja dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat dan Pihak swastanya tanpa mempertanyakan hak atau pajak yang telah mereka bayar.
Kembali kepada permasalahan rok mini, saya kira tidak patut rasanya kita menyalah-nyalahkan benda mati sebagai dalang dari terjadinya tindakan asusila. Membenturkan penggunaan hak mini sebagai suatu hak asasi atau hak tentang kebebasan dengan kejadian pemerkosaan di angkutan umum menurut saya hanyalah memperumit masalah.
Bukankah timbulnya tindakan asusila tersebut atas ulah manusia, bukan karena ulah benda mati? Bukankah terjadinya pemerkosaan itu karena ada yang diperkosa dan ada yang memperkosa? Hemat saya jika kita memang serius untuk memberantas tindakan asusila tersebut, berarti kita juga harus siap untuk merubah sikap dan perilaku kita agar hal tersebut tidak terulang kembali.
Saya sendiri sebenarnya agak heran dengan perilaku masyarakat kita. Ketika kita menonton atau membaca pemberitaan tentang kasus pemerkosaan, korupsi, mafia pajak dan praktik kotor dalam penerimaan CPNS, seketika itu pula kita mengutuk aksi tersebut. Tetapi ironinya adalah ketika terjadi tragedi tenggelamnya kapal di muara Jungkat, masyarakat kita juga ikut menimbun BBM (bahan bakar minyak) yang tanpa kita sadari kita juga sama-sama merasakan mahalnya harga BBM dan meningkatnya biaya hidup yang lain. Inilah yang saya katakan bahwa kita tidak serius dalam membasmi kejahatan di bumi Indonesia.
Sama halnya dengan kasus pemerkosaaan diangkot, kita kerap kali menemui beredarnya VCD/DVD porno yang sangat mudah untuk didapati serta tontonan yang kurang mendidik. Kiranya kita memang serius untuk memberantas tindakan asusila tersebut, harusnya kita sejak dini secara serius pula untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menjurus kepada tindakan asusila tersebut.
Hemat saya, kunci keberhasilan bangsa kita dalam menghadapi berbagai macam masalah ini adalah pada diri kita, bukan pada orang lain, bukan pada sistem dan bukan pula pada pemerintah. Mengaharapkan dan menyalahkan hal lain atas permasalahan yang timbul sama halnya dengan turut melahirkan dan membidani permasalahan tersebut. Bukankah baik dan buruknya Indonesia adalah tanggung jawab kita bersama?
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment