Oleh : Hendrasyah Putra
Hidup terus mengalir, seperti air kadang pasang kadang surut, bergejolak dibawah tetapi terlihat tenang dipermukaan, mengalir dari tempat yang lebih tinggi menuju ketempat yang lebih rendah, membentur batuan dan seterusnya mengalir menuju samudra.
Saya pernah mendengar perkataan seseorang bahwa ciri dari suatu kehidupan itu adanya dinamika. Mungkin lebih akrab disapa dengan masalah, susah, senang dan bahagia. Bagi saya itulah bentuk suatu kehidupan manusia yang sempurna.
Jika dinamika itu ciri dari sesuatu yang hidup, bagaimana dengan ciri sebuah karya manusia? Saya lebih senang menyebut karya manusia ini dengan istilah “artifisial” (buatan). Disini saya sangat meyakini bahwa sifat nisbi selalu melekat selama hal itu artifisial. Ketika kita menggunakan suatu yang artifisial maka kita selalu dihadapkan dengan sebuah situasi “chaos” dimana sesuatu yang artifisial tersebut akan menghadapi sebuah kemandekan (confused) karena sifat nisbi nya itu, kemudian manusia sebagai pembuatnya itu berperan sebagai pengarah karya itu kepada suatu pembaharuan.
Bagaimana dengan negara kita? Paling tidak jika kita bercermin pada kondisi indonesia saat ini kita mendapati sebuah berkah, dimana begitu banyak chaos yang memaksa kita untuk melakukan suatu ijtihad untuk menemukan sebuah solusi (pembaharuan).
Ditempat saya bekerja, ada seorang teman yang kebetulan bertanya tentang suatu masalah yang sedang kami hadapi. Teman saya ini begitu bingung melihat sebuah masalah yang tidak tercover atau tak pernah dipikirkan oleh sipembuat peraturan. Bagaiamana ini bisa terjadi? Apa yang harus kita lakukan, sedangkan tidak ada perintah dalam peraturan untuk melakukan ini dan itu?
Apa yang terjadi kemudian adalah jauh diluar apa yang dibayangkan oleh teman saya itu, bagaimana tidak, perlakuan terhadap suatu masalah yang kita hadapi itu sama sekali jauh diluar dari teks-teks yang terdapat dalam peraturan. Sontak iya bertanya kepada saya, “apa yang sebenarnya kita lakukan? Apakah ini benar? Menjawab pertanyaan itu, saya hanya menjawab “ini sebenarnya loncatan dalam berhukum (meminjam istilah Prof. Tjip) mengingat peraturan itu tidaklah sempurna dan tentunya kita juga harus memperhatikan gejolak-gejolak yang terjadi dimasyarakat” .
Sampai disitu teman tadi sedikit bingung dengan perlakuan yang dia anggap aneh tersebut karena tidak pernah diatur sebelumnya dalam peraturan. Kemudian berjalan dengan seiringnya waktu, kami melakukan suatu klarifikasi yang juga melibatkan pihak-pihak terakait dan juga tokoh masyarakat.
Disini saya menemukan sebuah perilaku yang unik. Si troublemaker (biangkeladi) ternyata melakukan chaos dikarenakan tidak ada sebuah ancaman hukuman. Mengapa demikian? Ternyata si troublemaker berperilaku seperti itu dikarenakan ia diperebutkan oleh kedua belah pihak yang bertikai, karena sama-sama membutuhkan si torublemaker karenya pula hukuman yang menjadi sebuah ancaman itu tidak pernah diberikan.
Ketika diklarifikasi, si troublemaker ini ternyata tak begitu tahu-menahu tentang perbuatannya yang telah membuat sebuah peraturan itu menjadi mandek. Masih terngiang ditelinga saya, “baginya hukum itu adalah sebuah ancaman yang memaksa”, dengan polosnya ia menggakui bahwa ia tak tahu hukum (teks-teks yang tercetak), ia hanya menjalankan apa yang ia rasa menguntungkan bagi dirinya selama tidak ada ancaman hukuman.
Tidak berhenti sampai disitu saja, ternyata dalam proses klarifikasi yang dihadiri salah seorang pemuka masyarakat ini telah memberikan sebuah warna dalam “berhukum”. Ketika proses klarifikasi itu berlangsung, tiba-tiba seorang kakek berumur 70 tahunan bersuara lantang. Kakek ini begitu marah dengan perilaku si troublemaker, sekilas menyeramkan tetapi beginilah caranya dalam menyikapi perilaku anak muda dikampungnya.
Malam semakin larut tetapi proses klarifikasi itu tetap berlangsung, ditengah klarifikasi itu satu dari dua pihak yang berkepentingan tersebut hendak meninggalkan forum klarifikasi tersebut. Anda tahu apa yang terjadi? Kakek tersebut langsung membentak orang tersebut sambil berkata “duduk kau! kalau begini cara anak muda menyelesaikan masalah, maka bangsa ini tak akan maju!” kemudian secara spontan orang tersebut langsung duduk ditempatnya semula.
Kejadian ini bukanlah sesuatu hal yang telah diatur sebelumnya dalam teks-teks peraturan, tetapi inilah gaya berhukum dengan kearifan lokal. Disini ditunjukan kebutuhan akan rasa keadilan oleh si Kakek untuk menengahi pihak-pihak yang bertikai karena kepentingan untuk memperebutkan Si Troublemaker begitu kentalnya.
Tanpa kita sadari, disini begitu kuatnya pengaruh kekuatan yang berada diluar hukum. Teks-teks dan ancaman yang dituliskan dalam sebuah kertas putih tersebut tidaklah dapat berbuat seperti itu. Disini ditunjukkan bahwa cara berhukum tidaklah mutlak mengikuti sebuah prosedur yang telah dituliskan itu.
Saya secara pribadi sangat terusik ketika membaca sebuah berita di media cetak lokal Kal-Bar, halaman berita itu berjudul “Tidak Bisa Intervensi Hukum” distu disitir pendapat seorang penegak hukum yang mengatakan “hukum seperti itu (ada intervensi-Red) sudah tidak benar, kita serahkan saja pada fakta persidangan (Tribune Pontianak, 18 februari 2010 hal. 12).
Bukankah perkataan bahwa hukum itu tidak bisa di intervensi atau dipengaruhi oleh kekuatan diluar hukum adalah sesuatu yang naif? Kita tidak bisa menafikan fakta bahwa hukum itu selain menyangkut setiap “kepentingan individu dan golongan” juga menyangkut kebutuhan individu atau hak dasar manusia, yaitu rasa keadilan.
Ketika kita berbicara mengenai “proses hukum” maka kita akan berbicara kenyataan dimana kita akan menemukan sebuah ketidakpastian (confused). Ketika confused ini datang maka yang terjadi adalah sebuah perlawanan untuk menuju suatu keadilan (chaos).
Mengapa saya katakan chaos? Chaos disini bukanlah kerusuhan atau sebuah kerusakan. Chaos saya lebih artikan sebagai sebuah konflik yang timbul dari gejolak dari masyarakat itu ketika kebutuhan akan rasa keadilan bersinggungan dengan kepentingan.
Maka ketika anda beranggapan bahwa keadilan adalah sesuatu hal yang rasional yang bisa di sekat-sekat dengan sebuah peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara, maka secara tidak langsung anda telah meminggirkan diri anda sendiri dari apa yang kita sebut sebagai manusia. Bukankah ini sesungguhnya perilaku yang tidak manusiawi terhadap manusia itu sendiri!
Sadarkah anda kasus Gunung Gajah di Kabupaten Sambas dan kasus Bank Century menunjukan begitu kentalnya pengaruh kekuatan diluar hukum. Disini “proses hukum” sangat erat dengan sebuah “campur tangan” dari sebuah individu dan kelompok yang merasa kebutuhan akan rasa keadilan itu begitu penting.
Tetapi ada sesuatu hal yang harus anda sadari, bahwa hukum bukanlah sebuah karya manusia yang bebas nilai. Disini pertempuran antara kepentingan dan kebutuhan akan rasa keadilan begitu kental. Hukum bukan lagi suatu sistem yang mengikuti teks-teks dalam sebuah kitab peraturan. Pada konteks ini seorang pemikir pernah mengemukakan pendapat yang mengatakan bahwa hukum itu bukanlah suatu skema yang final.
Disini saya teringat kepada sebuah pendapat Anwarul Yaqin dalam kritikannya terhadap positivisme (John Austin).” Tidak semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat. Kebiasan-kebiasan yang diperkenalkan pengadilan, sama sekali tidak merupakan ungkapan keinginan pihak yang berdaulat. Kemudian, rasa takut bukan satu-satunya motif yang membuat orang manaati hukum. Terdapat motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti rasa respek terhadap hukum, simpati terhadap pemeliharaan tertib hukum, atau alasan yang sifatnya manusiawi, sehingga orang menaati hukum. Hukum tetap diikuti dalam situasi dimana tidak ada rasa takut untuk ditangkap atau dihukum “.
Pemikiran Anwarul Yaqin itu membuktikan bahwa hukum itu bukan hanya teks-teks yang dikeluarkan oleh negara, tetapi hukum itu juga seperti apa yang dikatakan Holmes “the life of the law has not been logic, its has been experience”. Bukankah ini adalah jawaban dari kasus-kasus unik yang telah saya ceritakan dimuka.
Laiknya konsep Yin dan Yang, dimana ketidakteraturan akan memunculkan keteraturan, inilah sebenarnya yang saya maksudkan dengan istilah “i love chaos” dimana konflik ini memunculkan sebuah pencarian jawaban akan masalah yang dihadapi. Bagaimana dengan “ i hate confused”, seorang teman sempat mengatakan bahwa confused ini adalah bagian dari chaos itu, tetapi tidak bagi saya dalam konteks berhukum.
Confused disini merupakan suatu perilaku dimana kita begitu meangagungkan sebuah teks-teks tertulis sehingga menganggap hukum itu adalah suatu skema yang final. Inilah yang saya katakan kemandekan yang akhirnya menimbulkan ketidakpastiaan dan kebingungan. Hal ini terjadi dikarenkan keunikan dalam setiap kasus-kasus yang dibuat oleh manusia ternyata diluar dari pada sebuah skema teks-teks dalam sebuah peraturan. Oleh karenanya kita tidak bisa menghindari “campur tangan” kekuatan dalam masyarakat dalam suatu “proses hukum”.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment