Oleh: Hendrasyah Putra
Susah,
Beberapa waktu yang lalu saya sangat dirasukan dengan kelangkaan BBM (bahan bakar minyak) yang diikuti dengan naik nya harga BBM. Kebetulan saya pengguna kendaraan roda dua yg menggunakan bahan bakar premium.
Didaerah saya, harga per-liternya premium mencapai Rp. 12.000. harga tersebut cukup menguras isi kantong saya selama kelangkaan premium terjadi.
Menurut saya, dikatakan langka tidak juga, karena para pengecer masih bisa mendapatkan BBM dan kemudian menjualnya dengan harga yg fantastis. Ini artinya BBM tidak lah langka, tetapi banyak yg menyimpan BBM secara berlebihan untuk dijual kepada konsumen dengan harga yang tinggi demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Bebarapa media cetak mengungkapkan kelangkaan BBM terjadi dikarenakan adanya sebuah kapal yg karam di muara jungkat, sehingga alur pasokan BBM dari pertamina terhambat. Alasan yang cukup rasional, mengingat Kal-bar bukanlah daerah penghasil BBM.
Menurut saya, Mungkin hal ini bisa juga dikatakan bencana, mengapa? karena dengan tenggelamnya kapal di muara jungkat itu bisa menimbulkan dampak sistemik pada perekonomian masyarakat Kal-Bar.
Senang,
Dari datangnya bencana kapal tenggelam di muara jungkat tersebut, ada beberapa pihak yang mengambil keuntungan. Beberepa pihak itu, seperti pengecer BBM atau pengumpul kulat. Mereka ini terkesan menikmati bencana yang datang.
Pengecer BBM, dengan berbagai keluhan “ambel dari SPBU nye dah mahal” terpaksa menjual BBM dengan harga yang mahal tetapi dengan sebuah “senyum” diatas ebncana yang datang atau pengumpul kulat dengan alasan “tak bisa kirim barang ke jawa karna kapal masih karam di muara jungkat”, mereka membeli dari petani kulat dengan harga yang cukup murah.
Saya sangat prihatin dengan kejadian-kejadian seperti ini, menurut saya ini mengambarkan perilaku dimana kita senang melihat orang susah, dan susah melihat orang lain senang.
Mungkin ini hanya gambaran dari jurus “aji mumpung” bagi orang-orang yang ingin memperkaya dengan memanfaatkan kesusahan orang lain. Mungkin anda-anda sekalian pernah mengalami dipersulitnya mengurus pemasangan sambungan listrik/telpon baru, atau repotnya proses balik nama kendaraan/tanah, atau besarnya biaya legalisir surat-surat tertentu yang anda butuhkan untuk melamar pekerjaan atau hal-hal darurat lainnya.
Si pelaku hanya mengatakan “seikhlasnya” diikuti dengan mimik memeras sehingga anda dengan berat hati mengeluarkan isi kantong untuk merubah mimik memeras itu menjadi sebuah senyuman manis diatas kesusahan anda.
Tajam,
Tajam, bukan hanya sebilah pedang yg mempunyai sifat tajam. Hukum memiliki juga sifat tajam itu. Kita bisa melihat ketajaman hukum itu dalam kasus “Prita Mulyasari”, kasus “pencurian semangka” dan kasus “pencurian sebuah kakau”.
Begitu tajamnya hukum itu sehingga tergambar hukum itu dipakai untuk menindas orang-orang yang tidak mempunyai modal, kekukuasaan dan/atau dekat dengan kekuasaan.
Dalam kondisi seperti ini, saya setuju dengan beberapa pendapat ahli hukum yang mengatakan bahwa kondisi ini disebut sebagai anarki. Alih-alih sebagai penegakan hukum (law enforcement) malah menimbulkan perlawanan dari masyarakat terhadap keadilan (due proces law) dan kesamaan di muka hukum (equality before the law).
Secara sosiologis, didalam masyarakat berkembang adagium bahwa hukum itu “tajam kebawah”. Disini saya kutip pendapat Prof. Tjip. Iya mengatakan bahwa “kekusaan yang memerintah bersifat menindas, apabila menyampingkan kepentingan-kepentingan dari mereka yang diperintah, yaitu tidak mau mengakui keabsahan dari kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam keadaan demikian keadaan warga negara lemah dan mudah menjadi bulan-bulanan dari kekuasaan yang memerintah. Dari pendapat ini, saya berharap bisa menyadarkan anda, bahwa penindasan itu ada dan saya harapkan anda tidak terbuai dengan adagium “Indonesia adalah negara hukum bukan negara berdasarkan kekuasaan belaka”.
Tumpul,
Tumpul, begitu tumpulnya hukum kita jika dhadapkan pada politik penguasa dan pemilik modal. Mengapa demikian? Menurut hemat saya hal ini disebabkan tidak sehat nya politik di indonesia, dimana lembaga legislatif lebih dekat kepada tawar menawar kepentingan politik dan pemilik modal daripada kebenaran dan keadilan yang menjadi beban bersama lembaga yudikatif dan eksekutif. Hal ini menyebabkan hukum mempuyai posisi yang lemah jika dihadapkan dengan politik.
Kasus Gayus Tambunan, Nunun dan Nazaruddin jelas mengambarkan begitu tumpulnya hukum itu jika berhadapan dengan politik. Disini tergambar dimana otoritas pemegang kekuasaan begitu tergantung kepada tawar menawar politik yang terjadi di senayan.
Ingatkah anda dengan kasus jalan-jalannya gayus keluar negeri dengan status tahanan, kemudian dengan kejadian “hilang ingatan akut nya nunun”, dan kasus suap Nazarudin beserta informasi aliran uang haram yang beredar dikalangan petinggi Partai Demokrat.
Hal ini mengingatkan saya pada “politik konkordansi” yang dicetuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengatur tatanan sosial di masyarakat. Sekarang anda bisa melihat dimana peradilan hanya menjadi peradilan strata-strata yang dapat dilihat jelas ketika strata-strata tersebut berperkara. Pembagian strata itu begitu mengiris hati jika kita lihat yang berperkara itu Miskin dan kaya, maling ayam dan koruptor, penguasa dan rakyat jelata.
Mengapa dan Bagaimana?
Dari kasus susah dan senang, disini saya mencoba menggambarkan apa yang terjadi dengan mengutip pendapat Mc Kenzie & Tullock, “dimana seseorang akan mengambil keputusan yang rasional dihadapkan kepada suatu lingkungan tertentu”. Menurut saya lingkungan tertentu ialah dimana kondisi seseorang bisa mendapatkan keuntungan dengan memperkosa atau merampas hak orang lain.
Selanjutnya menurut Prof. tjip “secara ekonomis bisa dikatakan penyelewengan penggunaan sumber daya ke dalam perampokan dan pertahanan diri merupakan pemborosan, karena sumberdaya–sumberdaya tersebut direnggutkan dari penggunaan secara produktif”. Dari peristiwa tenggelam nya kapal di muara jungkat diatas, sesunguhnya saya ingin menyampaikan dimana terjadi perampokan demi keuntungan pribadi yang pada akhirnya berdampak sistemik pada keseluruhan cabang perekonomian di Kal-Bar.
Sekiranya “kita” ingin menjadi pribadi yang lebih baik tentunya dengan “tidak merampok” atau “memperkosa hak orang lain” kita tidak akan antri di SPBU, tidak membeli BBM dengan harga yang fantastis atau tidak menemukan hambatan-hambatan dalam mengurus sambungan listrik/telpon baru dan sebagaimana saya gambarkan diatas.
Tragedi di Jepang adalah contoh konkrit dimana “perilaku memanusiakan manusia” lebih baik ketimbang aji mumpung, dimana ketika gempa bumi dan stunami melanda secara simultan dan dikuti lagi dengan bencana reaktor nuklir di fukushima tetapi kita bisa melihat bahwa tidak adanya penjarahan di supermarket, kemudian antrian BBM yang tertib bahkan penjual susie merubah bentuk rumah makannya menjadi penjual bahan makanan dasar hanya untuk meringankan beban saudaranya yaang sama-sama tertimpa musibah.
Memang keuntungan yang didapat tidak serta merta datang, karena orang Jepang rela susah sama susah dan kemudian senang bersama. Beda halnya dengan kita, yang ingin senang ketika orang lain susah dan sangat benci ketika orang lain senang. Selama perilaku ini tak dirubah, maka negara kita hanya bisa berjalanan di tempat.
Bagaiamana dengan tajam dan tumpul? Harus kita sadari bahwa Politik hukum memang dalam sebuah negara sedang berkembang sangat berpengaruh dalam terjadinya sebuah ketertiban. Hal ini kiranya sudah pernah diprediksikan oleh Nonet &Selznick, mereka berpendapat bahwa dalam sebuah negara berkembang dimana sektor politik nya tidak sehat, maka jika politik dihadapkan dengan hukum, maka hukum akan tunduk pada politik.
Singkat kata, dalam tatanan politik yang tidak sehat seperti ini, para elite politik hanya menjadikan hukum sebagai pentungan untuk memukul pada penjahat kelas teri dan masyarkat jelata sehingga hal ini kita kenal dengan adagium “hukum itu tumpul keatas tapi tajam kebawah”.
Secara garis besar saya mengutip sebuah adagium yang kiranya tepat untuk kondisi Indonesia saat ini diamana “Buruk rupa cermin dibelah”. Indonesia bukannya tidak belajar dari sejarah tentang hal-hal baik dan buruk. Indonesia bukannya tidak melihat bagaimana hebatnya Jepang dalam menghadapi masalah, hebatnya Amerika Serikat, Majunya Jerman. Indonesia secara garis besar lebih senang menonton kehebatan, kedisiplinan dan kemajuan negara lain daripada melakukan tindakan kebaikan.
Paradoks, itulah yang terjadi pada Indonesia saat ini, bahkan saya pernah membaca sebuah buku yang mengatakan kondisi seperti ini dikatakan sebagai sebuah “tongkrongan global paradigma lokal”. Baik atau buruknya Indonesia saya kira sangat tergantung kepada “kita” yang harus memilih merubah diri menjadi pribadi yang lebih baik. Jika anda memilih tidak berubah menjadi pribadi yang lebih baik, maka jangan harap Indonesia bisa bertahan lebih dari 70 tahun.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment