Wednesday, November 23, 2011

SIAPA YANG TAK BISA BACA?



Oleh:Hendrasyah Putra

Mengerikan memang melihat berita di televisi yang mengabarkan anak kelas 2 SMP di Langkat Sumatera Utara tidak bisa membaca. Tentunya tudingan dan prasangka mulai bermunculan. Mungkin sebagian dari kita sudah mempunyai dugaan siapa-siapa saja yang bertanggung jawab atas kasus tersebut.
Sejenak peristiwa ini memang tak sebombastiknya berita korupsi, tetapi menurut hemat saya cerminan bagaimana Indonesia itu terlihat jelas dari kasus tak bisa baca ini.
Berangkat dari kasus ini, dibatin saya terpancing sebuah pertanyaan, “sesungguhnya siapa yang tak bisa baca?” di sudut lain hati saya mengatakan, mungkinkah ini salah satu perubahan masyarakat dalam menghadapi iklim di Indonesia?
Memang sedikit aneh jika dikatakan kasus tak bisa baca ini merupakan sebuah perubahan masyarakat dalam menghadapi iklim di Indonesia. Tetapi menurut hemat saya inilah yang muncul didalam masyarakat, jika meinjam istilah biologi maka saya katakan kasus itu adalah sebuah “adaptasi“ dimana masyarakat melakukan penyesuain diri dengan lingkungan sekitar ekosistem, habitat tempat tinggalnya untuk dapat bertahan hidup dengan lebih baik dan mudah.
Mungkin kita bertanya-tanya iklim seperti apa yang memicu adaptasi masyarakat? Apakah mungkin iklim reformasi memunculkan adaptasi masyarakat yang saya katakan mengerikan itu.
Mungkin, barangkali ada yang mengatakan kasus tak bisa baca itu hanyalah anomali saja, tetapi ada baiknya kita melihat Koentjaraningrat yang meneliti masyarakat Indonesia pada zaman kemerdekaan yang disebutnya sebagai ciri-ciri mental manusia Indonesia pada masa itu yaitu: 1. sikap tak sadar akan arti kualitas; 2. sikap untuk mencapai tujuan secepatnya tanpa banyak kerelaan untuk berusaha secara selangkah demi selangkah; 3. sikap tak bertanggung jawab; 4. apatis dan lesu.
Walaupun penelitian itu sudah cukup lawas diaman peneletian itu dilakukan pada konteks era kemerdekaan dimana pada saat itu bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan penjajah, tetapi kiranya ada sebuah kesamaan konteks, yaitu konteks masa transisi, disisi lain juga ciri-ciri yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat kiranya hampir sama persis dengan ciri masyarakat pada saat ini.
Selanjutnya, dalam sebuah disertasinya “hukum dan perubahan sosial”,  Satjipto Rahardjo (Prof. Tjip) mencoba mengungkapkan hal tersebut diatas, ia mengatakan bahwa kondisi masyarakat dalam suasana perubahan seperti dihadapai oleh bangsa Indonesia semenjak pendudukan Jepang, kemudian disusul dengan masa revolusi kemerdekaan bahwa penyimpangan-penyimpangan lebih mudah terjadi. Mengapa, karena menurut beliau perubahan tersebut memberikan pengaruhnya pula terhadap timbulnya sikap-sikap pada orang Indonesia berhadapan dengan kekuasan serta tertib sosial di sekelingnya.
Dalam disertasinya juga, Prof Tjip mengungkapkan bahwa “kebiasaan” untuk menentang norma-norma serta tertib sosial yang berlaku dengan demikian berubah menjadi tingkah laku yang meremehkan norma-norma.
Hemat saya, adaptasi yang muncul di masyarakat bukan hanya berhenti menjadi tingkah laku yang meremehkan norma-norma, tetapi adaptasi itu beranjak menjadi sebuah bola salju yang besar yang kita sebut dengan budaya.
Memang agak sedikit extrim, tetapi menurut pendapat saya apa yang disampaikan oleh Herskovits bahwa “kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun  dari satu generasi ke generasi yang lain, yang disebut sebagai superorganic” adalah sebuah gambaran yang cukup baik untuk menggambarkan kondisi adaptasi masyarakat di Indonesia saat ini.
Sampai pada tahap adaptasi yang telah menjadi budaya itu,  sepertinya Indonesia secara keseluruhan “tak bisa membaca sejarah”, mungkin jika saya meminjam istilah Anhar Gonggong adalah “sejarah mungkin berulang”, dan sejarah saat ini telah berulang.
Secara pribadi, memang sulit untuk menunjuk hidung mengenai siapa yang salah atas adaptasi masyarakat ini. Bukan kah manusia mempunyai andil besar dalam munculnya sebuah kebudayaan?
Di ajaran agam Islam, Rasullah SAW mengajarkan bahwa, jika kita ingin merubah dunia maka pertama kali yang harus kita rubah adalah diri kita dahulu, barulah kita bisa merubah keluarga, tetangga dan seterusnya sampai sebuah negara.
Bukan dalam artian secara total menyalahkan masyarakat Indonesia dan menafikan faktor ekonomi, hukum dan politik. Tetapi bukankah pelaku dan penggerak dari sistem dan subsistem itu adalah manusia. Bukankah manusia yang menjadi poros dalam budaya itu?
Kita terkadang terlalu menyalah-nyalahkan penyelenggara negara. Kita selalu mengeluh dengan buruknya penegakan hukum, pelayanan publik, begitu banyaknya penggauran dan kemiskinan tanpa sadar bahwa kita yang mempunya andil besar dalam terciptanya iklim dimana keluhan-keluhan kita itu hidup dan tumbuh subur.
Memang mengerikan bangsa kita saat ini, Tanpa ingin mengucilkan dan mengeneralisir bangsa Indonesia tetapi agaknya ciri-ciri manusia Indonesia sepertinya apa yang coba digambarkan oleh Koentjaraningrat  tak ada yang meleset.
Deny Indrayana dalam pengantar sebuah bukunya “Negeri Para Mafioso” dalam sekapur sirih yang berjudul “Ini Negeri Mafia Bung” setidaknya menggambarkan iklim yang ada pada Indonesia. Memang mengerikan tetapi begitulah kenyatannnya.
Mungkin ada benarnya juga anggapan masyarakat bahwa “yang lain seperti itu, kenapa saya tidak” adalah jawaban bagi adaptasi masyarakat untuk bertahan hidup dalam iklim di Indonesia saat ini. Mungkin karena hal inilah terbesit ide dari Ketua DPR Marzuki Alie untuk menghapuskan KPK dan memaafkan Koruptor.
Jika kita setuju bahwa manusia yang memiliki andil besar dalam terciptanya sebuah ilklim dan budaya itu, maka sudah barang tentu kita harusnya bersama-sama meperbaiki diri kita dan menyebarkan kebaikan kepada keluarga dan saudara setanah air.
Ada pepapatah Belanda yang mengatakan “een zalf op d wond”, atau dalam artian “sedikit obat untuk luka yang diderita”, seperti apa yang pernah di ungkapkan Quraish Shihab dalam sebuah acara televisi yang di binanya, bahwa orang baik dan orang jahat di Indonesia itu sama banyaknya, tetapi orang baik di Indonesia jarang terekspos media sehingga measyarakat berfikiran bahwa yang mendominasi Indonesia adalah orang jahat.
Walaupun secara kasar saya menggambarkan iklim di Indonesia yang tercipta adalah sebuah iklim yang buruk diamana kejahatan tumbuh subur, tetapi sejatinya itu hanyalah sebuah picu untuk kita bangsa Indonesia tidak diam saja, tapi bergerak dan bertindak kearah yang lebih baik. Hemat saya perubahan itu tentunya harus dimulai dari kita, dan bukankah ini sama hal nya dengan membaca diri kita? Jadi siapa sesusungguhnya yang tak bisa membaca?

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment