Hendrasyah Putra
Salah Satu Kegagalan Hukum Dalam Mengatur Adalah Apabila Ia Menuntut Manusia Untuk Berbuat Diluar Kemampuan Yang Ada Pada Manusia (Lon Fuller)
Begitu cepat zaman berubah, banyak yang mengatakan saat ini kita sudah memasuki era globalisasi. Saat ini rasanya segala sesuatu harus dapat diperhitungkan. Tentunya fenomena ini tanpa disadari telah menjadi santapan kita sehari-hari.
Misalnya hasil survey yang tampil dalam setiap iklan komersial, dengan jargon yang mungkin sudah tak asing dimata dan telinga anda seperti “7 dari 10 orang di Indonesia dst...”. Walaupun kita tidak tahu entah darimana datangnya angka-angka hasil survey tersebut, tetapi sesungguhnya hal ini sedikit banyak berpengaruh kepada masyarakat.
Saat ini bukan saja dunia ekonomi yang ingin segala sesuatunya harus dapat diperhitungkan, politik dan hukum pun ikut-ikutan mengikuti jejak dari dunia ekonomi tersebut.
Sadarkah anda ketika pemilu berlangsung, begitu banyak hasil-hasil survey menghiasi layar kaca telivisi anda. Pada saat itu mungkin kita tidak mengetahui dari mana datangnya hasil survey dan metode apa yg digunakan dalam survey tersebut, tetapi hasil survey yang sudah ada dalam bentuk angka-angka dan dikemas dengan tampilan yang menarik itu sudah memberikan pengaruh kepada kita tentang gambaran kira-kira siapa yang lebih dijagokan atau siapa yang akan memenangkan pemilu.
Terakhir saya pernah membaca berita disalah satu media cetak lokal Kalbar, ketika itu hasil survey disampaikan oleh Kepolisian, yang menyatakan bahwa dengan menyalakan lampu disiang hari mampu menurunkan tingkat kecelakaan di jalan raya. Saya pikir hasil survey yang disampaikan ini bertujuan untuk menguatkan “peraturan” lalu lintas yang baru.
Bukan dalam artian saya tidak setuju dengan sebuah “survey” atau dengan peraturan lalu lintas yang baru itu, tetapi saya sangat terusik dengan “cara penerapan” peraturan itu. Mengapa? Sadarkah anda bahwa penerapan peraturan itu tentunya harus melihat konteksnya secara sosiologis, geografis dan tak lupa pula dengan infrastruktur yang menopang lalu lintas itu pula?
Bayangkan saja untuk daerah-daerah yang tidak memiliki kondisi jalan yang baik kemudian ditambah lagi dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah diterapkan peraturan tersebut. Dengan alasan bahwa “asas fiksi peraturan” maka masyarakat yang tidak pernah melihat “teks-teks peraturan lalu lintas” itu dijerat dengan hukuman yang cukup menguras isi kantong.
Pantaskah kita memberikan alasan bahwa dengan sebuah hasil “survey” sudah cukup untuk mengatakan sebuah peraturan itu baik? Seakan disini kita berhukum dengan sebuah metode-metode statistik yang diharapkan dapat memperhitungkan hasil dari penerapan sebuah peraturan.
Sadarkah anda bahwa cara berhukum bangsa ini sudah berubah menjadi suatu cara seseorang berdagang dimana segala sesuatunya harus dapat diperhitungkan untung dan ruginya. Mungkin benar dengan apa yang pernah dikatakan Weber bahwa “kapitalisme itu sebagai penyebab terjadinya perubahan dalam tipe hukum dari tradisional menjadi modern. Kapitalisme menuntut suatu tatanan normatif dengan tingkat yang dapat diperhitungkan (calculability)”.
Tentunya karena hukum di Indonesia saat ini sangat identik dengan hukum tertulis maka sintesis Weber tentang “hanya hukum modern yang rasional yang bersifat logis yang mampu memberikan tingkat perhitungan yang dibutuhkan” telah menjawab cara berhukum di Indonesia saat ini.
Dengan cara berhukum seperti ini sesungguhnya tanpa sadar kita telah memasung diri sendiri. Dengan demikian sebagai manusia kini kita tak ada bedanya lagi dengan sistem operasi (Operation System) pada komputer. Segala sesuatunya begitu teratur menurut apa yang telah dirancang oleh si pembuat sistem tersebut.
Mungkin inilah yang disebut hukum sebagai “alat rekayasa sosial”. Sampai disini saya tidak akan menyalahkan pendapat anda jika anda meyakini bahwa cara berhukum dengan sistem operasi komputer tersebut akan membawa keteraturan dalam kehidupan manusia.
Untuk itu saya akan membawa anda untuk melihat kepada sebuah cara berhukum manusia dan cara berhukum sistem operasi komputer di negara tetangga kita Australia.
Seorang polisi senior dan seorang polisi junior berpatroli dengan mobil. Saat itu mereka mendapati panggilan dari sebuah rumah. Begitu turun dari mobil, si polisi senior langsung berlari menuju rumah dan mendobrak pintu lalu masuk. Ternyata lantai sudah digenangi bensin dan sudah terjadi sulutan api, dengan sigap si polisi senior menarik penghuni untuk diselamatkan.
Sesudah masalah diatasi, sang polisi junior bertanya, mengapa tidak meminta surat izin untuk memasuki rumah terlebih dahulu, mengapa langsung mendobrak pintu? Mengapa anda tidak bertindak dengan asas “due process of law?”, Sang senior menjawab, “Hukum apa? Undang-undang? Ada nyawa manusia yang harus diselamatkan dan itu jauh lebih penting daripada memikirkan teks-teks hukum!”
Dalam contoh tersebut cara berhukum manusia keluar dan melepaskan segala apa yang telah diatur dalam teks-teks yang tertulis itu karena disitu si Polisi Senior menyadari pada waktu itu “konteks menyelamatkan nyawa manusia lebih penting daripada menegakan teks-teks dalam peraturan. Bagaimana dengan cara berhukum dengan sistem operasi komputer? Lihatlah perilaku si Polisi junior yang bingung dengan ulah si Polisi Senior yang tidak meminta surat izin untuk masuk.
Bagaiamana dengan cara kita berhukum? Saat ini hemat saya, tesis Lon Fuller yang menjadi pembuka tulisan ini rasanya tidak terbantahkan lagi. Ketika anda mendengarkan pembacaan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada hari-hari besar nasional yang dihargai dengan hari libur nasional itu maka sesungguhnya cita-cita yang diamanahkan itu hanya menjadi pemenuhan pengandaian pepatah “jauh panggang dari api”.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment