Oleh: Hendrasyah Putra
Berbicara tentang hukum memang seperti berbicara tentang alien. Hukum seperti mahluk asing yang tidak bisa semua orang kenali dan deskripsikan. Karena dipahami sebagai sebuah alien, maka tak sembarangan orang bisa berbicara tentang hukum.
Rasanya memang tidak adil jikalau hukum yang bersifat alien itu hanya orang-orang tertentu saja yang boleh berbicara tentang hukum. Kita tentunya tak bisa menafikan pendapat dan terjemahan-terjemahan masyarakat tentang hukumnya.
Indonesia yang mengklaim negara hukum dalam konstitusinya dan insyallah akan berulang tahun ke 66 pada tanggal 17 Agustus nanti masih saja meninggalkan beban berat atas nama Negara Hukum itu.
Istilah mafia peradilan sudah ada sejak tahun 60-an, bahkan saat isi istilah mafia sudah berkembang pada mafia pajak, mafia anggaran, mafia pemilu dan mungkin banyak istilah mafia lainnya yang tentunya saya tak bisa sebutkan satu-persatu.
Istilah-istilah mafia yang muncul itu mungkin menjadi sebuah paradoks bagi negara yang menyatakan dirinya adalah negara hukum. Saya menggidik ketika begitu memabaca buku Deny Indrayana yang berjudul ”Negeri Para Mafiso: Hukum Disarang Koruptor”. Setelah membaca buku itu apakah benar inilah tampilan hukum kita? Mengerikan.
Dalam konteks hukum Indonesia yang kekikinian, Saya sempat merasa aneh ketika mantan juru bicara KPK Johan Budi berbicara terkait isu keterlibatan oknum di KPK dengan kasus Nazaruddin. Pada saat diwawancara salah satu stasiun TV swasta ia mengatakan ”fakta hukum” dan ”pendapat hukum menurut masayarakat” itu tidak bisa disamakan, lebih lanjut ia mengatakan bahwa fakta hukum itu ada sebuah proses pembuktian apakah tuduhan yang dilancarkan Nazaruddin itu benar atau tidak.
Memang kita tak bisa menghentikan pendapat yang dikeluarkan oleh masyarakat. Masyarakat memiliki kemampuan sendiri sebagai ahli hukum dalam menilai benar salah suatu kasus dengan versinya sendiri. Disisi lain memang saya kira penilaian masyarakat itu tergantung pada pemberitaan media, pengetahuan dan tentunya rasa keadilan yang dimilikinya.
Secara keilmuan hukum di Indonesia, memang saya akui bahwa ada prosedur yang harus dilewati terlebih dahulu sebelum menyimpulkan apakah yang dituduh itu bersalah atau tidak. Dan hal inilah yang selalu ditampilkan pers sehingga memanacing pendapat masyarakat bahwa ”sarjana hukum itu harus bisa ngomong atau harus bisa bermain kata-kata”.
Hukum kita ketika tampil dalam panggungnya penuh dengan permainan prosedur dan pasal-pasal. Kesalahan sedikit saja maka anda akan dipukul keluar dari panggung itu.
Dalam sebuah pengantar buku Menyelami Hukum Progresif, Arief Sidharta sempat menceritakan kasus pemerkosaan yang dilaporkan ke polisi, karena sipelapor tidak bisa baca tulis dan tidak mengerti dengan prosedur legal formal maka yang menananda tangani laporan tersebut kepala desa. Hasilnya adalah hakim menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima karena yang melakukan pengaduan tersebut bukan bapak atau wali dari si korban.
Mungkin bagi para Sarjana Hukum cukup menjawab ”itulah hukum kita, mau diapakan lagi”. Dilain pihak bagi masyarakat yang tak pernah mengenyam pendidikan hukum akan berpendapat bahwa pengadilan itu tidak adil.
Bagaimana hukum menurut masyarakat? disini saya akan menceritakan kejadian yang saya lihat secara langsung, walaupun mungkin ini tidak bisa menggambarkan hukum versi masyarakat secara keseluruhan.
Tiga minggu sebelum memasuki bulan rhamadan, selagi menikmati makan siang sendirian tiba-tiba terdengar suara keras. Ternyata telah terjadi tabrakan yang melibatkan dua orang pengendara sepeda motor.
Saya langusung berhenti makan dan bergegas menuju tempat kejadian yang kebetulan tak jauh dari tempat saya makan. Disitu warga setempat langsung mengerumuni tempat kejadian tersebut untuk menolong korban kecelakaan tersebut. Warga setempat segera mengangkat kedua korban dan meminggirkannya serta membereskan motor yang terbaring ditengah jalan.
Tak lama kemudian, kerabat salah satu korban datang ketempat itu. Tetapi sesuatu hal yang luar biasa terjadi. Disitu sikerabat salah satu korban kecelakaan tersebut yang ternyata ayah dari korban itu meminta maaf kepada korban lainnya tanpa melihat siapa yang benar dan siapa yang salah. Korban lain itu pun ternyata juga meminta maaf atas kejadiaan tersebut dan kasus kecelakaan tersebut selesai begitu saja.
Tidak ada tuntut menuntut atau caci maki maki disitu, tetapi malah yang muncul memaafkan dan bagaimana mereka menyelesaikan kasus itu tanpa harus menggunakan prosedur hukum dan pasal-pasal. Dari kejadian itu, saya berfikir bahwa inilah hukum pidana yang dicetak oleh masyarakat untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Dahulu saya sempat berfikiran bahwa Hukum kita seperti penuh dengan kebohongan, kemunafikan, tebang pilih dan ketidakadilan. Ternyata hal itu keliru, hukum yang digawangi dengan prosedur dan dimainkan dengan pasal-pasal yang tertera dalam peraturan itu ternyata belumlah cukup menggambarkan sebuah Negara Hukum Indonesia.
Di Indonesia ada pepatah : “Nila setitik merusak susu sebelangga”. Kali ini saya mau mengatakan kalau ada nila itu janganlah dimasukan ke susu, tapi dibuang saja supaya tidak merusak susu. Ini berkaitan dengan berita kejahatan yang terlalu banyak menghiasi layar kaca dan kolom-kolom disurat kabar.
Yang negatif bukan berarti yang positif tidak ada. Saya melihat bahwa yang positif ada walau tidak banyak, sehingga yang negatif tidak terlalu mendominasi kesimpulan masyarakat secara umum bahwa di Indonesia sangat sulit menemukan kebaikan. Ada baiknya menurut saya “buang sementara” yang negatif tersebut, nanti pada saatnya akan ada tempatnya dimana yang negatif harus tampil.
Walau menceritakan sebuah perilaku yang baik di Indonesia menjadi sebuah anomali dan tidak seksi tapi bukankah itu menjadi sedikit obat bagi yang telah dan sedang berupaya membaikan Indoneisa. Setidaknya kita turut berpartisipasi merubah ahlak manusia Indoneisa bahwa kebaikan itu ada. Bukankah munafik rasanya kita ingin membaikan Indonesia tanpa harus membaikan ahlak manusianya terlebih dahulu.
Namun, memang “wartawan” itu pekerjaannya mencari berita. Bagi seorang wartawan bisa berlaku “bad news is good news”. Jadi kadang-kadang meski sedikit sekali bad news-nya, tetap saja diberitakan ada “kejahatan”. Oleh karena itu, saya tulis di sini untuk memberikan hal yang saya ketahui. Semoga bisa memberikan pandangan yang berbeda.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment