Oleh: Hendrasyah Putra
Ndak siap.... begitulah kata-kata yang masih terkenang dalam pikiran saya. Kata-kata
itu sendiri mengingatkan saya ketika semasa duduk dibangku kuliah dahulu.
Kata-kata yang dilontarkan oleh salah seorang dosen saya sewaktu memberikan
kuliah studi kasus hukum perburuhan itu sebenarnya memiliki arti tersendiri
bagi saya.
Sebuah
arti yang begitu dalam maknanya dan juga menggelitik hati. Begitu dalam
maknanya karena pada saat itu harusnya kami (mahasiswa) tentunya sudah siap
sebelum mata kuliah itu dimulai. Apakah kesiapan itu dari sisi materil
(substansi/materi kuliah) ataupun dari segi formil (kehadiran dalam ruang
kelas).
Menggelitik
hati, harusnya kami yang pada waktu itu mahasiswa, tentunya malu dengan ketidaksiapan
kami ketika kuliah itu berlangsung. Oleh karena itu, kami begitu pantas menerima
perkataan “Ndak siap” yang dicuapkan dengan sinis dan ditambah lagi dengan
sebuah akronim LKMD, “lebih kurang mohon
dimaklumi”. Lengkap lah sudah oleh-oleh yang diberikan dosen kami kala itu.
Fenomena Ndak Siap
Ndak
siap, kini apa yang dahulu pernah dicuapkan dosen saya itu betul-betul
menunjukkan sebuah wujud yang nyata. Selain menjadi ide dalam tulisan kali ini,
kata-kata itu juga bagi saya bisa menggambarkan kondisi Indonesia dalam konteks
yang kekinian.
Kondisi
“ndak siap” itu sendiri sangat mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Adalah
praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotis) yang sudah menjadi rahasia umum dan
“kelaziman” di negeri ini. Hal ini tentunya menjadi sebuah gambaran yang tepat untuk kata-kata
“ndak siap”.
Hal
yang lalim berubah menjadi lazim, sebuah fenomena yang begitu akrab dengan Indonesia
dalam konteks kekinian. Hal ini terbukti dengan Bribe Payer Index (BPI) atau indeks pembayaran suap pada 2011 yang
dilakukan Transparency International, Indonesia menempati empat negara yang
melakukan tindak suap terbanyak di dunia.
Bukan
suatu hal yang mengejutkan bagi saya, setidaknya saya telah “menyiapkan diri”
untuk kabar buruk ini. Anggapan sayapun kiranya tidak berlebihan, jika menurut
saya pembaca sekalianpun kiranya sudah “memaklumi” jika negara tercinta
kita ini masuk empat besar negara pembayar suap di dunia.
Integritas,
saya kira hal ini bisa memecah kebuntuan maraknya praktik KKN di negeri ini.
tapi bagaimana mungkin, penduduk Indonesia yang jumlahnya dua ratus juta jiwa
ini tidak pernah menaikan dan mendorong manusia-manusia yang memiliki
integritas dan kualitas.
Sebagaimana
kita ketahui bersama dan sudah kita maklumi bersama, buruknya perekrutan
pelayan publik (saya lebih suka menyebut
pelayan publik daripada PNS) yang berbau kecurangan sudah barang tentu mematikan peluang bagi
manusia-manusia Indonesia yang memiliki integritas dan kualitas.
Buruknya
perekrutan CPNS ini kiranya juga diamini Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar, Ia mengatakan bahwa proses rekrutmen
kedepannya akan dilakukan secara fair dengan tes murni, sehingga sehingga
menciptakan rasa keadilan dan CPNS yang diterima memiliki kemampuan (sumber: http://informasicpnsbumn.com/berita/menpan-berkata-tidak-ada-penerimaan-pns-luar-tes-cpns.html).
Apa
yang disampaikan Azwar Abubakar tersebut kiranya menyiratkan bahwa buruknya
perekrutan PNS, sehingga kedepannya harus diciptakan perekrutan PNS yang “fair”
dan kedepannya Indonesia diharapkan memiliki PNS yang memiliki kemampuan.
Untuk
itu, pada kesempatan yang telah lalu, saya sempat mengkritik pemberitaan di
media cetak lokal Kal-Bar, yakni Equator. Dalam kesempatan itu, saya mengkritik
50 puluh warga Singkawang yang ditipu calo PNS. Menurut pendapat saya, kelima puluh warga Singkawang itu adalah penipu yang gagal menipu.
Bagi
saya, kelima puluh warga Singkawang itu sangatlah pantas dijadikan salah satu
contoh “ndak siap”. Ndak
siap untuk bersaing secara jujur, ndak
siap dengan kemampuan sendiri, ndak
siap merelakan yang menjadi pelayan publik adalah orang-orang yang memiliki
kualitas, ndak siap untuk mencari
kerja dengan cara yang halal dan ndak
siap menempuh cara yang jujur.
.
Fenomena LKMD (Lebih kurang Mohon Dimaklumi)
LKMD
(Lebih kurang mohon dimaklumi), begitulah cara dosen saya memberikan semangat kepada
kami. Baginya, jika sewaktu kuliah tidak pernah bersungguh-sungguh, maka kelak ketika
terjun dimasyarakat akan mendapatkan stigma “lebih kurang mohon dimaklumi”.
Sebuah motifasi yang juga bisa menjadi sindiran bagi kami. Tapi, bagi saya hal
itu tak mengapa, karena kata-kata itu telah menjadi picu agar saya tak mendapat
stigma LKMD.
