Wednesday, November 23, 2011

BUKAN SAKITNYA TAPI SEBABNYA



Oleh: Hendrasyah Putra

Sudah bosan rasanya ketika saya mendengar keluhan masyarakat tentang berbagai hal buruk yang muncul di negeri ini. bagi saya hal ini sama halnya dengan manusia yang mengeluhkan sakitnya yang tak sembuh-sembuih kepada seorang dokter.
Sakit, siapapun pasti mengeluh kalau dirinya sakit. Tapi apakah hanya sebatas sakit saja yang kita keluhkan dan membiarkan sakit itu datang lagi dan lagi? Tentu bagi manusia yang berfikir hal ini memicunya untuk mencari tahu apa yang menyebabkan dirinya sakit.
Bagi manusia yang berfikir, mencari sebab dari sakit yang dideritanya akan menjadi lebih penting agar si manusia itu dapat menghindari dari penyakit yang sama. Bukankah hal yang seperti ini sebenarnya sudah sering kali kita dengar dengan istilah “lebih baik mencegah dari pada mengobati”.
Jika boleh saya andaikan bahwa obat itu adalah peraturan dan yang menjadi penyakit itu adalah segala keburukan, maka akan timbul sebuah tanda tanya besar. Tanda Tanya dimana obat yang telah di berikan kepada si penderita sakit sudah begitu banyaknya tetapi sakitnya tidak sembuh-sembuh juga.
Saya makin prihatin ketika membaca sebuah pemberitaan di surat kabar yang berjudul “Kasus Korupsi Makin Banyak, KPK Butuh Penyidik dan Jaksa”(www.republika.go.id). Dalam pemberitaan tersebut diceritakan bahwa ketua KPK memberitahukan tentang penambahan personil di KPK  disebabkan karena begitu banyaknya jumlah kasus korupsi di Negeri ini.
Saya sendiri sebenarnya bingung dengan timbulnya fenomena diatas. Idealnya dengan dibentuknya KPK harusnya kejahatan yang luar biasa itu (korupsi) semakin berkurang. Timbul pertanyaan di benak saya, mungkin KPK bukanlah obat atau penangkal yang cukup mujarab bagi penyakit yang kita sebut dengan kejahatan luar biasa itu. Atau mungkin KPK belumlah cukup luar biasa untuk menandingi kejahatan luar biasa itu.
Rasanya hati ini semakin hilang harapan, mungkin hal ini disebabkan gara-gara kebiasaan saya yang selalu mengikuti acara reportase setiap hari Sabtu dan Minggu sore. Acara tersebut sendiri berisikan tentang kecurangan atau kejahatan yang dilakukan oleh Si penjual makanan dengan menambahkan zat berbahaya pada makanan yang dijualnya. Setiap kali saya menonton acara tersebut, saya tak habis pikir, kenapa mereka begitu tega melakukan kejahatan terebut. Dan yang lebih menyakitkan adalah, manusia yang menyakiti itu sadar dan mengetahui jika perbuatannya itu salah.
Dengan alasan orang lain juga seperti itu (sesama penjual makanan) maka cukuplah hal itu menjadi alas an pembenar bagi Si manusia jahat itu untuk melakukan aksinya. Bagi saya hal ini sangat mengerikan. Mengerikan dimana sebagian besar yang menjadi korban dari perbuatan jahat mereka itu adalah anak-anak Indonesia.
Bagaimana mungkin bangsa ini akan menjadi baik jika anak-anak yang menjadi  generasi penerus bangsa di rusak oleh orang-orang tua di negeri ini. Mungkin inilah yang pernah di ramalkan oleh Bung Karno, dahulu Ia pernah mengatakan "Perjuanganku lebih mudah karena melawan panjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”.
Saya tidak habis pikir jika melihat kasus korupsi dan kasus makanan yang mengandung zat berbahaya itu. Tidak habis pikir dimana pelaku korupsi itu sendiri didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi atau sudah berkecukupan, sedangkan pelaku penjual makanan yang mengandung zat berbahaya itu didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan rendah serta memiliki penghasilan yang pas-pasan.
Bangsa ini selalu mengeluh sakit. Selalu saling menuding. Dan selalu saling menyalahkan. Pada titik ini saya melihat bangsa kita hanya berkutat dengan sakit nya saja. Sepertinya kita lebih senang jika terus mengeluh “sakit” daripada mencari apa yang menyebabkan sakit itu sendiri.
Saya sangat prihatin sebenarnya dengan keadaan seperti ini. keadaan dimana kita lebih mementingkan untuk merubah sistem (struktur) dan mencetak sebanyak-banyaknya peraturan (substansi) yang mengatur sampai ke titik sel sekalipun. Inilah yang saya katakan bahwa kita sibuk dengan pembuatan obat daripada melakukan mencari tahu sebab dan melakukan pencegahan.
Tanpa kita sadari pembuatan obat yang diperentukan untuk melawan segala penyakit yang diderita bangsa ini menjadi sia-sia. Menjadi sia-sia dimana bangsa ini selalu mengeluh kesakitan karena penyakit yang dideritanya itu semakin mengganas. Kenapa saya katakana mengganas? Mengganas disini saya maksudkan dalam perilaku orang Indonesia yang “doyan mengakali” peraturan dan sistem yang telah dibuat itu.
Perilaku seperti ini (doyan mengakali) bukan lagi tend to corrupt, tetapi sudah pasti corrupt absolutely. Dalam titik ini, saya melihat ada sesuatu yang telah ditinggalkan bangsa ini. dan hal itu sebenarnya sangat sangat penting.
Kita telah melupakan yang namanya kultur. Kita secara perilaku sudah menghapuskan yang namanya gotong-royong, tolong-menolong dan saling mnghormati. Selama ini kita hanya terfokus untuk membuat dan memperbaiki substansi (peraturan) dan struktur (sistem), tetapi kita lupa betapa pentingnya untuk terlebih dahulu memperbaiki kultur (moral).
Bagi saya, rusaknya moral adalah sumber dari segala terciptanya keburukan di negeri ini. saya kira dana otonomi khusus yang tidak memberikan dampak kesejahteraan dan kemajuan pada kasus di Papua cukup memberikan jawaban kenapa rusaknya moral menjadi sumber dari terciptanya keburukan itu.
Bangsa ini saya kira tidak ada pilihan lain selain memperbaiki moralnya terlebih dahulu, dan itupun jika kita memang serius hendak memajukan negeri ini.  
Mungkin ada yang beranggapan hal ini sangat berat untuk dilakukan. Saya pun sering kali mendapat cibiran dan cercaaan ketika saya mengatakan memperbaiki moral itu utama. Saya sendiri meyakini hal itu, bukankah dahulu Rasulullah SAW turun ke bumi untuk memperbaiki moral terlebih dahulu, bukan struktur atau substansi. Bagi saya hal yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk membaikan negeri ini adalah dengan memperbaiki diri kita terlebih dahulu. Dan bukankah mengetahui sebabnya dan mencegahnya akan lebih baik daripada mengobatinya? (*Pontianak Post, 22 November 2011)


2 comments: