Wednesday, November 23, 2011

Menipu Diri Sendiri



Oleh: Hendrasyah Putra

Beberapa waktu yang lalu saya sempat merasa bingung ketika menemui fenomena dimana 50 warga Singkawang yang menyatakan dirinya ditipu oleh Calo CPNS. Pada artikel sebelumnya, saya mengkritisi perilaku tersebut dan mengatakan bahwa sebenarnya yang ingin menjadi penipu itu adalah mereka sendiri dengan jalan penyuapan yang diperantarai Calo CPNS.
Sampai saat ini, saya masih kukuh pada pendapat saya tentang keterpurukan indonesia itu karena ketidak seriusan kita dalam membaikan negara ini. Dalam pengalaman saya, sering kali saya menemukan alasan bertahan hidup, main aman, tidak bisa melawan arus dan sudah terjamin masa depan dijadikan alasan  pembenar untuk mencapai tujuan.
Mungkin perilaku seperti itu akan memancing sebagian orang untuk mengatakan perilaku itu adalah oportunis atau pragmatis. Tetapi bagi saya hal itu lebih tepat untuk dikatakan sebagai perilaku menipu diri sendiri. Mengapa saya katakan menipu diri sendiri? Karena tindakan mereka itu merugikan diri sendiri dan Indonesia kedepannya.
Keanehan kian muncul ketika masyarakat yang turut serta dalam membidani dan melahirkan kejahatan itu juga turut serta mengibarkan bendera perlawanan terhadap segala keburukan yang timbul dengan cara mengutuk segala perbuatan itu. Bagi saya hal ini cukup ironi, dimana masyarakat memainkan dua peran sekaligus, yakni sebagai aktor protagonis dan antagonis.
Berdasarkan pengalaman diatas, Saya tidak begitu terkejut ketika membaca berita di harian equator yang berjudul ”Kasus polemik penurunan pasangan Nasir-Agus, telah berakhir”(29/09/11). Bagi saya, masyarakat mempunyai andil besar dalam kasus politik uang yang terjadi dalam perhelatan pemilukada itu. Jikalau masyarakat tidak menerima bantuan yang berbentuk barang atau uang tersebut saya yakin politik uang tersebut tidak bisa dilakukan.
Mungkin masyarakat telah lupa dengan alasan ditetapkannya pemilihan langsung. Sekedar mengingatkan, salah satu alasan utama pemilukada langsung itu adalah agar mereka yang terpilih benar-benar telah melalui proses seleksi dari bawah karena prestasi moral, intelektual, dan pengabdiannya pada masyarakat selama ini.
Saya rasa gagasan mulia ini sulit terwujud mengingat masyarakat sendiri turut serta dalam menumbuh-kembangkan politik uang. Alih-alih berteriak tentang rindu akan sosok pemimpin yang amanah dan anti keculasan, tetapi dalam perhelatan pemilukada yang terjadi adalah sebaliknya.
Disinilah terlihat bahwa kita memang tidak serius untuk membaikan negara ini. Bagi saya istilah ”terima uangnya tetapi jangan pilih orangnya” adalah salah. Hal itu hanyalah pembenar dari perilaku masyarakat dalam praktik politik uang tersebut.
Mungkin kita sudah lupa dengan pribahasa ”bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, dalam hemat saya, bersatu memang solusi terbaik untuk membaikan Indonesia. Mungkin hal ini akan memantik pertanyaannya apakah dengan bersatu kita bisa membaikan Indonesia dari keterpurukan? Saya yakin bisa! insyaallah.
Bagi saya baik buruknya negara ini memang tanggung jawab bersama. Oleh karena itu dengan cara bersama pula dalam membaikan negara ini hal itu bisa dilakukan. Mungkin akan timbul pertanyaan dihati pemabaca sekalian mengapa saya begitu percaya baiknya indonesia itu adalah tanggung jawab bersama? Dan mengapa pula saya selalu menekankan untuk merubah diri terlebih dahalu tanpa mengharapkan orang lain dan sistem berubah?
 Sesungguhnya pemikiran itu saya dapati ketika saya mencoba mengkaji Jepang pasca bencana gempa dan tsunami. Disitu munculnya istilah “ketangguhan Jepang”, istilah itu tidak serta merta berdiri sendiri, tetapi itu dimulai dari kesadaran individual untuk berbuat baik terhadap sesama.
Indonesia nya bukan tidak bisa baik seperti itu, ketika saya Ketika saya membaca artikel Sapto Nugroho yang berjudul “Dan iklan pun ikut bersama-sama”, disitu saya melihat ada kesamaan Indonesia dan Jepang dalam hal memotivasi manyarakatnya.
Dalam artikel yang dituliskan oleh sapto Nugroho itu diceritakan bahwa iklan komersial yang ditayangkan diJepang ditengah bencana itu berisikan pesan motivasi untuk bangkit dan bertindak. Ada dua pesan yang disampaikan secara tertulis dalam iklan tersebut.  [Kokoro] wa dare ni mo mienai keredo ,  [Kokoro tsukai] wa mieru” ( Dalam hati tidak satupun orang bisa melihat,  tetapi tindakan karena hati/tenggang rasa bisa terlihat ) .
 “[Omoi] wa mienai keredo, [ Omoiyari] wa dare ni demo mieru” ( Dalam pikiran/rasa tidak terlihat, tetapi  Pikiran yang diwujudkan bisa terlihat oleh siapapun ).  Perasaan yang diwujudkan.
Indonesia bukan tak ada pribahasa seperti itu, Indonesia juga memiliki pribahasa yang mencerminkan budi pekerti yang saya tak bisa sebutkan satu persatu. Jika kita menonton telivisi misalnya, sampai saat ini saya masih mendapati iklan komersial rokok yang mempunyai jargon “talk less, do more”.
Yang menjadi pembeda Indonesia dan Jepang hanyalah Indonesia hanya berhenti pada kata-kata motivasi itu saja, tetapi keberlanjutan yang diharapkan kepada tindakan tidak muncul. Dalam pengamatan saya, sebagian masyarakat kita lebih senang memainkan dua peran sekaligus (antagonis dan protagonis), mungkin hal itu bisa menguntungkan sesaat.
pada titik ini, saya sangat setuju tentang pendapat bahwa tuhan itu tidak pernah menzholimi manusia, melainkan manusia itu sendiri yang menzholimi dirinya sendiri. Saya memang tak berharap banyak masyarakat bisa berubah, bagi saya memperbaiki terlebih dahulu dan berusaha mengngatkan masyarakat dengan tulisan pendek kiranya bisa sedikit membantu.

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment