Wednesday, June 13, 2012

I BREAKING OF HABBITS


Oleh : Hendrasyah Putra

Sudah ganti makanmu, itulah kata-kata yang disampaikan oleh seorang pelawak (Tukul) yang membintangi salah satu iklan layanan masyarakat. Ketika menonton iklan layanan masyarakat yang beberapa minggu belakangan ini sering diputar pada stasiun televisi, terbesit dipikiran saya bahwa ada usaha dari pemerintah untuk mengganti kebiasaan atau mungkin ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras.
I breaking of habbits, sebuah lagu yang pernah di populerkan oleh Linkin Park ini terus memicu saya untuk lebih sensitive lagi dengan melihat realitas yang tentunya sangat mudah ditemukan dalam sebuah laboratorium raksasa yang kita sebut dengan Indonesia.
Ancaman akan pemanasan bumi, kekurangan pangan dan krisis bahan bakar telah menjadi hantu di seluruh dunia. Langkah-langkah strategis pun diambil oleh negara-negara dunia termasuk pula Indonesia.
Maka, dalam pada itu Presiden Yudhoyono mencanangkan Gerakan Nasional Penghematan Penggunaan Energi, sebagaimana dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono meminta agar gerakan hemat BBM dan listrik diikuti seluruh elemen masyarakat, termasuk unsur pemerintah pusat dan daerah.
Pers, melalui media cetak, elektronik dan televisi belakangan sempat menjadikan trending topik tentang Gerakan Nasional Penghematan Penggunaan Energi, hal ini terbukti dengan begitu banyaknya pemberitaan yang mengangkat kebijakan daerah atau Kepala Daerah yang menggunkan kendaraan umum dihari-hari tertentu untuk berangkat ke kantornya.


Mobil Dinas Presiden RI
Ketika kita berbicara tentang penghematan yang di himbau oleh pemerintah, adalah sebuah hal baik tetapi sayangnya sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Adalah sebuah Ironi dimana Pemerintah yang menghimbau untuk beririt akan bahan bakar minyak tersebut, tetapi mobil-mobil mewah seperti Mercedez-Benz, Toyota Crown, Toyota Corolla, Toyota Fortuner, Nissan Terrano, Nissan Extrail, Honda CR-V berkeliaran dengan menggunakan plat merah dan tentunya dengan konsumsi bahan bakar yang boros.
Plat merah yang menandakan mobil tersebut milik negara/rakyat, ternyata lebih mengindikasikan sebuah simbol kesombongan dan pemborosan. Bukankah ini sesungguhnya begitu bertentangan dengan apa yang telah dihimbau oleh pemerintah itu sendiri. Apakah ini yang dinamakan dengan cara berhemat?
Tak salah kiranya kita bertanya-tanya tentang kredibelitas dan integritas pihak-pihak yang menggunkan fasilitas negara tersebut. Tidak hanya sampai disitu saja, belakangan muncul keluhan pelayan masyarakat terhadap “kecilnya” gaji yang mereka terima, sehingga hal tersebut berdampak pada kinerja yang tidak maksimal, bahkan lebih gilanya lagi dapat mendorong mereka untuk berbuat korup.
Menurut hemat saya, akan jauh panggang dari api jika pemerintah menghimbau rakyatnya untuk berhemat, tetapi dalam keseharian mereka begitu boros dalam menggunkan fasilitas negara.
Pada titik ini saya jadi teringat dengan wawancara  Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad ketika diwawancarai oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya. Berikut adalah petikan percakapan antara reporter TV Fox dan Presiden Ahmadinejad :
Reporter           : Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan
                            pada  diri anda?
Ahmadinejad   : Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya."Ingat,
  kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan
  tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran .

Kau tak lebih dari seorang pelayan, dan bukan kata sebagai “kau adalah seorang pemimpin”. Sebuah perilaku yang tentunya sangat luhur dan patut di contoh ketika seorang pemimpin mendedikasikan dirinya untuk melayani rakyatnya.
Kata-kata yang dilontarkan Priseden Ahmadinejad tersebut bukanlah sekedar pepesan kosong belaka. Apa yang diakatakannya tersebut tercermin dalam kesehariannya yang begitu sederhana.
Sebagai Presiden di negeri yang kaya akan minyak,  Ia bahkan tidak memiliki mobil pribadi yang lebih baik daripada mobil dinas Camat di Indonesia. Jika kita ketahui mobil dinas Camat yang sering kita jumpai sekelas Innova/avanza/xenia/terrios/rush, mobil Priseden Ahmadinejad hanyalah sebuah mobil Peugeot 504 buatan tahun 1977, dan tentunya bukan mobil baru, melainkan bekas!




Mobil Dinas Camat disalah satu Kabupaten di Indonesia




Mobil Pribadi Presiden Iran
Perbandingan tentang penghematan Indonesia dan iran semakin menunjukan jurang yang begitu menganga. Tentu pembaca sekalian masih ingat pada beberapa waktu yang lalu dengan pembelian pesawat Kepresiden. Pesawat yang begitu mahal harganya tersebut tetap diadakan meski kondisi ekonomi dan masyarakat Indonesia yang carut-marut.
Hal yang begitu bertolak belakang dengan kondisi Iran. Priseden Ahmadinejad malah mengeluarkan kebijakan tentang Pesawat Terbang Kepresidenan, Ia malah mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat “menghemat pajak masyarakat” dan untuk dirinya, Ia bahkan meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan “kelas ekonomi”.
Dengan perilaku yang sesuai dengan ucapan, serta dengan kesederhanaan maka tak heran jika  Ia begitu dicintai rakyatnya, karena Ia lebih mementingkan memperbaiki ekonomi negara ketimbang bidang-bidang lain dan memperjuangkan setiap pendapatan minyak bumi agar jatuh ke meja makan rakyat Iran.
Dibelahan bumi lainnya, dimana tempat laboratorium terbesar di dunia (Indonesia), dimana Pemerintahnya memiliki stigma buruk dimata rakyatnya adalah sebuah fakta atas segala akibat dari perilaku dari para pemimpinnya.
Dalam pemberitaan di equator  tanggal 12 Juni 2012, pada halaman 5, diberitakan bahwa “Citra Dewan Makin Jeblok”. Isi dari berita itu sendiri adalah sebuah hasil survei oleh Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) tentang lembaga yang terkorup di Indonesia.
Hasil survei tersebutpun kiranya sudah tidak lagi membuat kita terkejut. Adalah DPR dalam peringkat teratas dalam korupsi diikuti oleh Ditjen Pajak, Kepolisian dan Kejaksaan.
Citra buruknya para pemimpin Indonesia (tercermin pada lembaga negara yang begitu korup) ini kiranya sangat begitu relevan dengan perilaku masyarakat yang juga acuh tak acuh jika dinasehati oleh para pemimpin yang mereka anggap buruk.
Pada titik ini, saya berfikiran bahwa wajar kiranya bagi masyarakat jika mereka menimbun bahan bakar minyak atau mengoplos gas untuk kepentingan pribadinya. Adalah alasan ekonomi yang menjadi dasar utama tindakan mereka itu. Dan bukankah hal ini adalah saudara kembar alasan bagi pihak pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) ketika mereka beralasan gaji kecil serta fasilitas tidak memadai?
Dahulu, Indonesia juga memiliki pemimpin-pemimpin yang memiliki integritas dan kualitas. Sebut saja mantan Kapolri almarhum Jendral polisi Hoegeng dan Almarhum mantan Jaksa Agung Baharudin Loppa.
Naik ojek ke kantor atau menolak pemberian yang tak jelas asal usulnya bukanlah hal tabu bagi mereka. Pengabdian dan memberikan pelayanan bagi bangsa dan negara tentunya menjadikan perilaku terhormat mereka ini akan selalu dikenang dan didambakan oleh orang-orang yang cinta akan Indonesia.
Kisah mereka ini tentunya hanya sekelumit dari orang-orang baik yang kebetulan terangkat dan ditulis oleh pena. Diluar sana tentunya masih banyak lagi manusia-manusia Indonesia yang memiliki Integritas dan Kualitas. Tentunya Tugas Kita untuk mendorong dan mengangkat kepermukaan orang-orang seperti ini.
I breaking of habbits, tentunya ini adalah langkah awal kita untuk merubah diri dan Indonesia dari segala kebiasaan buruk. Saya kira sudah saatnya kita meninggalkan alasan-alasan kerdil untuk lebih membaikan Indonesia. Indonesia yang aman, damai dan sejahtera bukanlah suatu keniscayaan jika kita  (dan tentunya pemerintah) berani memulai untuk meninggalkan kebiasaan buruk kita. Selamat mencoba.

2 comments:

  1. hmmm pelayan bukan pemerintah pernah di gagas oleh bung hatta, sayang ide tersebut tidak digunakan hingga diganti pemerintah,menarik di kaji beberapa orang seperti, hatta, moh natsir dan tentunya Ahmadinejad memilki kehidupan sederhana atau Zuhud berkorelasi dengan tingkat nilai keagamaan yang cukup tinggi

    ReplyDelete
  2. yoi gan. btw penggunaan kata-kata pelayan itu juga sebenarnye ane gunakan dari pendekatan orang-orang jepang yang didasari dengan samurai (pelayan), untuk indonesia, kata pemerintah lebih kental dengan penguasa (raja2) yang lebih cenderung harus dilayani, sehingga hal-hal seperti protokoler yang panjang lebar tetap ada, meskipun hal tersebut pernah coba di hilangkan oleh belanda, tetapi "This Is Indonesia"

    ReplyDelete