Oleh: Hendrasyah Putra
Komitmen anti korupsi? Ya begitulah tanda tanya yang menghantui pikiran saya
belakangan ini. Kata-kata “komitmen anti korupsi” kerap kali saya jumpai di
media cetak/elektronik bahkan sampai dengan poster, spanduk dan pamflet.
Saya hanya
bisa tertegun dan merenungkan kata-kata itu dalam hati sembari mengingat-ingat
perilaku orang-orang Indonesia yang dalam kesehariannya begitu dekat dengan hal
tersebut.
Sayapun
jadi teringat dengan salah satu iklan siraman rohani disalah satu stasiun
televisi swasta. Salah satu potongan dari iklan yang menampilkan para
penceramah dalam acara siraman rohani tersebut, ada yang mengatakan bahwa untuk
mengatasi korupsi hanya ada satu jalan, yakni “hukum mati”.
Kederangan
memang sangat mengerikan, tetapi entah mengapa hati ini tidak begitu yakin
dengan keberhasilan menekan jumlah korupsi di Indonesia dengan cara seperti
itu.
Adalah
penting bagi kita untuk sadar, bahwa tidak ada satu cara untuk melawan korupsi.
Kita tidak bisa hanya berharap pada sisi penindakan dan memberikan kekuatan
yang super pada KPK (Komisi pemberantasan Korupsi) untuk memberantas korupsi.
Adalah hal
yang sangat penting juga untuk kita ketahui, dimana kultur juga berperan peting
dalam pemberantasan korupsi. Belakangan usaha-usaha yang dilakukan untuk
memberantas korupsi pun saya perhatikan semakin maju. Tidak sekedar hanya
sebatas penindakan dan penguatan lembaga, tetapi juga masuk kepada ranah
pencegahan seperti dengan munculnya program Sekolah Sobat Bumi Good School
Governance (GSG) diamana target dari sekolah yang menerapkan program itu akan
menciptakan perilaku antikorupsi dan siap diaudit akuntan publik..
Menyerap dan mengahabiskan?
Mengenal
zona Integritas (www.acch.kpk.go.id), sebuah kolom edukasi yang bagi saya begitu
menarik karena kata-kata “zona integritas”.
Dalam
situs tersebut diceritakan pula bahwa “Zona integritas menjadi satuan wilayah
dari Island of Integrity, dimana setiap kementerian/lembaga tingkat
pusat maupun daerah menjadi lokus terkecil dari zona integritas tersebut. Sedangkan wilayah kabupaten/kota dan
provinsi menjadi lokus regional dari zona integritas”.
Sungguh
sebuah situs yang berisikan semangat dan optimisme upaya untuk membangun
Indonesia sebagai Island of Integrity.
Island of integrity, bagi saya begitu bombatis terdengar ditelinga ini.
Bukannnya ingin meredupkan semangat akan perubahan kearah yang lebih baik, tapi
bagi saya hal ini tak lebih dari sebuah hiperealita.
Hiperealita ini sejatinya seperti apa yang pernah diungkapkan salah seorang pemikir
Jerman, realita adalah sebuah kenyataan yang terbalik, ungkapan ini tentu
sangat cocok dengan Indonesia dalam konteks yang kekinian. Diamana mimpi untuk
memiliki negara yang aman, damai, tenteram dan sejahtera begitu terbalik dengan
perilaku masyarakat negeri ini.
Reformasi birokrasi samapai kepada istilah zona integritas telah
menjadi sebuah pemanis yang hanya menjadi sebuah mimpi Indonesia yang bebas
korupsi. Hal ini tentunya sangat berkebalikan dengan perilaku para pelayan
publik yang memiliki mental “menyerap dan menghabiskan”.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa setiap instansi pemerintah atau
pun daerah memiliki anggaran masing-masing yang telah dirancang dan disetujui
oleh pemerintah dan legislatif. Sangat menyidihkan dan begitu memprihatinkan
ketika sebuah fakta yang saya temui bahwa alasan dimana untuk menyerap dan
menghabiskan anggaran adalah “agar anggaran mereka pada tahun berikutnya tidak
dikurangi”.
Saya begitu tidak mengerti dengan pola pikir seperti ini. Sungguh tidak
masuk dalam akal saya. Begitu ironis, disatu sisi kita selalu berteriak bahwa
hutang Indonesia setiap tahunnya bertambah sekitar 100 (seratus) triliun lebih,
tetapi para penyelenggara negaranya secara langsung turut serta menambah hutang negara dengan cara menyerap dan
menghabiskan anggaran.
Terpaku Pada Persoalan
Gaji?
Ketika
membaca media cetak online, seketika kening saya langsung mengerut dan berbagai
macam pertanyaan begitu banyak muncul dikepala saya ketika membaca pendapat
Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, yang mengatakan bahwa “para pegawai negeri
sipil ini diindikasikan melakukan korupsi disebabkan besarnya gaji yang
diperoleh tidak mencukupi kebutuhan hidupnya (Vivanews.com; KPK: 60% PNS
Terindikasi Korupsi).
Pendapat
Abdullah tentunya akan memancing anggapan publik bahwa reformasi birokrasi kita
hanya terpaku pada persoalan gaji. Menurut hemat saya persoalan gaji bukanlah
alasan utama terjadinya korupsi di Pegawai Negeri Sipil. Secara pribadi saya
lebih menyoroti faktor moralitas sebagai penyebab utama terjadi korupsi.
Adalah
sangat ironi ketika hutang Indonesia yang diperkirakan akhir tahun ini akan
mencapai angka Rp. 1900 Triliun, tetapi reformasi birokrasi kita masih berkutat
dengan persoalan gaji yang minim serta fasilitas yang tidak memadai, tetapi
pungutan liar dan buruknya pelayanan publik begitu menjadi-jadi.
Saya
begitu tidak mengerti, ketika prestasi akan pelayanan publik begitu buruk,
tetapi disisi lain para pelayan publik tersebut meminta sebuah “hadiah” yang
berupa kenaikan gaji agar mereka tidak melakukan korupsi dan agar pelayanan
mereka membaik.
Hal ini tentunya begitu menggelikan, seperti tak ubahnya memberikan sebuah hadiah kepada pecundang, tetapi menutup mata bagi sang juara. anggapan kecilnya gaji pelayan publik ini seakan melupakan kasus Gayus dan Dhana yang tentunya sudah mendapat gaji yang relatif besar (renemurasi) tetapi tetap saja perilaku buruk (moralitas/penyakit hati) yang menjadi faktor utama penyebab timbulnya kejahatan. sekali lagi, ini membuktikan bahwa kualitas dan fasilitas bukanlah alasan utama buruknya pelayan/korupsi di negeri ini..
Hal ini tentunya begitu menggelikan, seperti tak ubahnya memberikan sebuah hadiah kepada pecundang, tetapi menutup mata bagi sang juara. anggapan kecilnya gaji pelayan publik ini seakan melupakan kasus Gayus dan Dhana yang tentunya sudah mendapat gaji yang relatif besar (renemurasi) tetapi tetap saja perilaku buruk (moralitas/penyakit hati) yang menjadi faktor utama penyebab timbulnya kejahatan. sekali lagi, ini membuktikan bahwa kualitas dan fasilitas bukanlah alasan utama buruknya pelayan/korupsi di negeri ini..
Menyoroti Faktor Moralitas
Menyoroti
faktor moralitas, bagi saya tentunya point ini sangat begitu penting daripada
kita sekedar berbicara komitmen, selogan anti korupsi dan pakta integritas.
Ketika
berbicara moralitas, tentunya cerita tentang ketangguhan orang Jepang dan idiom
england gentlemanship telah menjadi
sebuah bukti, bahwa uang bukanlah segala-galanyanya, tetapi nilai-nilai untuk
membaikan dan menolong sesama tentu begitu tak ternilai harganya.
Akan
menjadi sebuah diskusi yang panjang ketika ada pihak yang berkata dan
membandingkan penghasilan “sopir di KPK lebih besar dari pada pegawai Kejaksaan”.
Bagi saya, Hal-hal seperti ini akan
semakin menyempitkan cara berfikir kita, seolah-olah faktor penentu baik atau
buruknya pelayanan publik di negeri ini hanya bergantung pada faktor
besar-kecilnya gaji yang diperoleh.
Hal ini
tentunya sangat menggelikan, jika sektor pelayanan publik telah masuk kepada
sektor ekonomi, dimana untung rugi dalam memberikan kualitas pelayanan menjadi
acuan.
Jika terus
seperti ini, maka Indonesia tak ada ubahnya dengan Hongkong Pada era tahun
1960-1970an. Pada masa itu Hongkong mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam
berbagai sektor pembangunan. Pada masa itu, korupsi sangat merajalela di
Hongkong, salah satu contohnya adalah petugas ambulans yang meminta uang
sebelum menjemput pasien dan petugas pemadam kebakaran yang mau memadamkan api
setelah menerima uang. Bahkan seorang pasien pun harus memberikan uang kepada perawat
dirumah sakit untuk segara mendapatkan kamar ataupun segelas air.
Menawarkan
uang suap kepada pejabat pemerintah merupakan hal yang biasa saat itu, sebab
bila tidak dilakukan maka mereka tidak akan melayani masyarakat. Korupsi yang
paling serius adalah yang terjadi di Kepolisian Hongkong, petugas polisi yang
korup melindungi pelaku perjudian, prostitusi, dan narkoba. Banyak masyarakat
yang telah menjadi korban, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Entalah,
apakah ini yang dinamakan komitemen anti korupsi yang dimanifestasikan dalam bentuk menyerap dan menghabiskan anggaran dan kemudian sebagai hidangan
penutup tak lupa dihadirkan sebuah selogan “anti kejahatan”, pin dan pidato-pidato
yang cantik menghiasi hari-hari besar Republik ini. inikah kontribusi untuk membuat kehidupan Indonesia yang lebih baik?
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment