Wednesday, November 23, 2011

Anak Lebih Dulu



Oleh: Hendrasyah Putra

Sampai saat ini masih sering terlintas dipikiran saya video anak yang ditabrak di China. Mengerikan, mungkin itulah kira-kira kata yang pantas atas peristiwa yang menimpa anak itu. Dalam kesempatan ini baik kiranya kita sebagai sesasama manusia mendoakan anak kecil tersebut agar bisa kembali sehat seperti sedia kala.
Berbicara tentang anak, tentunya setiap pasangan suami-istri pasti sangat menantikan kehadiran si anak. Ada yang berharap bahwa dengan kehadiran anak diharapkan dapat meneruskan garis keturunan dan ada juga yang berharap si anak diharapkan dapat meneruskan cita-cita orang tuanya dan bisa mengubah peruntungan keluarganya. Bagi saya, alasan apapun itu tentunya jika didasarkan atas niat baik tak perlu kita permasalahkan.
Ketika kita berbicara tentang masa depan suatu negara, menjadi penting tentunya untuk kita berbicara tentang tumbuh dan kembang anak di negara tersebut. Dipikiran saya terbesit pertanyaan tentang bagaimanan dengan anak Indonesia yang dipundaknya secara serta-merta dibebani tanggungjawab untuk memajukan Indonesia dikemudian hari?
Saya jadi teringat dengan kritikan Sujiwo Tejdo yang juga seorang budayawan. Ia sempat mengkritisi banyaknya intensitas sinetron yang menghiasi layar kaca televisi. Baginya hal itu sangat memberikan dampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Ia sendiri memberikan gambaran pembanding tentang jam tayang sinetron di Jerman. Di Jerman, jam tayang sinetron di tayangkan pada jam anak-anak sudah tidur. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan kondisi jam penayangan sinetron di Indonesia.
Kritik yang disampaikan sang budayawan mengingatkan saya kembali pada sebuah artikel di media massa nasional yang menceritakan pendidikan terbaik itu di Finlandia. Dalam artikel tersebut di ceritakan bahwa Finlandia mempunyai aturan yang mewajibkan pemberian ASI (air susu ibu) selama dua tahun kepada anaknya. Selain itu, pemerintah Finlandia memberikan cuti dua tahun bagi sang ibu dan satu tahun bagi sang ayah.
Pada titik ini saya jadi teringat dengan jargon Israel “sumber daya manusia kami adalah sumber daya alam kami”. Tentu jargon ini bukan sekedar isapan jempol belaka. Di dunia internasional kita seakan sudah makfum dengan kepintaran orang Israel dan penemuan-penemuan mutakhirnya.
Sebenarnya saya sendiri bertanya-tanya mengapa orang Israel bisa begitu pintar? Dalam pencarian saya, akhirnya saya menemukan sebuah artikel di dunia maya yang berisikan penelitian seorang Doktor yang meneliti hal tersebut. Penelitian itu sendiri ia lakukan selama lima tahun di Israel. Dari hasil penelitiannya, didapati bahwa dimana ibu hamil di Israel ternyata sering mengerjakan soal mate-matika, mengkonsumsi vitamin yang cukup dan tentunya yang sangat menarik adalah mereka (ibu hamil) akan mengusir tamu yang merokok dirumahnya!
Saya mungkin bukanlah seorang ahli genetika atau dokter anak. Tetapi saya hanya ingin tahu apakah memang benar pendidikan anak yang dilakukan sejak dini (dalam kandungan) itu memang memberikan pengaruh yang baik? Tetapi bagaimana mungkin? Tanda tanya ini kiranya menjadi pemicu saya untuk mencari lebih dalam lagi.
Pencarian kembali saya lanjutkan. Dalam pencarian saya, saya menemukan artikel yang sangat unik. Artikel itu sendiri berisikan tentang seorang anak di Iran yang sudah hafal al-qur’an di usia yang cukup muda. Karena hafal al-quran di usia yang masih muda (dibawah lima tahun) tentunya hal ini memancing rasa ingin tahu semua orang (termasuk pula pemimpin tertinggi Iran). Ketika ayahnya diwawancarai oleh wartawan, ayahnya dengan sangat singkat dan lugas menjawab “wajar saja, umi-nya hafal al-qur’an”.
Mungkin agak sulit untuk diterima dan diterapkan di Indonesia, tetapi begitulah negara-negara maju mempersiapkan generasi mudanya. “Anak lebih dulu”, saya kira menjadi hal yang utama jika kita memang serius ingin menjadikan negara ini maju.
Pada akhirnya untuk lebih meyakinkan pembaca, diatas saya sengaja mengutip hasil gambaran seorang anak umur dua tahun di Jepang. Gambar itu sendiri saya ambil dari artikel yang ditulis oleh Sapto Nugroho yang berjudul “butuh:relawan remaja”.
Dalam artikel itu ia menceritakan bahwa si anak yang tidak mau berpisah jauh-jauh dari ibunya. Ada trauma waktu melihat air laut hitam yang menghanyutkan rumah, mobil dan barang-barang lainnya.  Oleh ibunya, untuk mengisi waktu di tempat pengungsian, anaknya diberi kertas gambar dan beberapa pensil dengan macam-macam warna.  Sebelum terjadi gempa dan tsunami, anaknya suka menggambar dengan warna-warna yang terang dan cerah.  Akan tetapi di tempat pengungsian ini, ibunya agak kaget karena anaknya hanya menggambar dengan pensil warna hitam saja. Apa yang di gambar si anak adalah gambar ombak air dan gunung.  Dalam pikiran si anak masih tersimpan sekali ingatan akan tsunami ini. Dalam kasus ini, terlihat bahwa seorang anak begitu mudah mengapresiasikan apa yang dilihatnya.
Dari semua penelusuran yang saya lakukan diatas tergambar bahwa generasi penerus bangsa mulai dibangun sejak dini (dalam kandungan). Disisi lain juga menjadi penting untuk diperhatikan apa yang menjadi asupan yang diterima oleh si Ibu ketika hamil. Tontonan dan bacaan yang berkualitas tentunya menjadi sangat penting. Dari penelusuran itu, didapati juga bahwa anak (balita) sangat mudah sekali terpengaruh dengan lingkungannya seperti apa yang terjadi pada kasus anak di Jepang. Tontonan yang berkualitas, perilaku orang tua yang baik dan pengenalan sejak dini tentang ke ilmuan tentunya akan sangat membantu untuk mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Mungkin jika kita mulai berhenti memberikan asupan makanan dari hasil yang buruk (haram), saya yakin Indonesia tidak akan seperti sekarang ini. Saya sendiri sebenarnya sangat begitu berharap agar anak-anak Indonesia dimasa datang tidak menggambar uang dan tikus sebagaimana dengan apa yang terjadi dengan cerita anak orang Jepang diatas. Dan Bukankah buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya?

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment