Friday, March 23, 2012

Menanti Jatuh Tempo



Oleh: Hendrasyah Putra

Belum lama ini isu kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) begitu popular dimasyarakat. Kenaikan minyak dunia yang katanya di picu oleh perseteruan Barat dan Iran menjadi alasan yang cukup kuat untuk memotong subsidi BBM dan menaikan harganya.
Dua hari yang lalu, saya mendapatkan informasi tentang kondisi yang kiranya sudah bisa dipredeksi sebelumnya ketika isu kenaikan BBM muncul. Informasi itu sendiri saya dapati ketika chatting dengan sahabat saya yang berdomisili di Pontianak.
Menurut informasi yang dikatakan sahabat saya itu, terjadi antrean untuk mengisi BBM. Tudingan-tudingan miring atas perilaku antrean ini pun muncul.
Menimbun! Hal inilah yang pertama kali terlintas dalam diskusi pendek dalam sebuah chattingan antara saya dan sahabat saya. Bukannya ingin bermaksud buruk, tetapi cukup aneh ketika fenomena antrean ini terjadi dikarenakan “isu” atau rencana kenaikan BBM oleh pemerintah.
Jika antrean terjadi karena kelangkaan BBM, buruknya distribusi atau terjadinya bencana mungkin hal ini masih bisa di toleransi. Disinilah perilaku masyarakat yang sangat “opurtunis” kiranya dapat dengan mudah kita lihat. Menimbun BBM dan menjualnya ketika harga BBM naik tentunya hal ini kerap kali terjadi ketika momen-momen seperti ini muncul.
Tak Ada Bedanya
Ketika membaca media cetak elektronik yang memberitakan tentang rencana pemerintah menaikan harga BBM, saya kerap kali menemui cibiran, makian  dan kritik yang begitu tajam oleh para pembaca terhadap kebijakan pemerintah itu.

Bagi saya, wajar kiranya cibiran, makian dan kritik itu muncul jika hal itu dikaitkan dengan preseden buruk pemerintah yang begitu akrab dengan “korupsi”, buruknya kinerja dan hodonisme yang melanda aparatur pemerintah.
Tetapi bagi saya, cibiran, makian dan kritik yang muncul itu menjadi berlebihan ketika feonemena antrean yang kini muncul. Jadi, sekarang apa bedanya perilaku antrean sebelum harga BBM naik dengan perilaku pemerintah yang di kritik dan dikutuk oleh masyarakat?
Hal ini menjadi menggelikan, karena antara pengkritik dan yang dikritik tidak mencerminkan perilaku untuk berbuat lebih baik. Saya kira, guyonan tentang “rahang orang Indonesia” yang begitu dominan mungkin ada benarnya juga.
Hanya Jadi Penonton
“Tongkrongan global, paradigma lokal”. Kata-kata ini pernah saya jumpai pada sebuah buku yang berjudul semiotika hukum. Sebagaimana kita ketahui melalui pemberitaan media cetak atau elektronik yang kini begitu mudah di akses, kita pun semakin mudah untuk melihat bangsa-bangsa didunia dalam menghadapi masalah dan menyelesaikannya.
Cerita tentang kisah orang Jepang yang begitu hebat dan tabah dalam menghadapi bencana hanya menjadikan kita sebagai penonton yang selalu memuji perilaku baik bangsa lain, tapi kita tetap saja seperti ini, tidak mau sadar, dan begitu senang jika melihat saudara sebangsa menderita.
Seorang rekan sejawat saya berfikiran bahwa masalah ini bersumber pada satu kata, yaitu “uang”. Baginya segala carut-marut yang timbul di negeri ini karena orang begitu haus akan uang yang dipercaya sebagai obat mujarab untuk menggapai kebahagiaan.
Bagi rekan sejawat saya, meningkatnya kasus korupsi serta belakangan terungkap rekening gendut para pegawai pajak atau ex-pegawai pajak cukup memberikan contoh mengapa Indonesia selama ini hanya bisa menjadi penonton.
Pada titik ini, saya jadi teringat dengan masalah persepakbolaan Indonesia yang hingga kini tak kunjung menemui jalan penyelesaiannya. Sempat terbesit dipikran saya, tak mungkin perebutan kekuasaan hanya didasarkan kepada gengsi. Motif ekonomi tentunya selalu menjadi motor penggerak terjadinya hal tersebut.
Bukankah sejarah telah mengajarkan kita bahwa terjadinya imperialisme dikarenakan motif ekonomi yang akhirnya menghalalkan segala cara untuk merampas hak milik orang lain. Ataukah kekisruhan yang muncul ini karena kepiawaan anak bangsa kita dalam menerima dan mengaplikasikan pengetahuan tentang sejarah pada sisi negatif?
Menanti Jatuh Tempo
Sebagaimana kita ketahui, kini hutang Indonesia sudah menginjak angka Rp. 1800 triliun, dan diperkirakan akhir tahun ini akan mencapai angka Rp. 1900 Triliun. Hutang ini dibayar tiga tahap, 2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 – 2042. yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah negara ini bisa melunasi semua hutang-hutangnya yang setiap tahunnya itu bertambah sekitar seratus triliun lebih?
Saya seringkali menemui argumen bahwa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan ini. Dengan begitu melimpahnya sumber daya alam ditambah lagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai dua ratus juta lebih, tentunya hal ini merupakan modal awal yang sangat luar biasa.
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan jumlah penduduk yang begitu banyak, negara ini malah mengalami sebuah krisis. Krisis dimana negara ini begitu tak berdaya dengan perilaku korupsi yang begitu melemahkan negara ini diberbagai lini. Hal ini seakan menggambarkan negara ini seolah tak memiliki sumber daya manusia yang memiliki integitas dan kualitas dalam mengelola negara.
Korupsi, kolusi dan nepotisme seakan bukan sebuah hal yang tabu dalam masyarakat. Belakangan, fenomena yang muncul adalah ketiga hal ini menjadi sebuah klaziman dalam masyarakat.
Kejujuran menjadi sesuatu hal yang menjadi sangat langka. Orang-orang yang memiliki integritas malah dikucilkan dan ditinggalkan karena dianggap tidak sejalan untuk merampok kekayaan negara.
Kini kita sudah menapak tahun 2012. masih ada sekitar tiga puluh tahun lagi untuk melunasi hutang-hutang tersebut. Jika melihat realitas yang ada, dimana hampir tak ada bedanya lagi perilaku penguasa dan rakyatnya, maka kita hanya seperti negara yang hanya menanti kapan negara ini jatuh tempo untuk bubarnya.



2 comments:

  1. hampir tak ada negara tanpa hutang tak terkecuali pemenang perang dunia ke II AS dkk, hutang di satu sisi mampu memberikan percepatan pembangunan dan pendapatan masyrakat-jika di tata kelola baik dan benar di satu sisi malapateka bagi kemanusian contoh konkrit negri para filosof, yunani dan akan menyusul spanyol.meminjam klimat populer agan ''man behind the gun has contributed"

    ReplyDelete
  2. jika berbicara masalah hutang, tak masalah jika hutang itu (kredit) ditujukan untuk kredit produktif, tapi jika hutang itu hanya ditujukan untuk konsumtif, sungguh sia-sia anak bangsa ini harus bersusah payah membayar hutang sejak masih dalam kandungan.
    disisi lain, anak bangsa ini selalu mengeluh dan mengutuk atas kebijakan dan perilaku buruk pemerintah, tetapi lupa akan merubah perilaku diri. masih ada 30 tahun-an untuk merubah diri sebelum Indonesia menjadi negara yang gagal bayar dan terancam bangkrut (bubar)

    ReplyDelete