Oleh: Hendrasyah Putra
Belum lama ini isu kenaikan BBM (Bahan Bakar
Minyak) begitu popular dimasyarakat. Kenaikan minyak dunia yang katanya di picu
oleh perseteruan Barat dan Iran menjadi alasan yang cukup kuat untuk memotong
subsidi BBM dan menaikan harganya.
Dua hari yang lalu, saya mendapatkan
informasi tentang kondisi yang kiranya sudah bisa dipredeksi sebelumnya ketika
isu kenaikan BBM muncul. Informasi itu sendiri saya dapati ketika chatting
dengan sahabat saya yang berdomisili di Pontianak.
Menurut informasi yang dikatakan sahabat
saya itu, terjadi antrean untuk mengisi BBM. Tudingan-tudingan miring atas
perilaku antrean ini pun muncul.
Menimbun! Hal inilah yang pertama kali
terlintas dalam diskusi pendek dalam sebuah chattingan antara saya dan sahabat
saya. Bukannya ingin bermaksud buruk, tetapi cukup aneh ketika fenomena antrean
ini terjadi dikarenakan “isu” atau rencana kenaikan BBM oleh pemerintah.
Jika antrean terjadi karena kelangkaan
BBM, buruknya distribusi atau terjadinya bencana mungkin hal ini masih bisa di
toleransi. Disinilah perilaku masyarakat yang sangat “opurtunis” kiranya dapat
dengan mudah kita lihat. Menimbun BBM dan menjualnya ketika harga BBM naik
tentunya hal ini kerap kali terjadi ketika momen-momen seperti ini muncul.
Tak Ada Bedanya
Ketika membaca media cetak elektronik yang
memberitakan tentang rencana pemerintah menaikan harga BBM, saya kerap kali
menemui cibiran, makian dan kritik yang
begitu tajam oleh para pembaca terhadap kebijakan pemerintah itu.
Bagi saya, wajar kiranya cibiran, makian
dan kritik itu muncul jika hal itu dikaitkan dengan preseden buruk pemerintah
yang begitu akrab dengan “korupsi”, buruknya kinerja dan hodonisme yang melanda
aparatur pemerintah.
Tetapi bagi saya, cibiran, makian dan kritik
yang muncul itu menjadi berlebihan ketika feonemena antrean yang kini muncul.
Jadi, sekarang apa bedanya perilaku antrean sebelum harga BBM naik dengan
perilaku pemerintah yang di kritik dan dikutuk oleh masyarakat?
Hal ini menjadi menggelikan, karena antara
pengkritik dan yang dikritik tidak mencerminkan perilaku untuk berbuat lebih
baik. Saya kira, guyonan tentang “rahang orang Indonesia” yang begitu dominan mungkin
ada benarnya juga.
Hanya Jadi Penonton
“Tongkrongan global, paradigma lokal”.
Kata-kata ini pernah saya jumpai pada sebuah buku yang berjudul semiotika
hukum. Sebagaimana kita ketahui melalui pemberitaan media cetak atau elektronik
yang kini begitu mudah di akses, kita pun semakin mudah untuk melihat
bangsa-bangsa didunia dalam menghadapi masalah dan menyelesaikannya.
Cerita tentang kisah orang Jepang yang
begitu hebat dan tabah dalam menghadapi bencana hanya menjadikan kita sebagai
penonton yang selalu memuji perilaku baik bangsa lain, tapi kita tetap saja
seperti ini, tidak mau sadar, dan begitu senang jika melihat saudara sebangsa
menderita.
Seorang rekan sejawat saya berfikiran
bahwa masalah ini bersumber pada satu kata, yaitu “uang”. Baginya segala
carut-marut yang timbul di negeri ini karena orang begitu haus akan uang yang
dipercaya sebagai obat mujarab untuk menggapai kebahagiaan.
Bagi rekan sejawat saya, meningkatnya
kasus korupsi serta belakangan terungkap rekening gendut para pegawai pajak
atau ex-pegawai pajak cukup memberikan contoh mengapa Indonesia selama ini
hanya bisa menjadi penonton.
Pada titik ini, saya jadi teringat dengan
masalah persepakbolaan Indonesia yang hingga kini tak kunjung menemui jalan
penyelesaiannya. Sempat terbesit dipikran saya, tak mungkin perebutan kekuasaan
hanya didasarkan kepada gengsi. Motif ekonomi tentunya selalu menjadi motor
penggerak terjadinya hal tersebut.
Bukankah sejarah telah mengajarkan kita
bahwa terjadinya imperialisme dikarenakan motif ekonomi yang akhirnya
menghalalkan segala cara untuk merampas hak milik orang lain. Ataukah
kekisruhan yang muncul ini karena kepiawaan anak bangsa kita dalam menerima dan
mengaplikasikan pengetahuan tentang sejarah pada sisi negatif?
Menanti Jatuh Tempo
Sebagaimana kita ketahui, kini hutang
Indonesia sudah menginjak angka Rp. 1800 triliun, dan diperkirakan akhir tahun
ini akan mencapai angka Rp. 1900 Triliun. Hutang ini dibayar tiga tahap, 2011 -
2016, 2016 - 2021, dan 2021 – 2042. yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah negara
ini bisa melunasi semua hutang-hutangnya yang setiap tahunnya itu bertambah sekitar
seratus triliun lebih?
Saya seringkali menemui argumen bahwa
Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan ini. Dengan begitu melimpahnya sumber
daya alam ditambah lagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai dua
ratus juta lebih, tentunya hal ini merupakan modal awal yang sangat luar biasa.
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan
jumlah penduduk yang begitu banyak, negara ini malah mengalami sebuah krisis.
Krisis dimana negara ini begitu tak berdaya dengan perilaku korupsi yang begitu
melemahkan negara ini diberbagai lini. Hal ini seakan menggambarkan negara ini
seolah tak memiliki sumber daya manusia yang memiliki integitas dan kualitas
dalam mengelola negara.
Korupsi, kolusi dan nepotisme seakan bukan
sebuah hal yang tabu dalam masyarakat. Belakangan, fenomena yang muncul adalah
ketiga hal ini menjadi sebuah klaziman dalam masyarakat.
Kejujuran menjadi sesuatu hal yang menjadi
sangat langka. Orang-orang yang memiliki integritas malah dikucilkan dan
ditinggalkan karena dianggap tidak sejalan untuk merampok kekayaan negara.
Kini kita sudah menapak tahun 2012. masih
ada sekitar tiga puluh tahun lagi untuk melunasi hutang-hutang tersebut. Jika
melihat realitas yang ada, dimana hampir tak ada bedanya lagi perilaku penguasa
dan rakyatnya, maka kita hanya seperti negara yang hanya menanti kapan negara
ini jatuh tempo untuk bubarnya.
hampir tak ada negara tanpa hutang tak terkecuali pemenang perang dunia ke II AS dkk, hutang di satu sisi mampu memberikan percepatan pembangunan dan pendapatan masyrakat-jika di tata kelola baik dan benar di satu sisi malapateka bagi kemanusian contoh konkrit negri para filosof, yunani dan akan menyusul spanyol.meminjam klimat populer agan ''man behind the gun has contributed"
ReplyDeletejika berbicara masalah hutang, tak masalah jika hutang itu (kredit) ditujukan untuk kredit produktif, tapi jika hutang itu hanya ditujukan untuk konsumtif, sungguh sia-sia anak bangsa ini harus bersusah payah membayar hutang sejak masih dalam kandungan.
ReplyDeletedisisi lain, anak bangsa ini selalu mengeluh dan mengutuk atas kebijakan dan perilaku buruk pemerintah, tetapi lupa akan merubah perilaku diri. masih ada 30 tahun-an untuk merubah diri sebelum Indonesia menjadi negara yang gagal bayar dan terancam bangkrut (bubar)