Oleh: Hendrasyah Putra
Sebagaiamna diketahui, tugas pokok untuk menciptakan keamanan didalam masyarakat sekarang ini merupakan tanggung jawab penuh pihak kepolisian. Setelah dipisah dari TNI, Polri merupakan satu-satunya institusi yang bertugas menjaga dan menciptakan keamanan publik, disamping fungsi Polri sebagai aparat penegak hukum.
Tugas Polri untuk menciptakan rasa aman dan ketertiban masayarakat belum dapat dilakukan secara memadai, sehinga masyarakat belum melihat perubahan dari kinerja polri yang lebih baik.
Semantara itu beban yang sekarang berada dipundak Polri ternyata harus menghadapi kendala yang tidak ringan. Dalam banyak aspek belum semua anggota Polri siap untuk menjalankan visi dan perannya yang baru, karena hal ini berkaitan dengan sikap mental dan budaya institusi yang memerlukan proses dan waktu untuk berubah.
Sebagai contoh kecil, belakangan ini mungkin sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat Kota Pontianak tentang penertiban kelengkapan kendaraan bermotor oleh Kepolisian Lalulintas. Saat ini lagi sunter-sunternya tentang penggalakan pemakaian spion standard sepeda motor, tetapi ada suatu hal yang sangat ironis disini, tetap saja ada warga masayarakat yang tetap kukuh pada pendiriannya untuk tidak menggunakan spion standard tersebut.
Hal ini pula saya temui ketika saya bercakap-cakap dengan seorang teman yang masih kukuh dengan pendiriannya untuk tidak menggunakan spion standard, Ia mengatakan bahwa “polisi saja tidak menggunakan spion tersebut, padahal mereka itu aparat”, begitu kira-kira ucapannya.
Dari pendapat yang di ungkapkan seorang teman tersebut, saya mencoba menarik suatu benang merah bahwa penegakan hukum itu sendiri bukan masalah masyarakat itu mengerti terhadap hukum, taat terhadap hukum dan patuh terhadap hukum. Tetapi adalah bagaiamana tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang mempunyai wewenang terhadap penegakan hukum itu sendiri menjadi suatu contoh dan jaminan rasa aman dan ketentraman warga masyarakat itu sendiri.
Sebenarnya penegakan hukum itu sendiri memang berkaitan erat dengan kesadaran hukum masayarakat itu sendiri pula, selain dari beberapa pondasi-pondasi penegakan hukum seperti faktor regualsi, aparat penegak hukum itu sendiri, faktor sarana dan prasarana dan faktor kebudayaan.
Hal diatas sebenarnya merupakan suatu sisi lain dari tuntutan masyarakat yang tidak sabar melihat kinerja Polri yang masih banyak belum berubah dari pola dan cara-cara lama, sehigga tidak ada kepercayaan bahwa Polri akan mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warga masyarakat.
Hal yang dominan lebih sering muncul adalah rasa ketidaknyamanan dan pikiran bahwa setiap ada suatu razia yang merupakan suatu instrumen dai salah satu penegakan hukum malah disangka suatu proyek atau dalam istilah lokal masyarakat pontianak dikatakan “can tepi”.
Kepercayaan terhadap Polri ini juga kian memudar dengan isu-isu yang beredar dikalangan masyarakat tentang cara-cara rekruitmen anggota Polri yang baru. Mungkin cara-cara yang menyimpang tersebut memang tidak bisa dibuktikan secara tertulis dimuka hukum karena mengingat budaya kesadaran hukum dikalangan masayarakat itu sendiri sangat rendah, walaupun diasamping itu pula sebenarnya masayarakat juga bingung ingin melaporkan hal tersebut kemana, karena hal itu berkaitan erat dengan suatu institusi penegak hukum dimana tempat masyarakat untuk mengadu.
Saat ini sarana hukum dan kelembagaan hukum yang disediakan hanya menjadi suatu komoditi ekonomi yang dapat diperjual belikan. Hal ini sangat disayangkan, mengingat fungsi esensial hukum itu sendiri sebenarnya adalah sebagai alat untuk mengintergrasikan antara berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda agar tidak berkembang menjadi konflik dan anarki.
Jika hukum hendak berfungsi sarana pengintergrasi, ia harus diterima oleh warga masyarakat untuk menjalankan fungsinya itu. Hal ini berarti bahwa anggota masyarakat harus mengakui, bahwa institusi itulah tempat diamana pengintergrasian berbagai kepentingan dilakukan dan oleh karenanya orang pun harus menjadi besedia menggunakan dan memanfaatkannya.
Kinerja hukum dan institusi penegak hukum sampai saat ini masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Institusi hukum yang seharusnya menjadi pengayom bagi warga masyarakat untuk medapat suatu rasa aman dan suatu keadilan sering tidak mampu memberikan harapan bagi mayrakat itu sendiri. akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap institusi hukum dan para aparat penegak hukum itu sendiri nyaris tidak ada lagi, sehingga berdampak pada pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum itu sendiri.
Bayangan terhadap dilematis polisi dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri sperti tergambar pada Dewi Themis dari Yunani yang telah membuka tutup matanya, sehingga dapat membedakan mana yang kaya dan mana yang miskin, mana yang bisa memberikan keuntungan dan yang tidak, dan mana kaum penguasa dan mana rakyat.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment