Tuesday, May 29, 2012

KOMITMEN ANTI KORUPSI?


Oleh: Hendrasyah Putra

Komitmen anti korupsi? Ya begitulah tanda tanya yang menghantui pikiran saya belakangan ini. Kata-kata “komitmen anti korupsi” kerap kali saya jumpai di media cetak/elektronik bahkan sampai dengan poster, spanduk dan pamflet.
Saya hanya bisa tertegun dan merenungkan kata-kata itu dalam hati sembari mengingat-ingat perilaku orang-orang Indonesia yang dalam kesehariannya begitu dekat dengan hal tersebut.
Sayapun jadi teringat dengan salah satu iklan siraman rohani disalah satu stasiun televisi swasta. Salah satu potongan dari iklan yang menampilkan para penceramah dalam acara siraman rohani tersebut, ada yang mengatakan bahwa untuk mengatasi korupsi hanya ada satu jalan, yakni “hukum mati”.
Kederangan memang sangat mengerikan, tetapi entah mengapa hati ini tidak begitu yakin dengan keberhasilan menekan jumlah korupsi di Indonesia dengan cara seperti itu.
Adalah penting bagi kita untuk sadar, bahwa tidak ada satu cara untuk melawan korupsi. Kita tidak bisa hanya berharap pada sisi penindakan dan memberikan kekuatan yang super pada KPK (Komisi pemberantasan Korupsi) untuk memberantas korupsi.
Adalah hal yang sangat penting juga untuk kita ketahui, dimana kultur juga berperan peting dalam pemberantasan korupsi. Belakangan usaha-usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi pun saya perhatikan semakin maju. Tidak sekedar hanya sebatas penindakan dan penguatan lembaga, tetapi juga masuk kepada ranah pencegahan seperti dengan munculnya program Sekolah Sobat Bumi Good School Governance (GSG) diamana target dari sekolah yang menerapkan program itu akan menciptakan perilaku antikorupsi dan siap diaudit akuntan publik..

Menyerap dan mengahabiskan?
Mengenal zona Integritas (www.acch.kpk.go.id), sebuah kolom edukasi yang bagi saya begitu menarik karena kata-kata “zona integritas”.

Dalam situs tersebut diceritakan pula bahwa “Zona integritas menjadi satuan wilayah dari Island of Integrity, dimana setiap kementerian/lembaga tingkat pusat maupun daerah menjadi lokus terkecil dari zona integritas tersebut. Sedangkan wilayah kabupaten/kota dan provinsi menjadi lokus regional dari zona integritas”.
Sungguh sebuah situs yang berisikan semangat dan optimisme upaya untuk membangun Indonesia sebagai Island of Integrity.
Island of integrity, bagi saya begitu bombatis terdengar ditelinga ini. Bukannnya ingin meredupkan semangat akan perubahan kearah yang lebih baik, tapi bagi saya hal ini tak lebih dari sebuah hiperealita.
Hiperealita ini sejatinya seperti apa yang pernah diungkapkan salah seorang pemikir Jerman, realita adalah sebuah kenyataan yang terbalik, ungkapan ini tentu sangat cocok dengan Indonesia dalam konteks yang kekinian. Diamana mimpi untuk memiliki negara yang aman, damai, tenteram dan sejahtera begitu terbalik dengan perilaku masyarakat negeri ini.
Reformasi birokrasi samapai kepada istilah zona integritas telah menjadi sebuah pemanis yang hanya menjadi sebuah mimpi Indonesia yang bebas korupsi. Hal ini tentunya sangat berkebalikan dengan perilaku para pelayan publik yang memiliki mental “menyerap dan menghabiskan”.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa setiap instansi pemerintah atau pun daerah memiliki anggaran masing-masing yang telah dirancang dan disetujui oleh pemerintah dan legislatif. Sangat menyidihkan dan begitu memprihatinkan ketika sebuah fakta yang saya temui bahwa alasan dimana untuk menyerap dan menghabiskan anggaran adalah “agar anggaran mereka pada tahun berikutnya tidak dikurangi”.
Saya begitu tidak mengerti dengan pola pikir seperti ini. Sungguh tidak masuk dalam akal saya. Begitu ironis, disatu sisi kita selalu berteriak bahwa hutang Indonesia setiap tahunnya bertambah sekitar 100 (seratus) triliun lebih, tetapi para penyelenggara negaranya secara langsung turut serta menambah  hutang negara dengan cara menyerap dan menghabiskan anggaran.

Terpaku Pada Persoalan Gaji?
Ketika membaca media cetak online, seketika kening saya langsung mengerut dan berbagai macam pertanyaan begitu banyak muncul dikepala saya ketika membaca pendapat Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, yang mengatakan bahwa “para pegawai negeri sipil ini diindikasikan melakukan korupsi disebabkan besarnya gaji yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhan hidupnya (Vivanews.com; KPK: 60% PNS Terindikasi Korupsi).
Pendapat Abdullah tentunya akan memancing anggapan publik bahwa reformasi birokrasi kita hanya terpaku pada persoalan gaji. Menurut hemat saya persoalan gaji bukanlah alasan utama terjadinya korupsi di Pegawai Negeri Sipil. Secara pribadi saya lebih menyoroti faktor moralitas sebagai penyebab utama terjadi korupsi.
Adalah sangat ironi ketika hutang Indonesia yang diperkirakan akhir tahun ini akan mencapai angka Rp. 1900 Triliun, tetapi reformasi birokrasi kita masih berkutat dengan persoalan gaji yang minim serta fasilitas yang tidak memadai, tetapi pungutan liar dan buruknya pelayanan publik begitu menjadi-jadi.
Saya begitu tidak mengerti, ketika prestasi akan pelayanan publik begitu buruk, tetapi disisi lain para pelayan publik tersebut meminta sebuah “hadiah” yang berupa kenaikan gaji agar mereka tidak melakukan korupsi dan agar pelayanan mereka membaik.
Hal ini tentunya begitu menggelikan, seperti tak ubahnya memberikan sebuah hadiah kepada pecundang, tetapi menutup mata bagi sang juara. anggapan kecilnya gaji pelayan publik ini seakan melupakan kasus Gayus dan Dhana yang tentunya sudah mendapat gaji yang relatif besar (renemurasi) tetapi tetap saja perilaku buruk (moralitas/penyakit hati) yang menjadi faktor utama penyebab timbulnya kejahatan. sekali lagi, ini membuktikan bahwa kualitas dan fasilitas bukanlah alasan utama buruknya pelayan/korupsi di negeri ini.. 

Menyoroti Faktor Moralitas
Menyoroti faktor moralitas, bagi saya tentunya point ini sangat begitu penting daripada kita sekedar berbicara komitmen, selogan anti korupsi dan pakta integritas.
Ketika berbicara moralitas, tentunya cerita tentang ketangguhan orang Jepang dan idiom england gentlemanship telah menjadi sebuah bukti, bahwa uang bukanlah segala-galanyanya, tetapi nilai-nilai untuk membaikan dan menolong sesama tentu begitu tak ternilai harganya.
Akan menjadi sebuah diskusi yang panjang ketika ada pihak yang berkata dan membandingkan penghasilan “sopir di KPK lebih besar dari pada pegawai Kejaksaan”. Bagi saya, Hal-hal seperti  ini akan semakin menyempitkan cara berfikir kita, seolah-olah faktor penentu baik atau buruknya pelayanan publik di negeri ini hanya bergantung pada faktor besar-kecilnya gaji yang diperoleh.
Hal ini tentunya sangat menggelikan, jika sektor pelayanan publik telah masuk kepada sektor ekonomi, dimana untung rugi dalam memberikan kualitas pelayanan menjadi acuan.
Jika terus seperti ini, maka Indonesia tak ada ubahnya dengan Hongkong Pada era tahun 1960-1970an. Pada masa itu Hongkong mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai sektor pembangunan. Pada masa itu, korupsi sangat merajalela di Hongkong, salah satu contohnya adalah petugas ambulans yang meminta uang sebelum menjemput pasien dan petugas pemadam kebakaran yang mau memadamkan api setelah menerima uang. Bahkan seorang pasien pun harus memberikan uang kepada perawat dirumah sakit untuk segara mendapatkan kamar ataupun segelas air.
Menawarkan uang suap kepada pejabat pemerintah merupakan hal yang biasa saat itu, sebab bila tidak dilakukan maka mereka tidak akan melayani masyarakat. Korupsi yang paling serius adalah yang terjadi di Kepolisian Hongkong, petugas polisi yang korup melindungi pelaku perjudian, prostitusi, dan narkoba. Banyak masyarakat yang telah menjadi korban, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Entalah, apakah ini yang dinamakan komitemen anti korupsi yang dimanifestasikan dalam bentuk  menyerap dan menghabiskan anggaran dan kemudian sebagai hidangan penutup tak lupa dihadirkan sebuah selogan “anti kejahatan”, pin dan pidato-pidato yang cantik menghiasi hari-hari besar Republik ini. inikah kontribusi untuk membuat kehidupan Indonesia yang lebih baik?

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment