Oleh : Hendrasyah Putra
Awal April di Minggu pagi, setelah selesai memandikan bayi dan bersiap untuk menulis, hal pertama yang
terlintas dipikiran saya adalah tentang rasa cinta. Saya yang baru saja menjadi
seorang ayah ini rasanya tak bisa jauh dari sang anak. Hal apapun akan saya
tempuh untuk kebaikan si anak. Mungkin inilah salah satu ciri dari kecintaan
dan rasa sayang seorang Ayah.
Berbicara tentang cinta, saya jadi teringat pada sebuah artikel sahabat
karib saya. Artikel itu sendiri berjudul “Mereka Yang Rindu Kepada Allah”.
Dalam artikel tersebut, sahabat saya menceritakan bahwa “Rindu merupakan
pengejawantahan dari sikap mencintai seorang, tidak mungkin seorang yang sedang
di landa kebencian memilikinya”.
Berbicara tentang cinta, saya jadi teringat kepada salah seorang triner
yang selalu mengingatkan peserta didiknya untuk menggunakan produk dalam
negeri. Baginya jika kita cinta Indonesia maka kita harus menggunakan produk
dalam negeri.
Seperti jargon iklan salah satu produk pelumas keluaran Indonesia,
“kita untung bangsa untung”. Secara rasional hal ini memang masuk akal. Dimana
produk-produk Indonesia yang kita beli itu lebih banyak memberikan manfaat nya
secara langsung maupun tidak langsung. Misalkan saja dari segi pajak, penyerapan
tenaga kerja, meningkatnya investasi dan pengembangan teknologi dalam negeri
itu sendiri.
Sewaktu berfikir dan mencoba mengingat-ingat pengalaman empiris tentang
“Cinta Indonesia”, saya sedikit tersentak. Tanpa sadar cemilan yang saya makan
ketika menulis artikel ini ternyata produk Malaysia. “Snek Ikan Pantai Timur”
itulah tulisan di sampul cemilan saya tersebut. Dibawah tulisan tersebut tak
lupa pula ada logo halal dari pemerintah Malaysia dan disudut kiri bawah
bercokol gambar bendera Malaysia.
Hati saya pun semakin bergejolak melihat realitas ini. Apakah saya yang
orang Indonesia ini cinta indonesia? Atau saya hanya sebatas pegiat jargon “Cinta
Indonesia” tapi miskin dalam perilaku Cinta
Indonesia?
Otak kiri saya pun mulai merayu-rayu sembari memberikan seribu satu
alasan. Daerah perbatasan, harga murah, kualitas terjamin dan tentunya
sertifikat “halal” yang tak perlu diragukan lagi seperti pada sertifikat halal
di Indonesia.
Rayuan otak kiri ini pun semakin menjadi-jadi ketika sabtu dan minggu
sore selalu mengingatkan saya pada salah satu acara di televisi yang bertemakan
“reportase”. Acara itu sendiri berisikan kecurangan-kecurangan penjual
Indonesia yang menjual barang dagangannnya menggunakan bahan-bahan berbahaya.
Pada titik ini saya pun kembali teringat dengan hingar bingar mobil
ESEMKA yang digadang-gadang menjadi cikal bakal mobil nasional. Perdebatan dan
saling tuding dan curiga dengan muncul mobil karya anak bangsa ini tak luput
pula menimbulkan pernyataan “lebay” yang dilontarkan oleh Jimly Ashidiqie
(Mantan Ketua MK) kepada Jokowi (Walikota Solo). (sumber: www.tempo.co, Disebut
lebay, Jokowi bilang tidak masalah, 12 maret 2012).
Mobil yang gagal dalam hal uji emisi tersebut pun kini disepakati tidak
memenuhi SNI (Standar Nasional Indonesia), dalam arti kata mobil tersebut tidak
layak digunakan. Mengerikan memang, ketika produk lokal harus tenggelam karena
ada hukum yang mengatur tentang SNI itu sendiri. Untuk kasus ini, maka asas equality before the law bisa diterapkan,
mengingat makelar barang-barang impor tentunya sangat gerah dengan perkembangan
teknologi dalam negeri.
Berbicara tentang SNI, saya jadi teringat dengan sebuah rumah makan
didepan klinik tempat itsri saya bersalin pada awal Maret lalu. Pak udak,
begitulah sapaan si penjual yang merangkap sebagai koki, pramusaji dan kasir
pada rumah makan itu. Hampir setiap hari saya selalu makan di rumah makan
tersebut, selain masakan nya yang enak,
tentunya si penjual juga begitu ramah sehingga asik untuk diajak bicara.
Tidak ada yang aneh pada rumah makan tersebut. Kebersihan, kerapian dan
lebel halal juga ada dirumah makan tersebut. Tetapi hanya ada satu pertanyaan
saya kepada si penjual pada waktu itu. Adalah mengapa si penjual lebih memilih
gas merk Petronas ketimbang gas milik Pertamina.
Jawabannya sangat simple, “harganya memang lebih mahal dikit om, tapi
isi nya lebih banyak dan tahan lama dari punya Pertamina”. Saya pun hanya
mengangguk-anguk ketika si penjual menjawab demikian dan menceritakan untung
rugi jika memilih gas merk Petronas dan Pertamina. Oh ya, untuk label halal
pada restoran itu sengaja tidak saya tanyakan, mengingat begitu mudahnya
membuat dan menempel logo tersebut.
Sambil memegang dagu, otak kiri saya kembali mengingat sesuatu. Pada
titik ini saya kembali teringat ketika trainer saya yang menganjurkan untuk
menggunkan produk Indonesia itu ternyata menggunakan laptop merk HP.
Ketika itu, saya secara spontan bertanya kepada trainer saya tersebut.
Pak, kenapa bapak menggunakan laptop merk HP, bukannya kalau bapak mau menggunkan
laptop merk indonesia ada merk laptop seperti Zyrex atau Axioo. Sontak si
triner ini terdiam sesaat, dan menjawab dengan suara yang tidak begitu jelas
dan nada yang tidak tegas seperti sebelumnya.
Ah sudahlah, saya sejatinya tidak ingin mempermaslahkan pilihan
penggunaan merk laptop kepada si triner tadi. Bagi saya anjurannya itu sangat
baik, bagi saya dalam konteks Indonesia yang kekininan, kita hampir tidak
mungkin untuk tidak menggunakan produk luar negeri.
Mobil, motor bahkan sepeda sekalipun hampir tak ada merk Indonesia yang
bisa mendominasi. TKDN (tingkat komponen dalam negeri) yang sudah lebih dari
50% seperti yang dimiliki pada mobil Toyota Innova bukanlah suatu hal yang
membanggakan, mengingat perusahaan dan mobil tersebut bukanlah produk dalam
negeri.
Cinta indonesia, bagi saya bukanlah hanya dalam perkataan, tetapi juga
dalam perbuatan. Cinta indonesia tentunya menyiratkan sebuah kerinduan.
Kerinduan akan produk Indonesia, kerinduan akan kejujuran Indonesia, kerinduan
akan keadilan Indonesia dan banyak lagi. Cinta Indonesia memang dan harusnya
tidak berhenti pada jargon yang dibuat oleh pemerintah. Tetapi cinta Indonesia
harusnya masuk dan ikut serta dalam perilaku pemerintah dan rakyatnya.
Seperti kata orang tua dahulu, Seribu alasan tentunya akan diberikan
untuk sebuah kemalasan, demikian pula dengan seribu cara dan upaya untuk
mencapai tujuan.
assalamualaikum n whatsup bro,
ReplyDeletesaya tertarik membaca artikal saudara ini..
Realitinya di Malaysia, kami juga banyak menggunakan produk Indonesia, cthnya mee sedap, kopi indo, sabun daia dan sebagainya, tidak terfikir pun hendak boikot barangan negara anda.. =) thats all
walaikum salam pak cik.
ReplyDeletewah menarik info nya pak cik, etrnyata di malaysia masuk juga beberapa produk Indonesia.
BTW, dalam tulisan saya ini, poitn dari salah satu tulisan ini adalah saya mengkritik barang2 yang dijual didalam negeri (Indonesia) kualitasnya teramat buruk (seperti gas pertamina yang saya bandingkan dengan gas petronas).
perbandingan yang saya sajikan pun tak ada motif untuk memboikot produk malaysia, ikhwal itu hanyalah picu untuk Indonesia agar lebih baik lagi