Oleh: Hendrasyah Putra
Setahun yang lalu ketika saya berkunjung ke kota Bandung, rasanya kurang afdol jika saya tidak menyempatkan diri untuk berbebalanja pakaian di kota yang terkenal dengan sebutan Paris van Java itu.
Factory Outlet (FO) adalah salah satu tujuan saya untuk berbelanja pakaian. FO yang tersebar di kota Bandung memang banyak menawarkan pakaian yang memancing pelancong untuk membeli atau setidaknya melihat-lihat koleksi yang ditawarkan FO tersebut.
Setelah berkeliling ke FO-FO yang ada di kota bandung, sayangnya saya tak menemukan pakain yang ukurannya cocok dengan ukuran tubuh saya. Kebanyakan ukuran pakaian yang saya jumpai di FO tersebut adalah all size (segala ukuran),ukuran L dan XL.
Disistu saya sempat bertanya kepada salah satu penjaga FO tersebut mengenai ukuran yang saya inginkan, singkat kata si penjaga menjelaskan bahwa ukuran yang saya cari tidak ada, dikarenakan pakaian yang dijual di FO tersebut memang diperuntukan untuk ekspor ke Eropa dan Amerika, sehingga ukuran yang ditawarkan pun adalah ukuran orang-orang Eropa dan Amerika yang secara fisik memang lebih besar dari saya yang orang Asia.
Dari apa yang saya alami tersebut, ternyata ukuran pakaian all size itu tidak menggambarkan kecocokan bagi keberagaman ukuran dan bentuk tubuh manusia. Sempat terbesit dipikiran saya apakah all size versi Asia ataupun khususnya versi Indonesia bisa menjamin kecocokan ukuran bagi orang Indonesia seperti saya? Bisa mungkin bisa juga tidak.
Berbicara tentang all size, saya jadi teringat dengan sahabat karib saya yang kebetulan seorang Sarjana Hukum. Ia pernah bercerita tentang hukum Indonesia yang menganut asas fiksi hukum. Menurutnya, fiksi hukum itu berarti peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan oleh negara menjadi berlaku untuk umum dan tidak ada alasan bagi warga negara untuk tidak mengetahuinya. Dari apa yang diungkapkan dan yang dijelaskan oleh sahabat saya tadi, asas fiksi hukum itu sendiri bagi orang awam tentunya akan lebih dekat dan akrab dengan istilah all size dalam ukuran pakaian.
Dari pengalaman saya diatas, ternyata ada keterkaitan antara ukuran pakain (all size) dan cara pada padang penerapan hukum di negeri ini. Contoh nyata dari hubungan itu adalah seperti pada kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di daerah Sedau. Kisah kecelakaan itu sendiri saya ketahui ketika saya membaca pemberitaan di salah satu surat kabar lokal yang berjudul Usut Tuntas Korban Wisata Rindu Alam” (Berkat, 21/09/11 hal.21).
Setelah membaca berita tersebut, menarik bagi saya untuk melihat apa yang diampaikan Ketua LSM Citra Bangsa, Hery Junairi, SH dalam kritiknya terhadap kecelakaan yang terjadi tersebut. Agar semua pembaca mengetahui, berikut saya akan sampaikan petikan garis besar pemberitaan tersebut yang memancing saya untuk memberikan sedikit pandangan yang berbeda. Berikut adalah petikannya;
“Jangan hanya asuransi saja yang diurus. Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2009, tentang lalu lintas dan angkutan Jalan. Pada Bab VI pasal 2 sangat jelas disebutkan bahwa ayat (1) jalan yang akan dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi jalan secara tehnis dan administratif. Pada ayat (2) dikatakan penyelenggara jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi jalan terdiri atas unsur penyelenggara jalan. Instansi yang bertanggung jawab dibidang sarana dan prasana lalu lintas dan angkutan jalan.”
Dari kritik yang diampaikan oleh Hery Junairi, SH. sebenarnya saya sendiri tidak begitu mempermaslahkan tentang Undang-Undang dan pasal-pasal yang disebutkan itu. Bagi saya fiksi hukum atau dalam ukuran pakain disebut dengan all size itu saya rasa cukup bisa menjelaskan kenapa seorang Sarjana Hukum menerapkan pasal-pasal diatas.