Berbicara tentang pelayan publik yang mendapat stigma LKMD ini, rasanya
agak begitu aneh dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai angka dua ratus juta
jiwa.
Mengapa
menjadi aneh? Bagi saya, menjadi aneh karena Indonesia yang memiliki jumlah
penduduk dua ratus juta jiwa ini harusnya memiliki banyak peluang untuk
memiliki manusia-manusia yang berintegritas serta berkualitas yang tampil
sebagai pelayan publik.
Beberapa
waktu yang yang lalu saya juga “sudah memaklumi” ketika membaca berita yang
mengungkapkan bahwa 95% PNS tidak kompeten. Pernyataan ini sediri saya kutip
dari Azwar Abubakar (Menpan dan RB) (sumber : http://informasicpnsbumn.com/berita/ternyata-95-persen-pns-Indonesia-tidak-memiliki-kompetensi.html
).
Dalam
pemeberitaan itu, Azwar Abubakar juga mengungkapkan Alasan tidak memilikinya
kompetensi itu, seperti: tidak ditempatkan sesuai dengan kemampuannya, CPNS
diterima tidak sesuai dengan kebutuhan dan banyak PNS yang tidak mau mengikuti
pelatihan.
Jika
jumlah PNS yang katanya 4,7 juta (diluar TNI/Polri) orang itu bekerja, maka hanya 235000 (dua ratus
tiga puluh lima ribu) saja yang berkompeten. Berarti ada 7165000 (tujuh juta seratus enam puluh lima ribu) PNS yang tidak
berkompeten. Jumlah yang cukup mengerikan, tapi hal ini tidak pernah
menyadarkan kita untuk mendorong dan mengangkat manusia-manusia Indonesia yang
memiliki integritas dan kualitas ketempat yang selayaknya.
Faktor Normal Ataukah Faktor Poisson?
Diakhir
tulisan kali ini, ijinkan saya untuk mengutip sebuah diskusi antara kedua orang
sahabat saya yang memiliki latar belakang ilmu statistik. Diskusi yang bermula
dari isu integritas yang saya lontarkan tersebut ternyata memancing kedua
sahabat saya untuk memberikan pendapat yang berdasarkan ilmu statistik yang mereka
pelajari.
Bagi
salah seorang sahabat saya, fenomena Pelayan Publik yang tidak berkompeten itu bukanlah suatu hal yang
tidak nyata (tidak ada). Baginya, dengan menggunakan pendekatan teori distribusi normal, maka
yang menyebabkan ketidaknyataan tersebut adalah faktor pengalinya lebih dominan
(ditempatkan tidak sesuai bidang kerjanya/kompetensinya) sehingga hal ini
menyebabkan munculnya peluang tidak berkompeten lebih tinggi dari yang
berkompeten. Agaknya, sahabat saya yang satu ini masih Optimis manusia
Indonesia yang memiliki Integritas dan kualitas masih banyak.
Lain
lagi dengan pendapat yang disampaikan oleh sahabat saya yang satunya lagi, walaupun sama-sama
mengenyam ilmu Statistik dan berkuliah di tempat yang sama, hal ini tidak
menjadikan pendapat kedua sahabat saya ini sama. Bagi sahabat saya yang satunya
lagi ini, baginya pendekatan dengan teori distribusi poisson sangat tepat untuk
menggambarkan fenomena ini.
Baginya,
langkanya Pelayan Publik yang memiliki integritas dan kualitas ini peluangnya
sangat jarang terjadi, sehingga ketika hal itu muncul sekalipun hanya menjadi
sebuah “simpangan”. Mungkin, bagi sahabat saya ini, orang yang memiliki
integritas dan kualitas sudah langka atau mungkin sudah terancam punah di negeri
ini.
Ah
sudahlah, apapun teori yang digunakan untuk menjelaskan penyebab kelalaliman
ini, dan apapun niat baik yang disampaikan oleh Menpan Azwar Abubakar serta
teriakan lantang yang telah dikumandangkan oleh Presiden Yudhoyono untuk
berdiri paling depan memberantas KKN, tentunya hal ini berawal dari kita untuk
membaikan diri kita terlebih dahulu dan selanjutnya mendorong perbuatan baik
untuk tampil dan menyingkirkan kelaliman yang selama ini dianggap lazim.
Tulisan agan benar sekali. Sesuatu yang diawali dengan ketidakjujuran maka akan memotivasi orang tersebut untuk melanjutkan ketidakjujurannya di kemudian hari. Fenomena yang oleh banyak orang dianggap "lumrah", dengan alasan "kalau tidak begitu mana bisa kerja, mana bisa ini ... mana bisa itu ...". Padahal Allah telah menjamin bahwa tidak ada manusia yang tidak mendapatkan rezekinya hingga hembusan nafas terakhirnya. So ... Kenapa orang2 itu tidak percaya pada apa yang telah dijamin oleh Allah ? Apakah mereka tidak beriman ? Ataukah mereka menganggap ayat-ayat Allah itu hanya sajak-sajak indah yang cukup didengarkan di majelis2 agamis & diabaikan saja pada saat menghadapai kehidupan nyata ? Beruntunglah pada mereka yang masih sadar bahwa ketidaksiapan bisa diantisipasi dengan proses belajar dengan tetap mempertahankan kejujuran dan keimanan akan takdir Tuhan.
ReplyDeletetralalalallaa,,, mampir aja hen
ReplyDeleteudah lama aku gak posting yang serius, gak pernah ding
Sungguh memprihatinkan sekali bro>>
ReplyDeletehmmm