Bagi saya, kritik yang diasampaikan oleh Hery Junairi, SH itu memang sangat kental menggambarkan bahwa ada suatu aturan yang berlaku umum yang diterapkan di seluruh wilayah Indonesia dan tak lupa pula dengan sanksi yang mengancam bagi pelanggar aturan tersebut. Bagi saya, disini terlihat cara berfikir all size begitu menonjol dalam menerapkan suatu peraturan hukm terhadap masalah yang dihadapi.
Tanpa bermaksud untuk membela si pengelola tempat wisata itu, secara pribadi saya agak terusik dengan “cara pandang berhukum ” yang seperti itu. Terlebih lagi ketika ada penggunaan salah satu pasal yang menyebutkan “jalan yang akan dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi jalan secara tehnis dan administratif”. Bagi saya cara pandang seperti ini sangat berbahaya dan hanya akan menimbulkan persoalan baru.
Bagi saya pribadi, cara pandang seperti itu agak kurang begitu mengena di hati. Cara pandang seperti itu tentu akan membenturkan sebuah ukuran-ukuran yang beragam secara paksa kedalam ukuran yang bersifat umum itu. Inilah yang saya katakan bahwa dalam menerapkan sebuah hukum sama halnya seperti kita mencari ukuran pakain yang cocok untuk anak, orang dewasa, orang asia atau orang eropa sekalipun.
Bagi pembaca yang sering atau pernah pulang pergi dari Pontianak menuju Sintang melintasi jalan tayan, tentu sudah hafal betul dengan kondisi jalan yang cukup buruk itu. Sepengetahuan saya, sampai saat ini jalan dari daerah sekadau hingga ke Tayan masih sangat jauh dari kata “laik”.
Dibenak saya timbul sebuah pertanyaan, mengapa jalan yang rusak itu masih di operasikan? Bukankah sebenarnya pemerintah mengetahui bahwa “jalan yang akan dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi jalan secara tehnis dan administratif”, bukankah pemerintah juga mengetahui batasan-batasan yang diatur dalam Undang-Undang lalu-lintas jalan raya?
Seperti apa yang pernah saya sampaikan dalam tulisan “jangan salahkan rok mini”, bukankah permasalahan lalu-lintas jalan itu juga begitu kompleks. Rasanya dengan melihat suatu permasalahan dengan menggunkana kacamata undang-undang saja menjadikan kita masuk kedalam golongan orang yang menggunkan kacamata kuda model baru dalam berfikir.
Dengan kacamata kuda model baru itu, maka kita tidak akan bisa menjawab mengapa lalu-lintas dari Sintang menuju Pontianak yang sebagian besar jalannya rusak parah tetap terus berjalan. Permasalah ini pun menjadi bertambah rumit untuk dijawab ketika dalam kondisi jalan yang rusak itu Polisi Lalu-lintas tidak serta-merta menghentikan arus lalu lintas dengan alasan jalan tidak laik pakai.
Kenyataan memang terbalik dengan apa yang diamanatkan dalam sebuah teks undang-undang. Saya sendiri tidak bisa membayangkan jika undang-undang lalu-lintas itu dipaksakan untuk diterapkan. Dampaknya tentu akan menjadi besar, salah satunya akan sangat terasa diamana kebutuhan hidup masyarakat di bagian perhuluan Provinsi Kalimantan Barat akan meningkat drastis. Disisi lain adalah sektor perekonomian akan terancam lumpuh.
Mungkin kita akan bertanya-tanya apakah undang-undangnya yang terlalu modern, infrastruktur yang tidak siap, pengguna jalan yang tidak patuh/taat ataukah kompleksitas itu semuanya mempunyai pengaruh dalam baik buruknya lalu-lintas jalan? Saya pikir semua itu memang mempunyai pengaruh dan tempatnya masing-masing dalam berbagai konteks keunikan permasalahan yang muncul dalam lalu-lintas jalan.
Kekerasan hati untuk bersikukuh dan beranggapan bahwa all size itu sudah cukup untuk menjawab kebutuhan akan perbedaan ukuran dan bentuk tubuh manusia, sesungguhnya hal itu hanya akan akan menuntun kita pada sebuah tembok kekecewaan seperti apa yang saya alami ketika ingin berbelanja di FO. Hemat saya, akan lebih baik ketika kita mau melihat sebuah permaslahan yang muncul itu dari berbagai sudut pandang sehingga kita bisa lebih arif dalam meletakan sebuah titik keadilan.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment